Sore ini dapat ''jalan komunikasi'' yang beda, tapi puncanya sama, yakni blog. Pertama surat beramplop putih dan berperangko budaya Papua tapi stempelnya, saya yakin bukan dari Papua. Kedua, chatingan dari seseorang mantan murid SMP yang pernah saya ajari jurnalistik tujuh tahun lalu.
Yang surat, bisalah disebut surat kaleng. Tanpa ada alamat pengirim. Baik di amplop maupun di pengantar suratnya. Hanya tertulis ''sedare sekampong''. Tapi lampiran surat itu ada empat lembar. Isinya, soal postingan saya di blog ini tentang Speedy saya yang kena petir. Ternyata postingan ini jadi pembicaraan ''hangat'' di Telkom Riau Kepulauan (Rikep). Dikirim melalui ke berbagai email seluruh karyawan Telkom di Kepulauan Riau ini (setidaknya itu menurut info isi surat kaleng). ''Kalau bapak mau tahu, email ini terbaca oleh seluruh pegawai Telkom di Provinsi Kepri ini. Ratusan jumlahnya pak.''
Salah satu yang menanggapi postingan itu, menurut si pengirim surat kaleng, terkesan penghinaan terhadap saya. Saya sadurkan sedikit isi email itu; ''Menurut saya pelangan jenis ini gak usah diurus!!! Ini jenis pelanggan cari GRATISAN!!...''
Kalau saya baca dan masukkan ke hati, sebenarnya miris juga. Tapi mungkin yang nulis, belum baca betul seperti apa isi postingan saya itu (klik ini). Karena, saya tidak menyebutkan Speedy (keseluruhannya) mengecewakan, tapi khusus Speedy saya saja. Saya juga tidak minta modem saya diganti. Satu hal lagi paling penting, saya juga tidak bawa nama instansi tempat saya bekerja. Saya berkesimpulan, persepsi negatif saja yang membuat emailnya berisikan yang di atas tadi, dan juga kalimat ini; ''...tapi masih mental gratisan.''
Tapi tak apalah, Speedy saya sudah oke lagi kok. Ternyata silaturahmi yang bikinnya mendapatkan solusi yang oke lagi (klik ini). Dan bisa jadi juga, silaturahmi itu yang bakal menyelamatkan omset Telkom Batam, seminimalnya 200 ribuan dari pemakaian Speedy saya, dan pemakaian minimal 100 ribu telepon rumah saya. He..he...
***
Yang chatingan dengan mantan murid SMP, ini berawal dari dia menanggapi isi postingan blog saya tentang Melayu. Lalu berlanjut pada tanggapan yang terakhir, soal postingan saya tetap di Batam. Dari sinilah, dia mengingatkan, bahwa pernah ikutan pelatihan jurnalistik di SMP 9 Batuaji, yang salah satu pembicaranya saya. ''Jadi ingat, 5W 1 H,'' katanya.
Lebih senang lagi, ilmu yang diajarkan saat saya gugup berdiri di depan anak-anak SMP itu, ternyata ada juga melekat pada dia. Ya, tentu saja, karena dia ternyata orang yang senang belajar otodidak. Saya kutipkan salah satu kalimatnya saat chating dengan saya, yang saya simpan dengan senang hati. ''saya kan cuma tamatan sma ...bang...'' Sungguh berbeda dengan kalimat yang menanggapi postingan soal Speedy, padahal sudah S2. Hi...hi....
NB: Eiiitss...aline terakhir kata pengantar surat kaleng berisi ini: ''Silakan bapak telaah bahasa....(tak usah saya tulis namalah) ini, silakan tuntut secara hukum, yaitu perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan dengan mengekspos kepada umum ...'' Jawaban saya: hmmm...kalau memperpanjang silaturahmi, tak usah ditanggapi, tapi diresapi saja...hi..hi...
NB: Saya juga sudah tahu wajah yang menulis email tanggapan soal Speedy saya itu. Lengkap dengan alamat dan telepon rumahnya, juga jabatannya. Mbah Google yang beritahu. Tapi mau saya apakan ya? He..he...
NB: Hingga postingan ini terakhir ditulis, saya belum dapat SMS lagi dari mak yang sekarang berada di Madinah. Semoga lagi khusuk beribadah. Amien!
Jumat, November 30, 2007
Blog Mempercepat Solusi dan Silaturahmi
Kamis, November 29, 2007
Alhamdulillah, Insya Allah Tetap di Batam
Akhirnya, selesai juga rapat akhir tahun di tempat grup saya bekerja saat ini. Langsung deh, ngeblog. Alhamdulillah, dan Insya Allah sepertinya saya dan keluarga bakal tetap di Batam, tidak dipindah ke kota lain.
Setiap akhir tahun, saya dan istri selalu berpikir (bisa dianggap berdoa), semoga Allah menunjukkan pilihan terbaik kepada bos saya, ke mana saya tahun baru nanti bertugas. Dari sinyal yang diberikan dalam rapat barusan, di mana proyeksi kami yang diterima, berarti, bisa jadi, saya tak dipindah.
Tahun depan, tepatnya 10 Februari 2008, tepat delapan tahun di Batam. Kota ini seakan sudah melekat pada diri saya. Sudah mulai berani ''membanggakan''-nya. Meski kadang-kadang, untuk hal-hal tertentu saya tetap bangga Pekanbaru, tempat saya dibesarkan. Misalnya, hingga saat ini saya belum menemukan nasi goreng rasa Padang yang enak di sini. Kalau di Pekanbaru, jangan ditanya, banyak.
Tapi kalau untuk mall, saya bangga dengan Batam dengan Nagoya Hill-nya. Jadi, ketika mak saya bilang, Mall SKA di Pekanbaru lebih besar dari Nagoya Hill, saya protes.
Eh, bangganya kok menyangkut hal-hal itu ya?
Balik ke soal rapat tadi. Sepertinya, saya harus merubah diri. Yakni, semangat untuk ''beraksi'' jangan hanya ada saat ''diceramahi'' oleh bos dalam meeting itu. Tapi terus ada hingga berhari-hari nanti. Mungkin ini sala satu resolusi yang akan saya bikin untuk menyambut 2008. Hmm...
NB: Mak masih bisa SMS soal kondisnya di Madinah. ''br plg uhtd mau ke nabawi solad zuhur. 29-11-200 14:52'' Kata ''uhtd'' saya tak ngerti.
Rabu, November 28, 2007
Hmm...Bukan Saya yang Naik Haji Duluan
''alhamdulillah mamak bisa dak pakai jeket td enak de dimesjid kemaren mamak nampak itot mamak panggil krnya orang lain kt teman mamak mau naik aji itot tu blg itot ya.'' 28-11-2007 10:44
Maaf, masih laporan tentang mak saya yang lagi naik haji. SMS di atas tadi, sepertinya bakal ''pertanda'' haji ''abidin'' saya bakal lama (Itot dimaksud, adik laki-laki saya yang kini jadi PNS di Dinas Kependudukan Kota Batam. Apalagi, memang kalau di kantor saya, diutamakan yang usia 40 tahun. Sedangkan saya masih 36. Hmm...apakah harus pakai biaya sendiri ya?
Pada kata ''dak pakai jeket'', maksudnya beliau bisa tak pakai jaket tadi. Ini sesudah saya SMS, saya pantau di internet, suhu di Madinah telah mencapai 17 derajat celsius. Alhamdulillah.
''mamak br plg solat makan nasi goreng 2 real kopi 1 real salam buat papa dan semuanya kami mau ziarah.'' 28-11-2007 10:35
Cara mak saya menuliskan mata uang Riyal, real saja. Berarti murah dong ya, nasi goreng. Karena 1 Riyal itu saat saya beli Rp2.650. Berarti nasi goreng hanya Rp5.300. Hmm...mahal nasi goreng dekat Tiban McDermott langganan saya, Rp8.000. Ssst...tapi yang itu pakai petai. Hmm...nasi goreng yang dimakan mak, pakai petai gak ya?
''mamak mau kemesjid nabawi kl ada kabar yg kurang baik jgn bilang mamak. kawan mamak sekamar ayahnya meninggal nangis terus dia.'' 28-11-2007 06:46
Begitulah mak saya. Insya Allah dia memang ingin tak banyak berpikir lagi selain beribadah. Dan juga selalu belajar membayangkan yang indah-indah saja agar tetap fokus dan ikhlas. Sebab, dia selalu sukses, apa yang dia pikir sering terjadi. Maka, dia tak mau berpikir yang negatif, tapi yang positif saja. Ketika dia berpikir, ingin dapat menantu yang bukan orang kampung kelahirannya dan kelahiran saya, dapat. Ketika ingin dapat cucu yang gendut, dapat. Ketika ingin cucu yang kulitnya putih agar berubah keturunan, dapat. Ketika ingin cucu laki-laki, dapat. Berarti, soal naik haji tadi, adik saya yang duluan ya?
NB: Untuk yang mau mantau keluarganya yang naik haji, bisa diklik http://www.depag.go.id atau kolom info haji di detik.com Mereka lebih update dibanding www.informasihaji.com
NB: Waktu jam SMS mak saya yang tertulis di atas, itu waktu WIB. Waktu Arab Saudi, kurangi aja 4 jam.
Selasa, November 27, 2007
Alhamdulillah, Mak Sudah Sampai di Madinah
Hmm..jadi juga nunggu pesawat Saudi Arabia Airlines (SV 5119) menerbangkan mak kami, dan 449 jamaah lainnya dari Kloter 10 Embarkasi Batam (BTH) malam tadi pukul 21.10 WIB (molor dari jadwal semula 19.20 WIB). Sayang, saya dan adik tak bisa lagi masuk ke ruang keberangkatan, meski saya juga punya ID Card Bandara.
''Yang kode Z aja tak bisa masuk,'' kata petugas Ditpam OB Bandara Hang Nadim pada saya. Kode ID Card saya RA, saya malas baca keterangan di balik card itu.
Nyesal juga nanya ke beliau, jadi tak bisa melihat calon jamaah haji. Karena, seharusnya pura-pura saja saya dan adik laki-laki saya masuk untuk melihat penumpang Merpati yang menuju Bandung. Malam tadi untuk penerbangan umum, tinggal Merpati ke Bandung itu saja pukul 19.20 WIB. Dan kami juga sudah tahu, untuk haji, ruang tunggunya di Gate 7.
Tapi saat kami tanya ke petugas Informasi (berpakaian dinas pegawai Dishub), katanya percuma juga masuk. ''Gate 7, tertutup tembok. Tak kelihatan juga kok,'' jelasnya kepada keluarga lain yang juga datang malam tadi.
Syukur Alhamdulillah, mak akhirnya sudah sampai di Madinah pukul 02.00 dinihari tadi waktu setempat. Saya yang duluan SMS menanyakan keberadaan beliau. Lalu dibalasnya. Dia juga mengingatkan untuk beritahu adik perempuan saya yang berada di Pekanbaru, informai itu. Karena, adik perempuan saya tak bisa dihubungi (bisa jadi, setingan nomor Hpnya bukan pakai +62 ya..?. Kalau direply kan mungkin beda ya).
NB: Sebenarnya ini malas ditulis. Heran, saat pesawat delay itu, para pejabat panitia haji Batam datangnya ke Bandara Hang Nadim sekitar pukul 20.00 WIB. Saya dan adik saya curiga, orang ini, memang sudah tahu kayaknya pesawat delay. Kasihan mak dan teman-temannya harus sudah siap-siap di Asrama Haji pukul 16.00 WIB dan meninggalkan asrama 17.45 WIB, tapi terbang akhirnya pukul 21.10 tidak 19.20 WIB.
NB: Dapat info dari teman reporter koran lain yang bertugas di posko haji; mengapa pesawat mak saya delay, karena ada item pesawat yang tidak berfungsi dengan baik. Hmm...syukurlah, udah sampai dengan selamat meski delay.
Senin, November 26, 2007
Sepatu Bolong dan Kemandirian
Wow...lain pula rasanya tak ngeblog sehari saja. Kemarin sibuk sekali. Niat lihat mak yang baru tiba di Bandara Hang Nadim dengan membawa keponakan juga, tak sempat lagi. Karena berburu sepatu, di saat mall dan toko belum merata buka.
Ini pengalaman menarik dari mak saya yang mau naik haji. Baru berangkat dari Pekanbaru ke Batam saja, sepatunya sudah bolong. ''Untung masih di bandara Pekanbaru, jadi mak langsung beritahu.''
Untung juga bagi saya dan istri, masih bisa berburu di pagi Minggu itu. Semula toko sepatu Bata di depan Gelael Baloi buka saat kami sampai di sana jam 9.30 WIb. Tapi saat dicari yang nomor 5 sesuai pesanan mak, karyawannya seperti malas bongkar. Mungkin karena baru dalam tahap renovasi toko sepatu itu. Dia nyarankan ke outlet Bata di DC Mall. Alhamdulillah ternyata sudah bisa dan berjumpa dengan size no. 5. ''Mamak sudah di pesawat.'' Ini sms masuk jam 9.59 WIB.
Lalu memburu pula ke Bandara Hang Nadim. Ternyata pas selang satu menit kami sampai. Mak juga sudah berada di ruang kedatangan. Sepatunya bukan hanya bolong, tapi juga sudah copot dari lemnya. Ganti sepatu pun dilakukan di ruang kedatangan itu. Saya bisa masuk karena ada ID Card yang telah lama diurus kantor untuk bisa masuk Bandara.
''Kaki mamak memang lain. Besar,'' kata adik bungsu saya yang ada di Batam, yang dia, anak dan istrinya tak sempat lagi kami bawa ke Bandara Hang Nadim.
''Itulah, mamak hanya baru pakai sepatu itu dua kali. Belinya di panitia tempat mamak manasik.'' Adik perempuan saya, yang di Pekanbaru memberi komentar.
Saya dan adik laki-laki saya sudah tahu sifat mak. Beliau tak mau merepotkan. Beliau terbiasa mandiri. Karenanya, ketika sore hari sekitar jam 16.00 WIB kami berkunjung ke Asrama Haji Batam Center, kami tanyakan lagi soal sepatu. Akhirnya, mak ''menyerah'' dan menyatakan,''kalau pakai kaus kaki agak sempit. Bolehlah, beli lagi yang nomor 6.''
Jadi ingat, komentar temannya mak saat berganti sepatu di Hang Nadim. ''Kalau sempit sebut saja kak. Kan kita masih ada satu hari lebih di Batam ini.''
Yang nomor 6, kami cari sesudah pulang dari Asrama Haji itu. Untung, masih ada satu. Itu pun sempat terselip, hingga menyusahkan karyawan outlet Bata di DC Mall mencarinya. Dan paginya, saya serahkan lagi ke mak, ditemani anak sulung saya.
Cas baterai udah ada? Tak beli kacamata hitam? Baju dingin sudah ada?
Pertanyaan-pertanyaan kecil itu harus ditanyakan. Bisa jadi ada yang terlupa. Tapi Insya Allah mak saya sudah oke untuk berangkat ke Madinah pukul 19.20 WIB nanti.***
NB: Papa (sebutan untuk ayah kami) sudah tiba di Batam, Sabtu. Meski sudah terbebas stroke dan kelihatan normal, tapi beliau mengaku kepalanya masih pusing. Kami ini anggap hal lumrah, karena beliau sangat berat untuk berpisah dengan istrinya. Untuk waktu tiga hari saat mak ke Batam aja, papa sudah sangat ''susah hati'', apalagi 40 hari begini.
NB: Jengkolnya ternyata direndang. Istri saya ngomel sedikit karena WC bau. Padahal, dia makan juga tuh jengkol....
Sabtu, November 24, 2007
Jengkol Cegah Diabetes?
''Jangan masak lagi. Mamak kirimkan goreng jengkol.''
Telepon pagi tadi berdering. Yang ngangkat istri. Dan kalimat di atas yang didapat dari mertuanya (tentu saja ibu saya). Hmm...jengkol...
Itulah mamak (sapaan kami untuk ibu). Sering menyebut tak akan kirim apa-apa lagi. Eh tetap saja dikirim. Siang nanti 12.40 WIB dengan pesawat Lion Air, papa kami akan datang dari Pekanbaru ke Batam. Nah, di situlah mamak nitipkan gorengan jengkol.
Kedatangan papa ke Batam, karena selama mamak saya naik haji, papa ''menetap'' di Batam dulu. Maklum, dua anaknya berada di sini. Sedangkan adik perempuan saya yang di Pekanbaru, tentu bisa kerepotan karena harus membagi waktu untuk bekerja.
Papa juga sudah tak terlalu fit seperti saat masih aktif. Setahun setelah pensiun di tahun 1998, beliau kena stroke. Tapi hanya sempat empat hari menginap di RS Awal Bross Pekanbaru, beliau dapat mengatasi stroke itu. Tentu saja tak bisa se fit dulunya. Namun, jika turun dari pesawat di Hang Nadim (sudah berkali-kali ke Batam), beliau tak mau dibantu kursi roda, tapi dikuatkan dirinya untuk berjalan.
Kembali ke topik jengkol. Di sela ngisi postingan ini saya search ke google dan ketik kata jengkol. Wuih...banyak blog yang menuliskannya. Juga ada dari wikipedia. Dan ini yang unik, katanya jengkol bisa mencegah penyakit diabetes. Ini kalimat wikipedia itu; Jengkol diketahui dapat mencegah diabetes dan bersifat diuretik dan baik untuk kesehatan jantung. Tanaman jengkol diperkirakan juga mempunyai kemampuan menyerap air tanah yang tinggi sehingga bermanfaat dalam konservasi air di suatu tempat.
Sayang, saya belum menemukan penjelasan lanjut soal mencegah diabetes itu. Ini, udah keburu mau ninggalkan kantor. Dan segera ke Bandara Hang Nadim. Wuih...jengkol...wuih, bakal terhindar saya yang gendut ini dari diabetes. Amin!
Jumat, November 23, 2007
Orang Bodoh Berpayung, yang Bertanggungjawab
Inggris gagal ke putaran final Euro 2008 setelah dikalahkan Kroasia di kandang sendiri kemarin 2-3. Saya sedih, saya termasuk yang berharap timnas Inggris bisa bangkit. Karena kesedihan itu, saya kumpulkan beberapa petikan berita ini. Berita yang semuanya menyudutkan pelatih Steve McClaren.
Ada yang sampai menyebutnya, orang bodoh yang memegang payung. Tapi di satu sisi, saya juga harus menyatakan, dia orang yang bertanggungjawab.
Fakta-fakta karena Tindakan McClaren:
* "Hasil ini benar-benar menyakitkan. Kami kalah di saat begitu tingginya harapan yang diberikan suporter Inggris. Kami membuat mereka down. Saya tahu apa yang mereka rasakan saat ini karena kami juga merasakan hal serupa. Saya bertanggung jawab atas ini semua," kata McClaren usai pertandingan seperti dilansir AFP.
* Mantan pelatih Middlesbrough itu memang harus bertanggung jawab. Sebab, ketika melakoni partai hidup mati, McClaren malah membuat blunder. Di antaranya, memainkan kiper Scott Carson. Padahal, dia belum pernah memperkuat Timnas Inggris di kompetisi resmi. Dan juga baru memainkan Beckham di babak kedua.
* Mereka yang berada di wilayah Inggris Raya juga kecewa berat. Mereka harus menghadapi kenyataan pahit karena tak satu pun wakil Inggris Raya yang mampu merebut tiket ke putaran final Euro 2008. Wales dan Skotlandia terlebih dahulu gagal. Harapan yang tersisa hanya pada Inggris dan Irlandia Utara. Sayang, keduanya juga gagal. Irlandia Utara di laga pemungkas Grup F menyerah 0-1 dari tuan rumah Spanyol kemarin.
Kata Media:
* The Sun, tabloid harian dengan oplah terbesar, menampilkan foto bola kempes yang teronggok di dekat trotoar pada halaman depan. Tidak ada kata di halaman headline itu; sesuatu yang sangat jarang dilakukan.
* Harian The Guardian, di halaman olahraga menurunkan judul hopeless, hapless, helpless, yang bisa diartikan tidak ada harapan, tidak beruntung, tidak berdaya.
* Daily Mail dengan sarkastis menampilkan foto Manajer Steve McClaren dengan judul the wally with brolly atau orang bodoh yang memegang payung. Di foto ini memang terlihat McClaren sedang memegang payung di pinggir lapangan.
Kamis, November 22, 2007
Dapat Juga Pecahan 1 Riyal
Alhamdulillah, angin baik datang terus. Magrib kemarin, Speedy sudah oke. Pagi ini 08.08 WIB dapat juga uang pecahan 1 Riyal. Lumayan lagi, 100 lembar. Plus 3 lembar pecahan 5 Riyal. Nilai rupiahnya, Rp305.000, dengan kurs Rp2.650 per 1 Riyal. Adalah Bank BNI Kampung Utama, Batam, tempat penukarannya.
''Beritahu temannya pak, di sini aja tukarnya. Kurs kami lebih murah,'' kata seorang karyawan BNI, sebelah meja karyawan yang melayani saya.
Sedangkan yang melayani saya langsung, Pak Hedo, bertanya; ''kapan berangkatnya pak?''
Dua pertanyaan yang mengarah kepada saya yang dikira mau naik haji. Setelah saya jelaskan uang Riyal itu untuk ibu saya, baru keduanya manggut. Tapi saya senang juga, ini adalah doa dari orang lain untuk saya. Berarti kapan ya?
Mengapa harus 1 Riyal? Ini pertanyaan Hedo. Saya jawab, itu tips dari teman-teman ibu saya, teman-teman ibu mertua (telah duluan berangkat 17 November lalu) dan teman-teman istri saya alias tetangga kami. Katanya, itu mempermudah membeli sesuatu (maaf, ini bukan untuk oleh-oleh ya?). Juga untuk bersedekah. Kabarnya, di tanah suci nanti, bakal banyak pengemis di mana-mana (tapi bukan berarti, sedekahnya hanya 1 Riyal ya).
Ibu sudah saya kontak. Dia sebenarnya di Pekanbaru sana sudah dapat Riyal juga, tapi pecahan besar. Persiapan terakhir lainnya juga sudah oke. Termasuk sepatu kets. Katanya, dia beli merk Bata. Minggu 25 November nanti, dia bakal terbang ke Batam dan masuk Asrama Haji, Batam Center. Lalu keesokan harinya, menuju tanah suci (entah ke mana ini, Madinah atau Mekah, saya belum tanya).
Sedangkan saat di kantor dan sambil ngeblog ini, saya merapikan uang Riyal. Ternyata banyak yang sudah lusuh. Yang terkesan baru, saya letakkan di atas. Kok gitu uangnya, kata istri via telepon. ''Ya, iyalah, uang Riyal di Batam ini kan nunggu orang pulang haji baru bertukar atau suami buk Eli pulang ke Batam,'' kata saya.
Suami buk Eli itu, tetangga kami, yang bekerja di Arab sana (bukan TKI biasa ya, ini TKI yang kerjanya berteknologi tinggi). Pulangnya tiga bulan sekali. Dia pakai sistem kerja, 3 bulan kerja, 1 bulan libur. Kabarnya, puluhan juta selalu dia kirim ke istrinya dan juga dibawa pulang. Ssst....puluhan juta itu, Rupiah atau Riyal ya?
NB: Berita terbaru: Haji ''abidin'' yang di DPR terancam dicoret tuh oleh Ketua DPR-nya. Wakil Ketua DPR A. Muhaimin Iskandar mengatakan, pimpinan DPR merasa malu karena Tim Pengawas Haji dijadikan "kendaraan tumpangan" untuk naik haji. "Kesannya jadi seperti agen travel saja," kata Muhaimin kemarin (22/11) seperti diterbitkan Jawa Pos
Haji ''Abidin'' yang Dinanti
Ini tak ada terkait sama sekali dengan bos PT Sat Nusa. ''Abidin'' di sini, singkatan atas biaya dinas. Saya menunggu ini untuk dapat ke tanah suci, saat banyak yang bertanya, kapan. Apalagi beberapa hari ini sibuk bantu persiapan ibu yang bakal berangkat 26 November nanti.
Nah, di saat lagi susah cari mata uang Riyal pecahan kecil 1 Riyal, ada pula berita makin banyak saja anggota DPR kita pakai haji ''abidin''. Yang seharusnya hanya 20 orang, tahun ini membengkak menjadi 43 orang. Yang seharusnya biayanya hanya Rp874 juta, jadi membengkak ...(kalikan saja sendiri ya, jika dobel tambahannya).
Uniknya, tim itu membengkak karena masuk juga keluarga mereka. Berapa riyal mereka dapatkan itu ya? Mudahkah mereka mendapatkan riyal pecahan 1 riyal? Tak susah seperti saya, yang hanya ditugaskan ibu mencari pecahan 1 riyal senilai Rp300.000 saja?
Kalau abang kapan lagi? Hm...terngiang lagi pertanyaan itu, yang tanpa disadari sudah makin banyak dan bertubi-tubi. Adakah giliran saya dapat segera dari kantor? Rasanya meskipun nanti dapat ''abidin'', saya tetap harus punya uang lebih. Karena banyak acara-acara yang akan dibuat. Belum lagi, jika mengajak istri pula berangkat. Mana ada yang pernah dapat haji ''abidin'' dari kantor grup saya, ditambah dengan biaya untuk istri.
Jadi kapan? Saya tetap menanti.***
NB: Terima kasih Telkom, speedy saya sudah oke, jadi bisa mulai ngeblog subuh seperti postingan ini (dari jam 5 sampai jam 6.20). Jadi, saat saya berburu riyal pecahan 1 riyal pagi ini dan bisa saja terlambat ke kantor, tidak akan pusing lagi untuk konsisten mengisi blog ini.
NB: Mengapa pecahan 1 riyal? Ini tips dari yang sudah pernah berangkat haji. Katanya, agar memudahkan dalam berbelanja (bukan untuk belanja oleh-oleh ya) dan membayar sesuatu di sana nantinya (yang ini saya tak paham betul, karena belum naik haji..he..he...).
Rabu, November 21, 2007
Saya Pakai Speedy Lagi
Alhamdulillah, speedy saya aktif lagi. Respon Telkom Batam pada permasalahan speedy saya ternyata, lebih cepat dari yang saya kira. Magrib ini pukul 18.30 WIB, Pak Karsono telah berhasil mengaktifkan lagi.
''Terima kasih pak. Sudah merepotkan Bapak. Sudah oke speedy-nya.''
Itu kata yang saya ucapkan pada Pak Tugimin, pimpinan dari Pak Karsono. Hmm...Pak Tugimin ini ternyata adalah teman satu angkatan dengan saya, saat mengikuti Pelatihan ESQ tahun 2005. Dan juga tetangga dekat rumah, lain blok. Kami hanya pernah berjumpa lagi saat ada keluarga karyawan Telkom meninggal, yang kebetulan tetangga saya. Dan kini, kami ''berjumpa'' via HP-nya Pak Karsono dan karena adanya permasalahan speedy ini.
Terima kasih, Telkom. Terima kasih speedy, saya bisa aktif ngeblog di rumah, dan anak saya bisa main game online lagi. Hm...
Berhentilah Dhani-Maia!
Hmm...niatan pagi-pagi posting blog terhenti sudah. Speedy saya masih belum bisa terselamatkan. Modemnya kena petir, dan harus diganti. Saya masih merasa, sudah cabut kok semua colokan, kok tetap bisa kena petir ya? Jadinya, ya, ngeblog agak tersendat. Padahal ide tulisan tentang Dhani-Maia sudah berkeliaran di kepala.
Di sela-sela nanya harga modem, opini saya tentang Dhani-Maia berkelabat (saya susah cari kata lain) lagi. Cepat ditulis nih; saya tak suka cara Dhani-Maia mengekploitasi kisruh rumah tangganya. Bukan saja tak baik bagi anak-anaknya sendiri, tapi juga bagi pasangan suami istri lain di seluruh Indonesia.
Dhani memperlihatkan arogansinya. Malah, arogansi itu bisa disalahtafsirkan oleh para suami-suami lain. Yang belum tentu kualitas pendidikannya (baik formal maupun informal) bisa menafsirkan benar. Bisa-bisa saja, Dhani menjadi suami super kuasa (he..he..membela wanita) dan menginspirasi banyak laki-laki.
Tapi di satu sisi, kita harus ingat, siapa sih yang mengizinkan Maia tampil langsung ke dunia hiburan, kalau bukan Dhani? Ingatkan, grup Ratu itu, justru motor di belakangnya adalah Dhani? Lalu ketika Ratu ngetop, tentu saja si Maia sering keluar malam untuk show. Ya, tentu sajalah, curahan waktu untuk keluarga berkurang.
Dan saya masih ingat, puncak kekesalan Dhani pada Maia ketika Maia pulang subuh karena mengikuti acara ultah si Aming. Maia tak bisa masuk rumahnya, saat itu. Seterusnya, berbagai peristiwa keributan mereka menjadi konsumsi publik dan ''sengaja'' pun diekspos.
Dhani orang pintar. Sebelum kasus ribut dengan istri sendiri, dia sangat pintar ''mengelola'' gosip untuk jadi bahan promosi gratis. Ingat, saat dia digosip dengan Agnes Monica, di saat Dhani menggarap album Agnes. Ingat juga, ketika ada gosip dia ''ada main'' dengan Pinkan Mambo, weleh, grup Ratu malah makin melejit. Atau juga, ketika digosipkan dengan Mulan (pengganti Pinkan), nama grup Ratu pun melejit kencang. Dan ingat, grup Dewa, Ratu, atau Dewa-Dewi itu satu manajemen yang dikelola Dhani, begitu juga Mulan yang kini bersol karir.
Beberapa hari ini juga, Dhani pintar. Dia sekarang yang terlihat kalem di depan kamera infotainment. Dan malah sebaliknya, Maia yang terkesan arogan dengan muka penuh kemarahan saat ''mengambil'' anaknya yang lagi syuting.
Di sebalik itu, Maia yang justru ''terjebak''. Seharusnya Maia tetap saja ''melawan'' Dhani dengan penuh kelembutan. Sebab, Dhani sudah terlebih dulu mengkoarkan ''kejelekan'' Maia tentang pulang malam, berselingkuh dengan bos TV atau seperti kalimat ini ''istri macam apa, kalau lagi ribut, justru keluar rumah dan nginap di tempat lain.''
Saya menilai, potensi Maia sebenarnya lebih besar dari Dhani. Dulu dalam sebuah tayangan (saat Maia belum apa-apanya), Dhani mengakui, lirik-lirik lagunya banyak dibantu Maia. Dan saya tetap yakin itu, buktinya sekarang, lirik-lirik lagu yang dibuat Dhani baik untuk Dewa atau Dewa-Dewi bahkan grup baru Dhani, The Rock biasa aja. Cuma yang masih enak ''isian'' musiknya. Sudah jarang terdengar (ini khusus lagi yang ngetop ya, karena saya tak nyimak album), kutipan-kutipan puitis lagi.
Tapi satu hal, saya yakin, sebenarnya Dhani dan Maia adalah dua orang yang sangat mencintai. Hanya faktor lingkungan yang mengubah mereka semua. Apa perlu mereka kembali hidup di rumah kontrakan ya seperti zaman merintis tenar seperti sekarang ini? Jadi, berhentilah (hentikan apa saja yang tak baik dan dipublis ke umum), rukunlah dan bikin lagu-lagu hebat lagi!
NB: Foto milik detik.com ya
Selasa, November 20, 2007
Orang yang Selingkuh, ''Kami'' Kena Getahnya, Kami yang Ambil Nikmatnya
Malam tadi saat asyik mendengarkan musik peng-upgrade otak melalui PDA ZT326, ada telepon masuk. Salah satu pimpinan tempat saya bekerja menelpon (level saya di atas dia dikitlah, ge..er). Membahas sesuatu yang selalu dua tahunan ini nyaris sama terjadi. Ada yang gelisah, lihat bagaimana kami bekerja. Apa itu?
Ya, inilah. Gara-gara orang lain yang selingkuh, ada ''kami'' yang kena getahnya (ini getah pohon kolang kaling yang bikin gatal kali...). Mereka yang selingkuh itu (setidaknya ini tuduhan suami yang perempuan), yang laki-lakinya seorang ketua partai politik (cari aja sendiri berita ini di koran-koran Batam..he..he..biar yang cari merasakan juga bagaimana susahnya selingkuh...eh mencari berita dugaan selingkuh). Lalu yang ''kami'', ingat ini kami pakai tanda petik, berarti bukan tentu saya, dan yang nelpon saya, atau bawahan yang nelpon itu, atau juga bawahan saya. Melainkan orang lain.
Sudah dua tahunan begini terjadi hal-hal seperti itu. Kami seolah-olah dicampuri (ini kami tanpa tanda petik). Atau kalau tidak, saya yang dijelekkan. Kalau tidak dijelekpun, ya, minimal, saya tak dianggap bekerja menurut versi ''kami''. Fokusnya selalu saya.
Dua tahun juga saya berusaha ''menghilangkan'' dia dalam pikiran dan alam bawah sadar saya. Tapi tetap saja belum (bukan tak) bisa. Karena saya berinteraksi dengan banyak orang yang mengenal dia (alias ''kami'') tadi. Mereka pun bercerita macam-macam. Saya selalu tersenyum, apalagi bila ujung-ujungnya, setelah dua tahun, masih saja ''mengotak-atik'' saya.
Dan terakhir ini, memang tak langsung ''mengotak-atik'', tapi saya sudah menemukan jurus jawaban bagi diri saya sendiri. Untuk apa memimpin, bila kita tak percaya pada bawahan kita. Untuk apa memimpin bila kita tak rela mendelegasikan wewenang. Untuk apa memimpin, bila kita juga yang masih mengerjakan.
Jadi, ketika pasukan saya mengambil keputusan, dan telah dilalui dengan berbagai prosedur, maka tanpa diberitahukan pun pada saya, saya sudah anggap itu, bagian keputusan saya. Saya siap mempertanggungjawabkannya.
Saya tak perlu menelpon reporter saya yang akhirnya menjadi saksi kasus selingkuh itu (telah tiga kali surat panggilan dari kepolisan, baru kali ketiga diputuskan rapat redaksi datang). Reporter itu, malah menuliskannya kisah dia menjadi saksi (baca Posmetro Batam hari ini). Bukan saksi yang melihat selingkuhan ya, tapi saksi ketika sang suami yang melaporkan istrinya selingkuh dan mengeluarkan pernyataan kepada wartawan. Ini pun gaya pasukan saya, yang coba ''berkreasi''. Memberi sesuatu yang lain pada pembaca.
Reporter itu, betul-betul menikmati ''keselingkuhannya'' dari seorang yang biasa mewawancarai, kini gantian, jadi yang diwawancarai polisi. Dan dia pun ''menikmati'' gaya ''selingkuh'' menuliskannya, karena menyebutkan juga reporter lain yang juga jadi saksi untuk kasus yang sama.
Saya tak pernah menelpon reporter lain itu, seperti yang dilakukan ''kami'' kepada reporter saya (setidaknya hingga postingan ini selesai). Saya hanya baru berdiskusi dengan beberapa petinggi dari reporter itu. Yang penting, suara kami keluar, sama. Meskipun harus saya akui, tak semua kami berpendapat sama. Itulah namanya, keputusan lembaga.
Saya berusaha mengambil hikmah dari dua tahunan yang berlaku pada saya. Dan mudah-mudahan dari kasus terupdate kali ini, kami (tentu saja saya, pemimpin reporter dan reporternya), bisa mengambil hikmah atau nikmatnya. Ya, bisa menikmati diwawancari polisi, misalnya (he..he..). Bukan saja selingkuh itu bikin pusing, tapi juga akan banyak rentetan lain. Hi..hi..hi...
Saya Putuskan: Hari Ini Berhenti Pakai Speedy
Wow...ternyata mengecewakan speedy saya. Tadi sudah diperiksa petugas Telkom, dan diambil kesimpulan modemnya kena petir. Kata istri, saat dicoba pakai modem petugas oke. (Saat petugas datang, saya lagi di kantor).
Saya kecewa, karena harus beli modem lagi. Sedangkan garansinya sudah habis. Tak ada alternatif lain. Dulu saat saya ikutan speedy karena dapat modem gratis.
Hari ini saya berhenti saja, meskipun pagi tadi saya sudah bayar Rp200.000 untuk tagihan November. Good Bye Speedy.
NB: Seingat saya, colokannya sudah saya lepas dari modem saat banyak petir pada Minggu 18 Nov dan Senin 19 Nov. Saat Senin sore saya mau menghidupkan lagi, hanya lampu power saja yang hidup.
Nunggu Antrian Komplen Speedy, Ngeblog!
Koneksi speedy saya di rumah ngadat. Pagi ini sekitar jam 08.30, bertepatan dengan bayar tagihannya, saya sekaligus komplen di Telkom Pelita. Nunggu antrian saya yang bernomor 037, saya postingan blog ini. He...he...manfaatkan fasilitas gratis di ruang tunggu. Asyiik...
Tapi nantikan kisah kelanjutan nasib speedy saya ya...
Senin, November 19, 2007
Mewah Hanya Perlu Rp13 Ribu
Hari ini, benar-benar berakhir masa bulok (bujangan lokal). Sore kemarin, anak dan istri telah balik lagi ke Batam setelah pulang kampung di Medan dan Kisaran. ''Sudah WC-nya jorok, airport tax-nya 25 ribu pula. Beda dengan Hang Nadim...''
Itu keluhan dan pujian pertama kali yang keluar dari mulut istri saya, setelah kami berhasil memasukkan seluruh barang ke space wagon kesayangan. Lalu lepas dari kepadatan parkiran terminal kedatangan (maklum banyak calon jamaah haji yang datang). Yang jorok itu maksudnya Bandara Polonia, Medan.
Ya, memang betul. Jika mau benar-benar memuji, Bandara Hang Nadim mungkin bisa sejajarlah dengan Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Kalau pun ada beda, ya, mungkin beda tipislah. Kalau soal WC, rasanya Hang Nadim sejajar dengan Soekarno-Hatta. Tapi kalau kita mau fair, dengan membayar airport tax hanya Rp13.000, tapi dapat pelayanan dan fasilitas lebih dari yang kita dibebankan Rp25.000, ayo bagaimana? Wajarkah, Bandara Hang Nadim dipuji? (seingat saya, hanya tinggal Bandara Hang Nadim masih 13 ribu, yang lain sudah 25 ribu).
Sesaat sebelum anak istri tiba, saya sempat ngobrol dengan salah seorang karyawan bandara. Saat saya sebut, soal kesejajaran tadi, dia pun menanggapinya dengan wajar. ''Ya pak, kalau dilihat dari biaya 13 ribu itu. Tapi di sini ada bedanya. Penumpang masih bisa keluar masuk, hingga benar-benar keluar menemui keluarganya. Kalau di Cengkareng kan, kalau sudah ke atas, tak bisa turun-turun lagi. Karena itu, sering lihatkan, penumpang dicari-cari petugas.''
He..he...benar juga. Di Hang Nadim sering kali terlihat pemandangan begitu. Setelah chek in dan bayar airport tax, si penumpang asyik ngobrol dengan keluarganya di luar ruang keberangkatan (area publik). Dan nanti, kita akan lihat pemandangan (bahkan sering nenek dan kakek) berlari-lari kecil didampingi petugas dengan HT-nya. HT itu terdengar suaranya begini; cepat...cepat...satu menit lagi...)
Berarti, di situ pula ''kelebihan'' lain Bandara Hang Nadim. Suasana internasional, yang berbau kekeluargaan.
Juga ada suasana Islami. Petugas informasi, jika sudah masuk waktu solat, selalu memberitahukan melalui pengeras suara. Dan kemarin, saya yang kebetulan sudah masuk ke ruangan pengambilan bagasi, bisa solat juga di sana. Saya ikutan solat bersama karyawan Bandara, juga petugas Perdaduk dan porter. Solatnya dalam sedikit kegegelapan, karena listrik PLN mati. Genset sepertinya menerangi beberapa tempat saja.
Tapi segala kemewahan dengan biaya hanya Rp13.000 itu, sepertinya bakal segera berakhir. Sudah lama isu, angka 13 tadi berubah jadi 25 alias Rp25.000. Namun bagi saya, wajar saja. Apalagi, sekarang sudah terlihat ruangan terminal kedatangan dan keberangkatan ditambah pula bangunannya. Dan tentu saja kita akan bisa lebih nyaman. Bisa jadi, ruang tunggu (misalnya A2), hanya untuk satu maskapai penerbangan, seperti yang berlaku di Cengkareng. Kalau sudah begitu, benar-benar makin sejajarlah fasilitasnya. ***
NB: Saat tahu pesawat yang ditumpangi anak istri delay, saya ''bermain'' di parkiran bawah terminal kedatangan. PDA ZT326 saya bisa beraksi menangkap sinyal-sinyal televisi. Mulai dari TV Singapura, Malaysia, Batam hingga TV Nasional dapat. Sayang, Anteve tak tayangkan siaran langsung Liga Indonesia, tapi justru ulangannya. Jadinya, saya tonton Batam TV saja yang lagi mengudarakan program musiknya. Asyik...
NB: Foto: suasana parkiran pesawat Bandara Hang Nadim. Sumber foto http://dedesutarman.tripod.com/index.htm Beliau salah satu pejabat di Bandara Hang Nadim. Maaf pak, saya belum kenal Bapak, tapi sudah ''ambil'' milik Bapak ya...
Minggu, November 18, 2007
Ketakutan Berbuah Peluang
''Saving...!''
''Awas dompet...!
Teriakan itu terdengar saat mati listrik tepat pukul 18.00 WIB di ruangan meeting lantai 5, Hotel 89, Batam, Sabtu malam (17/11). Saya yang berada di sana tersenyum. Kata saving, saya yang sebut, ingat masa ngetik berita dulu di Pekanbaru yang sangat sering mati listrik. Kok, Batam bisa juga?
Hari ini pun masih ada giliran mati. Entah daerah mana tak hapal. Tapi rumah saya dan sekitarnya, sudah dapat giliran kemarin yang dimulai pukul 13.30 WIB (tak tahu sampai berapa, karena saya meninggalkan rumah tepat saat mati, dan kembali pukul 21.30 WIB). Minimal, saat mengetik postingan ini, belum mati nih.
Kata PLN Batam, giliran ini karena ada pengaturan inter koneksi dengan PLTG Panaran (itu yang sepengetahuan saya berlokasi sebelum Jembatan 1 Barelang). Sebenarnya pekan sebelumnya, juga sudah mati, tapi tak ada pengumuman resmi. Bisa diistilahkan kecelakaan?
Tapi kali ini meski sudah diumumkan jauh lebih awal di berbagai media (he...he...di koran saya bekerja, tak dapat tuh iklannya), tetap saja banyak yang takut. Yang punya usaha tapi tak punya genset, sudah langsung hitung untung rugi seperti warnet dan wartel. Yang punya usaha dan punya genset, sudah ''berprasangka'' seberapa lama bisa kuat gensetnya. Sedangkan bagi saya yang di rumah (mungkin yang lain), hmm...tak bisa nonton tv. Apalagi kalau malam nanti mati, bisa tak nonton partai Indonesia versus Syiria di Pra-Piala Dunia.
Namun di sebalik itu, tetap saja ada yang untung dari ketakutan mati listrik (biasa disebut mati lampu ini oleh masyarakat umum, kan?). Yang paling dekat, tetangga depan rumah yang berjualan. Lilinnya laku keras. Yang lebih besar kayaknya penjual genset. Di Batam Pos saya ada baca iklannya begini; Sekarang Musim Mati Listrik, Mari Atasi dengan Genset, Hanya 700 ribuan. Mirip-mirip seperti itulah iklannya.
Hee.hee...jadi ingat sesi kuliah tadi malam yang diselingi mati lampu itu, soal pernyataan Winston Churchill. Orang pesimis melihat kesulitan dalam setiap peluang, orang optimis melihat peluang dalam setiap kesulitan.
Tapi apalagi ya peluangnya, jika listrik terus mati bergiliran? Jual lilin, segan sama tetangga depan rumah. Jual genset? Wow...modal besar juga itu. Ayo, bantu dong ide lihat peluangnya....!
NB: Siang ini jemput anak istri di Bandara Hang Nadim. Ini hari terakhir jadi ''Bulok'' (alias bujangan lokal) sejak 8 November lalu. Mertua sudah berangkat haji via Polonia Medan 17 November lalu, di sanalah misi istri dan anak pulang kampung. Tanggal 26 November nanti, giliran ibu saya yang naik haji via Bandara Hang Nadim.
NB: Foto itu, lokasi PLTG Panaran. Mau tahu lebih lanjut klik aja www.plnbatam.com. Websitenya tak menampilkan berita atau info soal mati listrik. Sepertinya petugas websitenya masih libur Lebaran.
Sabtu, November 17, 2007
Melayu tak Usah Dikotak-kotak
Maaf, judulnya serius. Ini pasal berkaitan dengan kolom data kependudukan Kota Batam yang disebar ke masyarakat. Hari ini, baru saya ''tersadar'' ada yang serius ditanggapi. Ya itu, yang serius, jangan kotak-kotakkan Melayu.
Saya pun jadi malu pada warga yang mengajak saya berdiskusi itu. ''Kemarin nulis apa di kotak melayunya itu?'' Wah, saya lupa. Saat mengisi itu, saya lagi nemani anak belajar. ''Entah apa diisi istri saya pak?'' (Saya pun menyetop nulis, untuk menelpon istri. Katanya, dia hanya isi pilihan Melayu saja, tanpa embel-embel lain).
(Jadi ingat sekarang, saya suruh istri cepat isi dan serahkan formulir itu, karena saya mendengar ceramah Wakil Walikota Batam Ria Saptarika saat safari Ramadan di masjid kami di Tiban. Saat itu beliau mengingatkan formulir itu penting untuk menerapkan sistem SIAK. Pulang dari tarawih itu, saya langsung ingatkan istri untuk segera isi dan serahkan ke Pak RT. Dan saya tak ada mengecek lagi...)
Kembali ke diskusi dengan bapak tadi, katanya;''tak seharusnya di formulir itu Melayu dibeda-bedakan. Masak, ditulis ada pilihan Melayu Bangka dan Melayu lainnya. Sebenarnya cukup satu saja, Melayu, titik. Jangan-jangan kau isi Melayu Riau tak?''
Saya pun manggut-manggut malu. Malu tak memperhatikan kolom itu. Dan kini pun punya pandangan baru, mengapa beberapa waktu lalu, ada juga berita memprotes ''pembagian'' Melayu itu.
Si bapak mencontohkan mudah saja (ini pun saya yang menafsirkan). Seperti kalimat ini; kita orang Melayu, kita punya adat istiadat, tidak seperti orang barat sana. Kalimat ini nyaris sama dengan yang ini; kita orang timur, adat kita beda dengan orang barat.
Bagi si bapak ini, Melayu tidak sekedar hanya salah satu suku. Tapi Melayu sudah jadi budaya. (Maaf, dibagian ini, saya susah sekali menjelaskannya. Tapi saya paham maksudnya). Pahamnya itu, Melayu tak kenal mengkotak-kotak orang lain. Siapapun boleh masuk dan diterima di tanah Melayu ini. Lihat sajalah, apa yang terjadi di Kepri dan Riau saat ini. Di Kepri, orang dari seluruh Indonesia datang dan berkiprah membangun Kepri. Begitu juga di Riau -- apalagi Pekanbaru -- isinya mala dominan warga Minang.
Dan pertanyaan penting dari si bapak, jika memang tiap suku diperinci lagi, mengapa dalam formulir itu hanya Melayu yang begitu? Mengapa tidak ditanya juga, Suku Jawa, misalnya. ''Kan, ada Jawa yang Jawa Timur-nya, Tengah dan Yogya? Atau, Sunda, itu banyak juga macamnya. Kok tidak?''
Bagi si Bapak, hanya ada dua faktor saja mengapa ini terjadi. Pertama, pasti ada maksud-maksud tertentu. Yang kedua, yang tukang buat formulir ini bodoh.
Dianalisisnya yang pertama, dia tak melihat apa gunanya ini. Tak sampai juga pikirannya ini data bakal dimanfaatkan untuk pilkada. ''Kalau benar mau mencari melayu yang kepri, pasti sedikit. Entah apa gunanya ini,'' katanya.
Tapi kalau yang kedua. Dia menduga yang ini. ''Mungkin orang ini sok-sok pintar. Jadi dia perinci lagi Melayu itu dari mana saja.''
Hmm...saya pun hanya merenung (benar-benar merenung, kalau sudah diingatkan posisi saya ada darah melayu-nya dan asli lagi). Bagaimana ya, dengan anak saya? Ibunya dari suku Batak, yang mungkin kalau ada kolom di formulir jadi dicentang Mandailing-nya. Yang satu lahir di Kisaran, Sumatera Utara sana. Yang satu lagi lahir di Batam. Yang lahir di Batam ini, yang selalu saya ajarkan menyebutkan asalnya sebagai orang Melayu. ''Adek orang Melayu, kakak Taya orang Batak. We...''***
NB: Setelah posting ini, saya menemukan formulir itu setelah search ke google. Ternyata ada juga kolom Melayu Ambon, Melayu Deli, Melayu Siak/Riau. Kalau yang disebut di atas, itu hanya sebatas ingatan saat ngobrol ya...Klik di sini; http://www.riasaptarika.web.id/index.php/2007/09/22/informasi-siak-plus-2/
Jumat, November 16, 2007
Good Bye Nokia 9500, Welcome ZT326
Bukan hanya berpisah dengan seseorang saja yang membuat kesedihan. Berpisah dengan handphone pun juga. Wah, sentimentil sekali ya?
Maklumlah, HP Nokia 9500 tersebut sudah lama menemani, sejak akhir 2004. Banyak membantu saat saya menyiapkan tulisan untuk kolom di Batam Pos. Banyak menampung nomor HP teman dan kolega, ada 950 nomor. Dan tentu saja sudah banyak menyimpan segala aktifitas saya dan keluarga.
Kamis menjelang magrib, sang pembelinya malah sudah menunggu di depan rumah. Tak menyangka bisa secepat itu dia datang. Buru-buru sekali memindahkan semua data dan gambar ke laptop. Untung saja kabel data masih ditemukan. Koneksinya pun mudah, berbahasa Indonesia. Tapi tetap saja tak bisa selesai habis hingga pukul 21.30 WIB. Pasalnya, data nomor HP tak bisa berpindah ke laptop. Saat dipindahke SIM Card pun kartu XL pun tak cukup. Makanya, telah dilikuidasilah beberapa nomor.
Di sela-sela perpindahan data itulah, terjadi transaksi ke ZT326. Penjualnya sudah datang ke rumah, dan memperagakan cara kerja PDA ini. Baru pagi ini, sambil postingan, saya tahu itu mereknya Zhongtian, setelah search ke google. Kata si penjual, dia dapat dari temannya yang baru pulang dari Cina. Bisa jadi, belum ada di Batam, katanya.
Nokia 9500 pun akhrinya beres dipindah data, dan berpindah juga pemiliknya. Saya dapat uang Rp1 juta dari menjual Nokia 9500, dan ZT326 saya beli Rp1,6 juta (ini baru lho, bukan seken). Malam tadi saya bayar separuh dulu. Bulan depan bayar lagi.
Apa kelebihan ZT326? He..he..saya seperti anak kecil. Menikmati televisi tanpa perlu pakai 3G. Fitur-fitur lain ada, seperti MP3, MP4, video, kamera tapi semua ini belum saya coba. Radio pun beda dengan Hp saya yang lain, karena tak perlu dicolokkan kabel earphone untuk mendengarnya.
Yang lain belum saya amati betul, karena masih ''kalang kabut'' mengamankan data nomor handphone. Tapi yang pasti, saya kehilangan cara mudah mengopi nomor HP atau bagian kata dari SMS seseorang, seperti layaknya kita memainkan word atau notepad di PC.
Hmm..ngantuk...jadi maklum saja, bila saya belum ''pas'' menuliskan HP baru ini, ya!***
NB: Ada yang lupa. Mengapa akhirnya meninggalkan Nokia 9500? Karena udah dua kali rusak kabel fleksibilitasnya (betulkah istilah kabel ini ya)? Itu yang menggabungkan layar depan dan dalamnya. Terakhir saya tanya untuk memperbaikinya perlu biaya Rp850.000. Kata tukang servis, akan diganti kabel flexinya dengan Nokia asli, tapi biaya itu lebih murah dibanding jika langsung ke outlet Nokia. Hm...hm..
Kamis, November 15, 2007
TW dan Roy Marten ''Menterkenalkan'' Batam Lagi
Beberapa hari lalu, Batam terkenal karena berita penemuan empat pabrik sabu-sabu. Kini muncul lagi berita yang nyaris sama ''menterkenalkan'' (maaf, ini kata benar dalam Bahasa Indonesia, kah?).
Pertama, datang dari Roy Marten. Artis ''jadul'' ini, kembali tertangkap mengugunakan narkotika. Kali ini di Surabaya. Dan malahan, selang dua atau tiga hari setelah dia justru jadi ''jurkam'' anti Narkoba dalam acara yang dihadiri juga oleh Kapolri.
Ya, tentu saja Batam tak disebut langsung. Tapi bisa tersebut, ya, makin gawat saja bisnis narkoba ini. Kalau yang di Batam, salah satu pabrik itu, ''bertetangga'' dengan markas Polda Kepri, maka kali ini, justru pemakainya masih bisa duduk berdampingan dan berpelukan dengan Kapolri juga.
Bagaimana dengan Tommy Winata alias TW? Ya, Rabu lalu dia mendatangi Mabes Polri dalam kasus yang lagi diselidiki terkait dugaan korupsi karena ada mega proyek Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) di pulau-pulau Barelang, Kota Batam. Proyek seluas 17 ribu hektare tersebut diduga berpotensi merugikan negara Rp 3,6 triliun.
Kedua figur ini, memang selalu ''aneh'' dianggap publik. Ketika Roy Marten tertangkap nyabu tahun lalu, ibu saya yang termasuk salah satu penggemarnya, kecewa berat. Saya masih ingat omongan beliau: ''Ndak ado do, gosip kalau Roy Marten.'' (itu bukan logat minang, tapi logat bicara orang Pekanbaru).
Tentu banyak lain yang beranggapan nyaris sama dengan ibu saya. Dan tentu, pekan ini mereka kecewa lagi dengan sikap Roy Marten. Tapi kekecewaan ini tentu ada hikmahnya juga. Karena ternyata, kalau sudah terkena narkoba, susah sekali untuk menjauhinya.
TW juga, pantas juga disebut ''aneh''. Karena, selalu saja ada anggapan ''negatif'' (sudah jadi rahasia umum), bisnis dia dianggap aneh oleh pejabat pemerintah dan kepolisian. Bahkan Gus Dur pun pernah mau menangkapnya. Disebut-sebut berbau judi.
Tapi untuk kasus kali ini, pantas juga kita pertanyakan, benarkah berpotensi merugikan negara sampai Rp3,6 triliuan itu? Saya kira sih, ini mengada-ada. Apalagi itu berdasarkan surat kaleng dari seseorang yang kabarnya PNS di Pemko Batam.
Wong, proyek itu saja belum jalan kok. Baru sebatas MOU, malah disebut Wali Kota Batam saat itu Nyat Kadir, baru sebatas MoA (Batam Pos, 15 November 2007).
Mengapa pemerintah pusat, Polri, Kejaksaan atau badan mana saja terkait hukum tidak mempertanyakan KWTE yang ada di Bintan? Padahal, KWTE itu sudah mau dijalankan, hingga didemo masyarakat Bintan?
Rumit...rumit...***
sumber foto: detik.com
Rabu, November 14, 2007
Darah Penuh Senyuman
Saat menulis postingan ini, saya sambilan melakukan ritual orang yang telah mendonorkan darahnya. Minum kacang hijau yang telah dikotakkan (alias instan), makan dua telur rebus dan satu kapsul penambah darah. Tapi kali ini ada tambahannya, apa itu? Hmm...hm...
Ya, hari ini telah 8 kali saya secara resmi mendonorkan darah ke PMI Batam. Tapi sebenarnya ada 9. Cuma, saat yang pertama, saya belum dapat buku catatannya. Sehingga tak tercatat, yang pertama itu. Sekarang di buku tersebut, yang kini selalu saya simpan didompet (pengertian bukunya, mirip kertas formulir tapi tebal), saat pertama donor 27 Maret 2004.
Seharusnya bisa lebih banyak. Sayang, di tahun 2004 dan 2005, hanya masing-masing satu kali. Baru di tahun 2006, genap 4 kali (donor darah, sebaiknya tiga bulan sekali lho). Sedangkan di 2007 ini, saya telah kehilangan dua kali karena, ya itu, terlupa. Bukunya, entah diletakkan di mana. Sekarang, Insya Allah akan terus ingat, karena ada di dompet.
Dan hari ini, sepertinya jadi angka yang pas, untuk mencocokan dengan donor yang ke 9 nanti (9 yang resmi), atau 3 bulan lagi. Karena, itu bertepatan dengan 14 Februari 2008. Hep...jangan ingat langsung pada Hari Valentine. Pada hari itu juga, spesial bagi saya dan seluruh awak Posmetro Batam, karena koran kami berulang tahun. Semoga, saya pas kan momen itu, donor sekaligus menyambut ultah. Moga-moga, karyawan lain juga ikut.
Sambil menyeruput sari kacang hijau ABC, saya menulis ini dengan mengingat senyuman-senyuman karyawan PMI Batam yang menyambut saya. Agak lumayan kali ini, karena mereka lagi berkumpul. Saya datang sekitar pukul 08 lewat sedikit. Biasanya, hanya disambut satu karyawan, sekarang ada empat. Rupanya mereka lagi bersiap-siap untuk ke Indosat, karena ada donor massal.
Saya rasa, senyuman mereka jika terus dipertahankan lebih manis lagi (aneh ini kalimatnya ya), maka pendonor aktif seperti saya akan semangat terus untuk datang. Dan tak tersentak sedikit pun, ''penyesalan''. Apalagi bila senyum dan sapa itu, tidak hanya banyak datangnya saat saya sudah benar-benar ''diambil'' darahnya saja.
Mungkin, bangsa kita memang harus lebih banyak memperbesar senyuman (termasuk saya, yang terkadang dianggap terlihat angker ini. hi..hi..). Bisa mencontoh negara tetangga Singapura lah. Perdana Menteri nya, malah serius menyampaikan soal senyuman ini di sidang kabinetnya (saya bisa lihat sidang itu, karena disiarkan ulang televisi Singapura). Lalu, juga diactionkan oleh pemerintah sana (tentu di televisi juga), bagaimana cara senyuman yang layak saat meladeni pembeli, nasabah atau pelanggan. Contoh yang saya ingat, saat penjual mie goreng melayani pembelinya. Berulang-ulang gambar itu diputar.
''Bapak minumnya mau Milo apa kacang hijau?'' tanya salah seorang karyawan PMI, yang bukan menstransfusi darah saya.
''Kacang hijau pakai kotakkan? Saya itu saja.''
''Mbak, saya mau langsung ke kantor,'' kata saya pada karyawan yang mengambil darah.
Dia lalu menyampaikan hal tersebut pada karyawan yang nanya kacang hijau tadi. Mirip di rumah makan saja, ya? ''Dibungkus aja,'' katanya pada temannya itu.
Saat menerima bungkusan. Ucapan terima kasih dan senyuman terdengar ramai saat mengantarkan saya keluar. Dan ketika dibuka, ada sebungkus mie instan. Inikah penambah layanan dan tak hanya sekedar senyuman? Entahlah, yang pasti, saya menikmatinya, karena memang sarapan pagi saya, tak lengkap kalau tak ada nasi goreng atau mie (pagi tadi malas bikin, cuma sarapan teh dan roti. Enak juga ada istri di rumah ya. Tanggal 18 Nov, nanti baru balik dari kampung). Jadilah saya kekenyangan, sehingga lambat menyelesaikan postingan ini.***
Selasa, November 13, 2007
Ganti Hati, Ganti Filosofi?
Hari ini akhirnya bisa membelikan buku yang benar-benar diminta orang tua saya. Ganti Hati, karya big bos pemilik perusahaan saya bekerja, Dahlan Iskan, -- ini baru satu perusahaannya -- masih ada ratusan lagi. Meski akan membaca ulang, saya tetap tidak akan ganti filosofi dalam menanggapinya. Wah!
Ya, saya lihat makin banyak yang terkagum pada Pak Dahlan. Kalau saya tidak! Karena, saya sudah lama kagum padanya. He..he..he...Sebelum bukunya sekarang diterbitkan dan didahului 33 tulisan bersambungnya di koran Grup Jawa Pos seluruh Indonesia, termasuk yang diterbitkan di Batam Pos, saya ''sudah tahu'' cara berpikirnya. Sekarang ini, bukunya memudahkan saya mengingat ulang apa saja yang diucapkannya dan apa yang dilaksanakannya.
Yang diucapkannya, tentu terekam ketika pernah mendengarnya ceramah di rapat redaktur atau rapat-rapat evaluasi keuangan dan RUPS saat saya telah jadi salah satu pimpinan Jawa Pos Grup. Yang dilaksanakannya -- ya, hasil dia sekaranglah dengan bisa memiliki banyak perusahaan. Atau, ya, bagaimana dia saya lihat bisa tidur di atas meja redaksi perwakilan Jawa Pos di Jakarta (tahun 1993), bukan justru tidur di kamar hotel yang empuk dan ber-AC. Atau bagaimana dia tak mau situasi formal-formal untuk melayaninya jika datang ke anak perusahaannya (Anda tentu tahu dia suka hanya bersepatu kets dan tas kresek saat berkeliling Indonesia).
Malahan, yang saya incar dari setiap rapat itu adalah, apa hal baru yang bakal diucapkan Pak Dahlan. Pikirannya seperti melompat ke depan, dibanding pikiran para pendengarnya. Bahkan bisa jadi, dibanding pikiran jutaan rakyat Indonesia. Saat pertama ikut rapat, saya sebagai sosok anak muda (mungkin salah satu termuda di level manajer di Jawa Pos Grup), kadang bertanya di hati, apa benar ini ya, bakal berlaku? Tapi, nyatanya, dia bisa membuktikan itu bisa.
Tak usahlah, saya sebutkan apa ''pikirannya melompat'' itu. Yang pasti, itu pantas dicoba untuk perusahaan kami masing-masing. Tapi itulah sayangnya, jika sudah lepas dari ''jangkauan'' beliau, maka kami pun menterjemahkannya masing-masing saat di perusahaan. Bisa jadi, malah belum tentu terlaksana, karena dalam satu perusahaan itu atau satu grup kecil (misalnya, saya di Riau Pos Grup), berbeda-beda pula ''mepersepsikan'' pikiran beliau. Maka, actionnya pun, jadi berbeda-beda pula, dan malah bisa jadi tanpa direspon sama sekali.
Apalagi, kalau dia sudah menyatakan. ''Ini contoh kasus ya. Belum tentu sama dengan di perusahaan Anda semua.'' begitu yang selalu diucapkannya. Artinya, kami punya hak sendiri menjalankan atau tidak sama sekali apa yang selalu ''disinyalkannya''. Oh ya, lebih tepatnya, dia selalu memberikan ''sinyal'' apa yang berlaku menurut pikirannya ke depan dalam menjalankan perusahaan.
Kalau untuk contoh yang ''nampak'', ''sinyal'' pikirannya yang melompat itu, ya, dari Jawa Pos sendirilah. Siapa yang pernah membayangkan, sebuah koran dari Surabaya (bukan ibu kota negara) menjadi gurita dengan memiliki koran di setiap ibu kota provinsi di Indonesia? Bahkan kini, kota kedua di setiap provinsi pun ada korannya? Baru-baru ini saja, mulai ditiru Kompas-Gramedia Grup kan?
Lalu saat orang lain, mau membuat koran di tiap daerah, Pak Dahlan malah sudah menggerakkan pasukannya membuat TV di setiap kota yang korannya sudah terkuat di sana?
Itu baru sebagian terlihat oleh orang banyak. Bagi saya, sudah lebih banyak dari itu. Tapi bukunya kali ini, telah membuka lagi hati saya, untuk mengingat apa yang pernah diucapkannya, dan apa yang sudah dijalankannya. Itu perlu bagi pribadi saya sendiri, dan bagi perusahaan yang masih diamanahkan pada saya. Tapi itu tak perlu berganti filosofi, karena bagi saya, Pak Dahlan sebenarnya tidak bekerja keras untuk apa yang dicapainya sekarang -- seperti banyak ditafsirkan orang setelah baca tulisannya --, tapi menurut saya, dia bekerja dengan kecerdasannya. Mungkin, gabungan kecerdasan otak dan ''hatinya''.
Yang ini saya simpulkan, setelah baca buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu. He..he...tak malu saya, menafsirkan buku yang lain. Atau sering dikiaskan oleh orang jika sebuah tim bola yang ''kuda hitam'' bisa menang, maka disebut, mereka bermain dengan ''hatinya''. Wuih, bagaimana pula Pak Dahlan nanti ya? Dengan hati yang lama dan ''penyakitan'' itu, sudah dahsyat, apalagi dengan hati baru ini ya?
Anda akan sependapat dengan saya, tetap saja kecerdasan otak dan ''hatinya'' yang membuat Beliau seperti saat ini. Simaklah berulang-ulang, apa yang ditulisnya dan beranikan juga ''hati'' Anda meresapinya. Berani mencoba? ***
NB 1: Untuk Pak Dahlan; yang paling terkesan saya Pak (ini karena mengingat tulisan Bapak soal doa), maka saya ingat doa Bapak pada saya, ketika hendak bertugas ke Bukittinggi tahun 1996. Saat itu, sudah dinihari, Bapak melihat ada tas dan koper di ruang redaksi Riau Pos di Jalan Kuantan, Pekanbaru. Dan bertanya, siapa yang mau berangkat. ''Selamat jalan ya. Semoga sukses!'' Pak, saya menantikan doa sukses Bapak itu, tidak sekedar air mengalir, tapi air mengalir yang deras. Bolehkan Pak?
NB 2: Maaf, bisa jadi Bapak lupa dengan saya. Tapi maaf pak, yang penting doa Bapak untuk saya...
Senin, November 12, 2007
Pantas Digaji Berapa?
Sebenarnya ini pertanyaan ini untuk pribadi saya sendiri. Pantaskah tahun depan saya naik gaji? Biasanya tiap tahun saya naik gaji. Rasanya sejak 2006 dan hingga 2007 ini, belum naik juga. Padahal, semua karyawan yang saya pimpin, saya naikkan gajinya. Hi..hi...itulah ''tak asyiknya'' jika di atas kita masih ada bos pula.
Beranikah saya minta naik gaji pada yang punya perusahaan? Beranikah saya menatap matanya langsung untuk menyebutkan naik gaji? Karena awal tahun ini, saya minta naik gaji via surat, ternyata tidak dibalas. Beranikah?
Tekadnya sih, saya berani untuk menghadapi 2008 nanti. Namun, saya juga bertekad, amanah yang diberikan beliau, bisa saya tuntaskan di akhir 2007 ini. Bagaimana perusahaannya bisa kinclong saya bikin. Mungkin dengan cara itulah, saya tak perlu bertanya langsung minta naik gaji atau bikin surat permohonan lagi. Hmm...hmmm
Tapi hari ini, saya yang malah ditanya oleh karyawan satu-satunya untuk bisnis sampingan saya, gajinya bagaimana? Itu terjadi, karena saya mau memberi dia pekerjaan tambahan. Akhirnya, diskusi via SMS itu, berhenti pada kata saya belum berani menaikkan gaji dia.
He..he...padahal si karyawan ''menyindir'' karena mengingatkan pada pembicara seminar yang memang saya suruh dia hadiri. ''Bumi bulat. Jadi, bila kebaikan kita perbuat, maka kebaikan itu akan datang lagi pada kita. Kalau jahat yang kita bikin, maka kejahatan itu akan mendatangi kita juga.''
Benar juga itu. Tapi, kalau tambahan pekerjaan itu, belum menambah omset usaha kami, apakah sudah harus naik gaji langsung? Dan tahukah karyawan saya itu, bagaimana saya sebenarnya masih keteteran dengan gaji dia sekarang?
Hmm...sebenarnya, saya mesti ikhlas juga sih kalau mau nambah pekerjaan, tentu nambah gaji juga. Dan si karyawan juga mesti ikhlas juga sih, untuk tahu bagaimana bosnya membayar gajinya. He..he..he...
Minggu, November 11, 2007
Ikan Bakar, Ganti Oli, dan Penalti Diantara Konfirmasi
(Walah, saat saya publish tulisan ini, ada permintaan maaf dari blogger.com, ''maaf tidak bisa melayani'' publish saya. Hilang deh, tulisannya, padahal saya tak nyimpan di tempat lain, langsung diketik di halaman HTML ini. Hi..hi..hi..)
Rasanya, ingat seperti nulis berita saat reporter dulu, ketika hampir selesai, tiba-tiba listrik mati, dan malah tak sedikit tersaving. Ingatkan pakai kontrol S dan D untuk saving dengan program WS? Jadul kali deh, WS, anak-anak sekarang pasti tak tahu.
He..he..tulisannya jadi lain. Saya resume aja deh.
Ikan bakar, pagi tadi saya membakar ikan sendiri di hari ketiga saya jadi ''bujangan''. Malah sempat juga beli ikannya di pasar. Bumbunya juga dibeli. Sekarang mudah bakar ikan. Ikan sudah dibersihkan dan dipotong oleh penjual ikan, saya tinggal tambah jeruk nipis agar tak amis. Bumbunya, bisa dibeli seribu perak saja. Meksipun yang saya pakai bumbu ungkep ayam. Hi..hi..ungkep ayam untuk bumbu bakar ikan.
Alat bakarnya? Ada yang baru dari Maspion. Tak perlu arang lagi. Cukup ditarok di atas kompor gas. Maka alatnya berputar mengelilingi ikannya (mungkin yang lain udah pada tahu, ya)
Istri saya belum saya konfirmasi soal bakar ikan ini. Malam tadi, sepertinya dia sudah ''curiga'' ketika saya tanya, di mana diletakkannya alat bakar ikan. ''Mau bakar ikan,'' katanya. Saya jawab, tidak. He..he...
Ganti oli, saya lakukan setelah membakar ikan tadi. Sampai di bengkel jam 8.30. Nah inilah enaknya konfirmasi. Ternyata, tukang bengkel salah meletakkan kolom kapan saya harus kembali ganti oli. Diperiksanya langsung juga, ternyata belum. Alhamdulillah, inilah enaknya dapat bengkel bagus. Belum keluar,uang Rp150 ribuan jadinya.
Penalti? He..he...sambil nulis ini, saya nonton liga Indonesia di Anteve, PSIM Yogyakarta versus Persiter Ternate. Saya ingin lihat ''teman lama'' Rahmat Rivaie, striker Persiter yang dulu pernah bermain di PSPS Pekanbaru. Rahmat ternyata lagi kepayahan selesai cedera, dan perlu mengasah lagi kemampuannya agar kembali seperti tahun 2006, dengan 16 golnya.
Persiter mampu menahan tuan rumah 1-1. Meski dibumbui drama, hadiah penalti yang jelas-jelas tak pantas. Dan PSIM pun ngambek main, karena ''konfirmasi'' mereka dengan mendorong-dorong wasit Daryanto, tak berhasil. Tapi akhirnya mereka berhasil menyamakan kedudukan, setelah pertandingan harus berlangsung 106 menit.
Rahmat sama dengan saya. Dia harus mengasah kemampuan mencetak golnya. Saya harus mengasah lagi, kemampuan menulis. Untung ada blog ini yang bisa menerima kapan saja, ketika saya mau menulis. Hi..hi..hi...tapi saya belum konfirmasi pada Rahmat, apa cederanya sudah sembuh benar, ketika ikut pelatnas Piala Asia lalu. Hm..hm..hm...
Sabtu, November 10, 2007
Akhirnya Dapat Foto Sandalnya
Ini salah satu foto sandal yang ditawarkan pada saya untuk dipasarkan. Saya belum tahu harga jualnya nih....
Mengambil Keputusan, dan Menikmatinya
''Pak Ade..sy produksi sandal dari mojokerto Jatim, sy butuh pemasaran, apa Bpk bisa u/memasarkan'y.?''
Jumat malam kemarin saya terima SMS tersebut. Berulang kali masuknya. Mungkin ada lebih 10 kali. Padahal, sudah saya balas. ''Oke, saya bisa''. Tapi tetap saja masuk SMS yang sama. Bahkan ketika saya jadi penyambut tamu, tetangga yang syukuran untuk naik haji.
Siang ini, sebelum tulisan ini diketik, saya langsung mengontak ''teman lama'' (karena pernah kenalan lewat email dan chating). Dia minta maaf soal SMS yang berulang kali masuk. Saya pun tak masalah, karena demikianlah SMS menggunakan flexi, masuk terus, atau malah tak masuk-masuk.
Tak lama lagi, teman itu pun segera mengirimkan contoh produknya pada saya. Tak sabaran rasanya, karenanya saya minta dikirim katalog dulu via email. He..he..dia Sabtu ini off, jadi tak bisa internetan. Saya pun ''menyindirnya'',''Saya online di rumah pak, pakai speedy''.
Begitulah, saya pasti akan kembali mengambil sikap yang sama seperti dahulu. Selalu tertantang bila ''disuruh'' mencoba bisnis baru. Adakah kali ini saya salah lagi mengambil keputusan dan menikmati hasil kegagalan?
Moga-moga kali ini tidak. Karena saya Insya Allah sudah punya satu karyawan setia yang bisa diberdayakan. Apalagi jika teman yang ini, mau mempercayakan dahulu sandalnya coba kami jual, tanpa perlu saya membayarnya dahulu.
He..he...tunggu ya, saya nikmati lagi keberanian mengambil keputusan dan menikmati hasilnya yang Insya Allah kesuksesan.***
Jumat, November 09, 2007
Beristri Dua Banyak Bohongnya?
Jangan berprasangka negatif dengan judul di atas terhadap saya. Mentang-mentang ini hari kedua saya membujang (lihat tulisan di bawah), bukanlah saya ''berniat'' untuk menduakan istri. Ini pengalaman pribadi dua ''teman kolega'' saya.
Keduanya sama persis. Sama-sama merasakan dan mengaku banyak bohongnya pada istri dan orang lain. Teman pertama, saya kenal pertengahan 2006 lalu. Semangatnya beristri dua, sungguh saya kagum. Saya kagumnya malah, karena dia seperti sudah kaya atau mendekati kaya.
Seminar kelas dunia, pernah diikutinya. Bayangkan saja, seminar internet marketing yang sekali ikut saja Rp6 jutaan, belum lagi beli CD dan bukunya (agar makin pintar) dia mampu. Terbayang oleh saya, berarti gajinya atau pendapatannya lebih Rp10 juta per bulan, dan tanpa ada utang di bank.
Tapi itulah, saya tahu dia beristri dua, ketika janjinya pada saya untuk membayar utang yang ''hanya'' Rp3 juta, sudah molor dan nyaris mendekati satu tahun. Baru dua bulan terakhir ini mulai dicicilnya. Entah bagaimana saat dia mengucapkannya pada saya, ''pengakuan'' beristri dua itu.
Pantas saja, saya jadi teringat anaknya. Kok masih kecil-kecil ya, sedangkan dia lebih tua pada saya. Semula saya kira telat menikah. Rupanya punya dua istri.
Tanpa menyebutkan pun pada saya, kalau suami beristri dua, lebih banyak bohongnya, saya sudah tahu dari tindakan-tindakannya pada saya. He..he...he..
Lalu teman kedua, baru saya kenal sebulanan ini. Kebetulan dia dan saya, sama-sama ikutan komunitas calon pengusaha di Batam. Dan kebetulan, saya pimpinan proyek yang akan kami kerjakan, dan teman ini salah satu anggota tim saya. Yang ini, memang pantas benar saya panggil bapak. Karena usianya sudah kepala lima.
Mungkin karena sudah tua itu, si bapak, lebih ''jujur'' pada saya. ''Saya beristri dua pak. Tapi yang tua di Jawa, sudah ada yang saya tinggal. Ada kedai untuk dia. Sekarang saya dengan istri muda di Batam ini.''
Saya ingat-ingat lupa, apa istri tua sudah dicerai atau belum. ''Susah pak, saya jadi banyak bohongnya..'' Kata itu yang saya ingat, dan meyakinkan saya, si bapak ini memang jujur.
Si bapak juga, sangat terbuka menceritakan kesulitan keuangannya. Dia ''termakan'' uang panas (istilah dia sendiri) karena percaya pada orang, yang selalu rutin beli barangnya, tapi kemudian kini ngadat pembayarannya.
Dari pengalaman kedua teman itulah, saya terkadang sudah ''berprasangka negatif'' saat ada orang yang dengan sangat ''tulus'' ingin pinjam uang atau berbisnis. Ditambah lagi, jika orang itu beristri dua. Jadinya, saya selalu ''kasihan'' pada orang lain yang mungkin benar-benar tulus minjam dan ngajak bisnis di hari berikutnya, padahal belum tentu mereka beristri dua.
Eh, ngomong-ngomong, apa kabarnya ya AA Gym? Sejak beristri dua, bulan Ramadhan tahun ini, kita tak lihat dia di satu televisi nasional pun ya?
Ah, sudahlah, tak urus orang lain. Tapi yang pasti, tak ada istri juga repot ya, seperti dua hari ini saya lakoni. Malas kali rasanya bikin teh, masak mie untuk sarapan pagi. Belum lagi nanti untuk makan siang (saya selalu pulang untuk makan siang), bosan juga makan masakan Padang terus. He..he..he..**
Kamis, November 08, 2007
10 Hari Menjadi Bujangan
Ssssttt...bukan berarti saya ditinggal istri bercerai. Melainkan, anak istri saya siang tadi menuju Kisaran, Sumatera Utara. Pagi tadi Batavia yang membawa mereka telah meninggalkan Batam pukul 10.30 dan mendarat di Medan 11.30. Dan saat tulisan ini mulai diketik, istri saya sms ''Udah di stasiun kereta. Jam 2.30 berangkat.''
Tak jadi pulang kampung saat Lebaran, justru dilakukan sekarang. Maklum, mertua saya yang bermukim di Kisaran, mau naik haji 17 November nanti. Jadi, bakal ada banyak acara di tempat kelahiran anak sulung saya itu. Selain syukuran, tentu mereka saling kangen-kangenan, karena semua anak mertua yang merantau, pulang.
Nah, saya yang bujang ini, bagaimana makannya nanti? He..he..pulang dari Bandara tadi, saya singgah dulu ke RM Usaha Baru, karena jam masih 11.10, saya beli nasi bungkus aja. Lauknya, gulai ikan salai. Dah lama, tak menikmati ini sejak puasa lalu. Belum lagi istri saya bertanya, saya sudah SMS kan menu makan siang saya.
Lalu malamnya bagaimana? Wah, di sekitar kediaman saya, banyak alternatif. Apalagi, sekarang saya sudah bisa bawa mobil sendiri, ditambah lagi, ada motor pula. Enak lho pakai motor keliling komplek mencari makanan atau belanja di supermarket!
Tapi satu hal yang pasti, saya tentu saja kesepian. Tak lagi ''dimarahi'' istri karena malas bantu dia beres-beres rumah, atau cuci piring (maklum, kami tak punya pembantu). Atau tak ada lagi, kalah saing berebut nonton TV, karena sinetron Si Entong lebih disenangi dua anak saya. Atau juga, dan ini yang paling bakal saya rindukan, rengekan dua gadis kecil saya itu, ketika minta digendong atau minta diajak keliling komplek naik motor. Wow...
Tak apalah...saya tahan membujang hingga 18 November nanti (10 hari ya). Saya bakal isi dengan kembali membaca buku-buku yang tak sempat saya buka, karena sibuk dan ''ributnya'' suasana rumah. Buku Ustad Yusuf Mansyur, Mencari Tuhan yang Hilang belum tuntas dibaca. Juga novel bos saya, Rida K Liamsi yang berjudul Bulang Cahaya. Oh ya, kalau sempat, sebenarnya lebih bagus saya membaca buku-buku tentang mendongeng, agar nanti saat dua gadis kecil saya balik, saya punya cerita dongeng yang baru dan cara saya membawakannya lebih ekpresif. Ada yang bisa bantu? ***
Rabu, November 07, 2007
Cara Berpikir, Ngertikah?
Wow, beberapa hari ini saya menemukan cara berpikir orang lain yang berbeda. Sebenarnya sih, sudah sering saya hadapi mereka. Tapi yang saya tak habis pikir (benarkah kalimat ini ya?), mengapa mereka bisa berpikir begitu ya? Aneh!
Yang pertama, karyawan satu-satunya yang tersisa dari bisnis pribadi saya. Dia ini, kalau diajari sesuatu dan saya berhadapan langsung padanya, maka, angguk-angguk kepalanya bukan main. Tapi ketika dilepas, maka dia akan bekerja sesuai alur yang dia rasa, itu sudah oke. Padahal, nanti dia akan tetap menemui cara ''salah jalan'' yang sama. Dan itu dilakukannya berulang kali.
Misalnya, kita siang atau sore hari orang setor duit padanya, dia tidak langsung setor ke ATM Setoran Tunai BCA. Alasannya, udah kesorean, atau dia merasa dirinya capek. Dan keesokan paginya, dia justru tak bisa datang ke bank atau ke ATM Setoran Tunai itu, gara-gara hari hujan, anaknya sakit, atau istrinya lambat mempersiapkan diri hingga lambat pula datang ke kantor. Padahal, duit itu, berguna untuk memutar roda bisnis kami (hiii...hi...)
Seperti hari ini, dia mengalami motor mogok. Sekarang, saat tulisan ini dibuat, dia lagi memegang uang sejumlah Rp1.060.000 duit setoran agen pulsa yang nitip padanya. Ya, tentu saja, deposit pulsa tak akan bisa terkirim kepada agen-agen itu, wong duitnya belum masuk bank. Coba seandainya sore kemarin, dia sempatkan diri ke BCA Jodoh, dan moga-moga ATM Setoran Tunai tak macet, maka selamatlah semua bisnis dia dan agen pulsanya.
Uniknya, si dia ini, masih belum tahu pelajaran apa yang dia dapat tentang hal tersebut. Tak ngerti saya, bagaimana otaknya berpikir. Padahal kan mudah saja, jangan menunda-nunda pekerjaan atau berpikir, ah kerjakan besok saja. Sampai tulisan ini dibuat, dia belum ngerti juga.
Yang lain, yang masih tak saya pahami cara berpikirnya adalah, salah satu kolega saya di grup tempat saya bekerja. Selasa lalu, kami rapat gabungan. Saya sudah didorong-dorong manajer lain untuk menyanggah pendapatnya. Tapi saya tak mau, karena saya merasa aneh dengan cara berpikirnya, yang justru ''tak ada masalah pada diri dan perusahaannya'' (maaf, saya tak bisa sebutkan apa, ini rahasia perusahaan). Padahal, semua orang menganggap ada masalah. Dan ketika kita kasih solusi, dia malah langsung ''menolak'', dan dia sendiri, tak tahu apa solusisnya.
Akhirnya ketika sampai giliran saya presentasi mengenai perusahaan saya (maksudnya yang saya pimpin, yang masih diamanahkan pada saya), baru saya menyindir cara berpikirnya. Itu sudah terjadi berulang kali. Dan saya juga tahu di luar rapat pun, cara berpikirnya aneh. Tapi uniknya, saya juga bisa kagum padanya, karena ''bisnis luarnya'' yang agak mirip-mirip MLM, cukup hebat. Mungkin, teman ini layak berbisnis untuk dirinya sendiri, dan tidak berbisnis dengan memimpin perusahaan orang lain. He..he...he...
Tapi bagaimanapun, ada sisi menariknya juga bagi saya menghadapi hal-hal tersebut tiap hari. Ternyata, kita manusia sangat tidak sempurna. Ketidaksempurnaan kita itu, ternyata ada dibagian yang justru membedakan kita dengan mahluk lain, hewan dan tumbuhan. Apa itu? Ya, salah satunya pikiran tadi. Ngertikah ya? Saya rasa saya juga belum, karena saya merasa belum memanfaatkan benar pikiran saya, yang kata para ahli, otak manusia sebenarnya lebih hebat dari komputer manapun.
Selasa, November 06, 2007
Saya Menikmati Kekayaan Asman Abnur, Tapi...
Masyarakat Batam, saya rasa masih banyak mengingat nama ini, Asman Abnur. Pernah jadi Wakil Walikota Batam sekitar tahun 2003, lalu kemudian ''mengundurkan'' diri untuk maju sebagai anggota DPR RI. Kini posisinya, Wakil Ketua Komisi XI DPR asal Fraksi PAN. Bahkan dia pun di DPR menjadi Ketua Panitia Kerja (Panja) Badan Usaha Milik Negara (BUMN. (ketik nama dia di Google, akan banyak Anda temukan berita tentang dirinya)
Apa kaitannya dengan saya ya? He..he...saya pernah mengirimkan surat pengunduran diri juga padanya. Saya tak bersedia menjadi pengurus organisasi sepak bola, PS Batam. Sebenarnya tak tepat mengundurkan diri, belum dilantik, saya sudah tak bersedia kok. Itu kira-kira tahun 2002 atau 2003 ya? Saya tak mau jadi pengurus bola, agar kesenangan saya menjadi ''pengamat'' tetap terjaga. Jadi, setakatnya, saya tak pernah akrab dengan beliau, kecuali pernah diajak makan siang oleh Socrates (kini Pemimpin Umum Batam Pos) di Hotel Harmoni dan jumpa dia di sana. Saat itu, Asman belum jadi ''apa-apa'' untuk urusan birokrasi. Masih pengusaha dan memimpin sebuah organisasi pengusaha.
Seterusnya, saya bahkan tak ''sempat'' mencicipi ruang kerjanya di Kantor Walikota Batam. Saya hanya berpapasan sebentar dan menyalaminya ketika dia menyambangi ruangan Walikota Nyat Kadir. Ini sekitar tahun 2003 mungkin. Selanjutnya, yang saya tahu kisahnya, makin ''mantap'' di DPR RI sana.
Tapi hari Minggu lalu (4/11), saya benar-benar menikmati seperti apa kekayaan Asman. Pagi itu, bersama dua gadis cilik saya, kami mencuci mobil. ''Cucinya ke SPBU depan Tiban Center saja. Bilang, cuci body dan kolong. Sekitar 25 ribu duitnya,'' kata istri saya.
Rifa, gadis saya paling kecil ternyata sudah tahu ke arah mana masuk SPBU dan langsung menuju konter cucian mobilnya. Wow, ternyata sungguh luas SPBU yang diberi nama Vitka Point ini. Pernah sih, saya ngisi bensin (ada dua kali mungkin, maklum saya baru berani bawa mobil lagi), tapi saya baru kali ini menuju konter cucian mobilnya.
''Cuci kolong dan body,'' kata saya, kepada petugas yang langsung menyambut.
''Berapa?'' tanya saya.
''Cuci body sepuluh ribu, kolong delapan belas ribu. Semua 28 ribu.''
''Naik ya.'' Sang petugas hanya balas senyum seperti tidak mengiyakan.
Rifa sudah tahu ke mana ruang tunggu berada. Ada kantinnya. Bau ikan goreng, sudah menyambut. Terlirik pula nasi goreng yang sudah siap disajikan. Lalu ada juga mie instant yang masih terbungkus. Jadi ingat omongan istri,''sekalian nanti, Taya sarapan mie goreng. Cuma lima ribu.''
Taya, si gendut sulung saya, mengangguk pasti saat disebut mau pesan mie goreng. Tapi saya tak memesan minuman. Sudah bawa botol Aqua dari rumah. Pelanggan lain sudah memesan mie rebus dengan minuman kaleng dan teh obeng. Ada yang asyik baca Batam Pos (eh, koran saya Posmetro tak ada), main game di HP dan ada yang melihat mobilnya dicuci dari balik kaca dengan sesekali tersentak karena arah air mengena kaca (tapi tentu saja tak kena tubuhnya).
Dari minyak premium, pertamax dan solar, bisnis Pak Asman ini sudah pasti untung pikir saya. Lalu tambah cucian mobil, lalu jual makanan. Eh, bunga-bunga yang menjadi taman indah di SPBU ini apa dijual juga ya? Saya tak bertanya. Tapi rasanya bisa jadi ya, karena ada pengurus khusus tamannya.
Lalu saya jadi ingat pada manajer umum saya. Katanya, perusahaan kami langganan bensin di tempat pak Asman juga. Selain di Tiban (yang baru), di Sei Panas, ada juga satu SPBU satu grup ini. Jadi, supir kantor, bisa ngisi di mana aja, di antara 2 SPBU itu. Asal bawa kuponnya (tapi untuk mobil pribadi saya, tak dapat lho).
Saya juga ingat, pernah makan di Rumah Makan Sederhana, lalu warung Bakso Inno. Semua itu, punya Asman juga. Atau beli obat, pernah juga di apotiknya (kalau tak salah bernama Vitka juga). Ini kalau tak salah lagi, ada dua. Di samping RM Sederhana (penuin) satu, dan satu lagi di Nagoya.
Juga, saat istri saya mau beli emas. Toko Mas Bandar Baru yang didatangi. Baik yang di Jodoh dekat Hotel Pelangi atau komplek Tanjungpantun. Malah ada yang baru di Mega Mall. He..he..sesekali saya juga pernah tukar dolar di Bandar Baru money changernya, yang biasa satu tempat dengan toko emas itu.
Wah...wah..., baru saat menikmati mie goreng bertiga di cucian mobil ini, saya merasa ingat semua nikmat yang saya dapatkan dari kekayaan Asman (tapi saya tetap harus keluar duit membayarnya lho!). Saya berharap, tugas Asman di DPR benar-benar pula memikirkan rakyatnya. Terutama rakyat Batam, yang telah ''memperkaya'' dirinya dengan menikmati semua kekayaan dan bisnisnya. Apalagi, zaman FTZ setelah ketuk palu, belum-belum juga action. Dan anehnya, suara Asman tak pernah terdengar sama sekali untuk itu. Kecuali foto-fotonya digandeng dengan pengurus partai PAN Batam, bertebaran mengucapkan selamat Ramadhan dan Idul Fitri di jalan-jalan.
Maaf pak, saya tak perlu lagi mengirimkan surat untuk keluh kesah saya seperti ''zaman PS Batam dulu''. Tapi cukup di blog ini ya? Bapak sudah dapat jatah laptop anggota dewan kan? ***
NB: Pita, teman chatingnya saya meralat nama toko di shoutbox. Yang betul Banda Baru, bukan Bandar Baru. Terima kasih. Dan NB ini sekaligus ralatnya ya..Maaf...
Jumat, November 02, 2007
Doa untuk Uang Kertas Rp1.500
Entah wawasan saya kurang tentang buku, maka keluarlah pendapat ini; tak ada sama sekali buku tentang manajemen koran, atau marketing koran ya? Anda yang pernah melihatnya dan bahkan membacanya, tolong beritahu saya.
Saya tetap beranggapan, belum banyak pakar manajemen dan pakar marketing yang faham dunia bisnis koran. Padahal, ini dunia sangat menarik, karena bisa menarik ribuan tenaga kerja (sektor informal). Bahkan mereka, bisa jadi lebih kaya, ketimbang pekerja kantoran di bisnis koran itu.
Ya, saya beberapa hari ini sudah mencari ide baru menghadapi awal tahun 2008. Diperkirakan, harga cetak koran bakal naik. Bisa jadi, harga jual koran yang saya tangani sekarang ini (Posmetro Batam), tidak bisa lagi seribu perak, tapi menjadi seribu lima ratus (Rp1.500). Bila itu terjadi, kami sudah memprediksi pula, berapa penurunan jumlah lakunya.
Lantas bagaimana untuk mengatasinya? Tentu saja yang hal ''biasa'', kembali melihat pada diri kami sendiri. Benarkah koran ini isinya sudah memuaskan pembaca? Benarkah, judul-judulnya sudah membuat mata orang terbelalak sehingga ada niat untuk membeli, lalu merogoh kantongnya? Atau malah, koran ini sudah kebanyakan iklan, karena banyak sekali iklan proyek pelelangan?
Tapi ide yang luar ''biasa'' adalah; bagaimana kami semua berdoa agar para pemimpin Bank Indonesia terbuka hatinya untuk membuat uang pecahan kertas Rp1.500. Jadi, saat pembeli koran kami (kebanyakan di lampu merah), tak perlu ragu repot dengan uang kembalian. Cukup satu lembar Rp1.500, maka dia sudah menikmati koran kami. Kami beranggap, itu akan lebih mudah, ketimbang dia menyerahkan dua lembar uang seribuan, yang bisa-bisa tak dikembalikan lima ratus peraknya, karena keburu lampu sudah hijau. Malahan, kami menganggap, jika ada pecahan Rp1.500, maka kita semua, akan merasa, itulah uang pecahan kertas yang terendah saat ini di Indonesia (maaf, jika di tempat Anda masih ada uang kertas 100 perak ya?).
Terkabulkah itu? Dalam sejarah BI mencetak uang, rasanya tak ada pecahan yang angka keduanya selain 0. Semuanya seperti ini, 100, 500, 1000, 5.000, 10.000, 20.000, 50.000 dan 100.000. Angka yang terlewati adalah 150, 550, 1.500 dan seterusnya...
Jadi, kami tetap harus instropeksi ke dalam saja, namun doa kami tetap, terbukalah hati pemimpin BI pada uang pecahan kertas Rp1.500.
Kamis, November 01, 2007
Lebih Sayang Cucu, Apa Anak?
Sudah dua hari ini, ibu saya berhasil bertemu dua cucu perempuannya. Saat Lebaran lalu, kami tak pulang ke Pekanbaru. Kini dia malah datang ke Batam, sambil mengantar cucu laki-lakinya (anak dari adik saya). Padahal, tanggal 25 November nanti, ibu bakal ke Batam lagi untuk masuk Asrama Haji dan keesokan harinya, menuju Madinah.
Terkadang saya dan istri juga kasihan lihat mamak (saya memanggilnya begitu). Mengapa tidak, sudah lama menantikan cucu, eh malah ketiga cucunya berada di Batam. Padahal juga, dia sangat sayang pada anak-anak. Malah, anak-anak sekitar rumahnya, sering dititip ke rumahnya. Hingga, beliau banyak anak asuh. Eh, ketika cucu sendiri telah ada, jauh di rantau.
Makanya, bila dia lagi aktif di Posyandu, dan mengurus anak-anak orang lain, dia ingat cucunya. Atau ketika PIN berlangsung, dia ingat cucunya. Ketika lagi makan mie, dia ingat cucunya Taya, yang sangat hobi mie. Ketika bersama ayah lagi nonton acara si Bolang di Trans7, dia ingat juga pada Taya dan Rifa, yang menyenangi acara petualangan anak-anak itu.
Karena itu pula, pagi tadi, dia bersikeras ingin mengantar kedua anak saya sekolah. Pengalaman yang jarang didapatnya. Meski hari hujan, dia tak mau diantar pakai motor. Cukup jalan kaki. Eh, si anak saya pun keenakan. Terkesan seperti bangga, diantar neneknya sekolah.
''Mamak tak mau ke mana-mana, datang ke Batam kali ini. Mamak, mau ngantar cucu sekolah, tidur bersama. Itu aja,'' katanya.
Dia sudah kepikiran, akan saya bawa ke mall atau ke tempat makan di Sembulang, yang suasana pantai dalam alamnya yang romantis. Dan tentu saja, saya sudah kepikiran itu. Karenanya, sampai tanggal 3 November nanti, saya harus lebih cepat ''out'' dari kantor untuk ''membahagiakan'' orang tua. Karena kami juga sudah mulai terasa, bagaimana dua anak gadis kami lebih sering main di luar rumah, pada saat kami sedang santai di rumah. Ada rasa sepi, yang mungkin tak seberapa dibanding ibu saya.
Jadinya, apakah lebih sayang cucu apa anak? Ini tak usah dicari jawablah. Kita rasakan saja masing-masing.