Minggu, Agustus 31, 2008

Jumat, Agustus 29, 2008

Tempat Mangkas Rambut Saya Sama dengan Wakil Walikota Batam

Saya sudah ''janji'' dengan Wakil Walikota Batam, Ria Saptarika untuk bikin tulisan tentang pangkas rambut. Kebetulan, saya bisa tahu dimana dia memotong rambutnya. Karena saya juga pangkas di situ, Pangkas Rambut Denai, di perumahan Tiban Indah Permai atau biasa disebut Tiban BTN. Tak jauh dari kantor lurah Tiban Indah Permai.

''Sebelum jadi wakil walikota pun, dia sudah pangkas di sini.'' ujar bos Denai, yang kalau tak salah namanya Edy -- maaf, saya segan nanya namanya.

''Kalau sekarang, kadang bawa ajudan. Kadang datang sendiri.''

Semua orang yang baru datang ke sana, pasti akan selalu bertanya setelah melihat foto Ria tertampang di ruangan kios berukuran sekitar 3 x 4 meter itu. Foto Ria, kali ini berdampingan dengan foto-foto artis, termasuk Teuku Ryan, pemain sinetron yang kini mencoba jadi penyanyi itu.

Kursi pangkas ada tiga. Tapi, jangan menyangka kursi pangkas otomatis seperti di barbershop lain. Malah, dudukannya pakai kayu. Ada AC, tapi pagi tadi jam 10.45 WIB saya pangkas, tak hidup. Hanya kipas angin yang bekerja, mungkin karena tadi cuaca memang sudah dingin, karena Batam masih musim hujan. Bau WC -- mirip bau jengkol -- agak menggilitik hidung. Pintu belakang terbuka.

Baru kali ini saya pangkas -- sudah sering saya pangkas di sini, karena hanya berjarak 300 meter dari rumah --, ada bau tak sedap itu. Bisa jadi, sekarang memang beda. Sekitar satu bulan lalu, tempat ini telah digusur. Dari semula sederet dengan kantor lurah, sekarang nyeberang ke depan lokasi lama. Lokasi di mana di belakangnya, sudah ada rumah penduduk.

''Pak Ria sudah tahu kalian mau digusur ini,'' tanya saya sekitar dua hari sebelum digusur satpol PP bulan lalu. Tetangga mereka, bengkel motor telah membongkar sendiri yang diawasi satpol PP dan tim dari kepolisian dan tentara. Saat itu, rambut saya pun lagi dipotong.

''Sudah,'' jawab si bos Denai.

Selanjutnya tak usah saya tuturkan penuturan lengkap. Yang pasti, Ria sudah menjelaskan alasannya kepada si tukang pangkas. Dan mereka pun maklum.

Nah, saat ''kebetulan'' saya bisa chating dengan wakil walikota yang namanya mirip perempuan itu online, saya tanyakan soal tempat pangkasnya. ''Iya bung Ade. Sempat saya tunda itu malah setahun tak digusur.''

Saya sebagai warga Tiban, sebenarnya tak terlalu ''setuju'' dengan gusuran tersebut. Karena, masih banyak tempat di Batam, yang lebih parah dari jalan depan kantor lurah Tiban Indah itu kios-kios liarnya. Tapi, daripada makin menjamur, sah-sah saja. Namun, kalau tidak ada juga penghijauan, atau pelebaran jalan yang diaspal, percuma juga, karena akan tumbuh lagi tuh kios liar.

Sekarang saja, bengkel-bengkel -- yang sebenarnya lebih merusak pemandangan -- bukan pangkas rambut atau penjual pulsa hp -- tetap ''beraksi''. Memakai lokasi yang mundur ke belakang saja, meskipun mereka berada di bawah bahu jalan. Bisa jadi, jika ''sudah aman'' mereka akan ''menarik'' kiosnya ke depan lagi. He...he..

Setelah digusur ini, Pak Ria apa sudah ada pangkas lagi? ''Iya sudah pak. Dia kan tetap terus pangkas di sini.''

Sebuah jawaban yang yakin sekali. Lokasi pangkas ini juga tak jauh dari rumah pribadi Ria, sekitar 300 meter juga, tapi harus nyebrang jalan di persimpangan Princes. Rumah Ria terletak di Perumahan Mekar Sari, samping SPBU miliknya mantan wakil walikota lama, Asman Abnur.

Hmm..., saat saya tanya Pak Ria, apakah mencalonkan diri jadi Batam-1 nantinya. Jawaban beliau, menurut saya ''mengambang''. Tapi sama dengan saya, kalau ditanya -- sayang saya belum sempat nanya -- apakah akan tetap pangkas di Denai, meskipun nanti sudah jadi Walikota, saya rasa jawabannya tetap ''ya''. Sama dengan saya, karena selain cocok, dekat dengan dengan rumah, juga murah meriah, cuma 12 ribu perak. he..he...

Selengkapnya...

Sabtu, Agustus 16, 2008

Anakku Jadi Gadis Bali


Taya, Jumat sore menjadi gadis bali. Itu caranya turut meramaikan pawai siswa-siswa SD se-Kecamatan Sekupang, Batam tempat kami bermukim. Bukan disebabkan dipilih khusus kostum itu, melainkan, karena baju adat yang lain, tak ada yang sesuai dengan tubuh bongsornya.

''Ayah tak boleh lihat kakak pawai.''

Saya tersenyum saja dengan kalimatnya itu. Padahal saya sudah sangat ingin melihat gadis sulung saya yang makin ''pede'' saja. Maka sibuklah, tetangga kami, ibu Eli, memake-up Taya. Dan Taya dibaluti korset, layaknya ibu-ibu. Tapi pada saat hanya ''memakai kemben'' saja, dia menolak kulit hitamnya muncul. Akhirnya, dipakaikanlah baju kaos yang nyaris sewarna dengan kulitnya.

Neneknya yang di Pekanbaru, saat ditelpon, cucunya pawai dengan baju Bali, langsung ''heboh'' minta kirimi foto via HP. Neneknya tentu saja ''prihatin'', karena dia justru punya usaha peminjaman pakaian adat. Tapi justru cucu sendiri harus menyewa pada orang lain. Makanya, kalau adik Taya si Rifa, ada acara pula dia siap datang. ''Nanti kalau adek pawai, nenek yang datang ke Batam,'' itu katanya saat Rifa yang nelpon.

Semoga pakaian Bali, dan pawai kemarin, membuat Taya mengerti, Indonesia beragam. Sama dengan ayahnya yang Melayu, tapi ibunya yang Batak. Atau, kalau Taya tak ngerti juga, minimal dia tahu, cara merayakan Agustusan, ya dengan pawai itu...he...he...kok bingung kalimat ini ya...

Selengkapnya...

Rabu, Agustus 13, 2008

Aksi ''Penyimpan File''


''Ayo, bang. Kapan lagi bikin buku. Bang Candra sudah, besok tanggal 10 Pak Socrates pula.''

Ramon Damora, sering kali ''menyentil'' saya dengan kalimat yang mirip seperti di atas. Ramon malah ''siap mencari'' dananya. Tapi saya menjawab, dengan senyuman saja. Bisalah diartikan, saya tak ''berminat lagi''.

Jauh sebelum itu, Hasan Aspahani, juga sudah ''memberikan jalan''. ''Ada cara murah, bang. Empat juta, malah bisa kurang, sudah bisa terbit buku kita.''

Dua orang itu, adalah seniman (Anda bisa lihat blognya di menu blog saya ini Link Sahabat). Keduanya sudah pernah menerbitkan buku. Baik yang ''diterbitkan dengan dana sendiri'' atau diterbitkan pihak ''berwajib''.

Yang disebut Candra oleh Ramon, itu Candra Ibrahim. Nah, bukunya ada juga saya ulas di blog ini. Silakan lihat Kategori Buku.

Nah, yang terakhir Socrates. Bersempena ultah Batam Pos, Socrates yang bos di koran itu menerbitkan bukunya, Amazing Batam-The Urban City. ''Prosesnya cuma tiga hari,'' katanya pada saya dan istri, di tengah dentuman band saat kami menunggu pengumuman juara pemenang Rally Wisata Batam Pos, Minggu (10/8) malam.

Tiga hari atau entah berapa -- mungkin telinga saya salah dengar, tapi yang jelas buku ini memang ''terkesan'' dibikin terburu-buru. Walau harus diakui, kalau baca isinya, buku ini memang dirancang sejak Socrates menjadi wartawan. Dia saya kenal, memang suka jadi ''penyimpan file''. Baik file yang digital, maupun yang kertas (yang sudah terbit tulisannya di koran).

Susah dimengerti alinea di atas? Terburu-buru karena masih ditemukan ada salah ketik (halaman 1, ''dengan gejolak h warga ...'' seharusnya harga). Juga, salah memenggal kata saat akan bersambung yang ternyata, tak jadi sambung ke baris bawah (hlm v, ''untuk mem-per-baiki nasib...'').

Dirancang awal, dan ''penyimpan file'', ya, lihat saja tulisan Socrates Tragedi Kota Tambang yang Terbuang, ini ditulisnya saat masih di Riau Pos, belum ada Sijori Pos. (sayang, tak ada catatan kaki atau apa namanya di halaman belakang yang menyebutkan, berbagai tulisan ini pernah terbit di mana dan kapan).

Tapi harus diakui, buku ini wajib dibaca siapa saja jika ingin tahu Batam seperti apa. Setidaknya, Batam yang dipandang oleh seorang yang jurnalis dan kini jadi pemimpin sebuah koran terbesar di Batam.

Lalu bagaimana dengan buku saya yang ''disodok'' Ramon dan Hasan?

''Ayo bang, kolom Cakap Bola itu saja, kan ada filenya di Riau Pos dan Posmetro,'' terngiang kalimat Hasan.

''SMS Hati itu saja kita mainkan, bang.'' Ini Ramon yang becakap.

Saya jawab apa selain senyuman ya, ''tak usahlah, nanti sajalah, biarlah...'' Saya lupa jawaban persis saya. Biarkan saja waktu berjalan, karena saya sudah menemukan cara jadi ''penyimpan file'' seperti Socrates, yakni blog. Sekitar dua puluh blog saya dengan beragam tema -- ada Bahasa Indonesia dan Inggris-- kini sudah tersebar di dunia maya. Semoga itu bisa jadi tempat saya berkarya, walau pensiun dari grup media tempat saya mencari nafkah sekarang ini.

Selengkapnya...

Selasa, Agustus 12, 2008

Foto-foto Narsis di Rally Wisata Batam Pos 2008


Minggu, 10 Agustus 2008, untuk pertama kalinya kami sekeluarga ikut Rally Wisata yang digelar Batam Pos. Sudah lama keinginan mengikuti ajang ini. Tapi baru sekarang kesampaian. Karena itu, kelihatan norak dari fotonya kan ? Meski kami yakin juara, minimal masuk 10 besar, tapi ternyata tidak, namun tahun depan kami bakal ikut lagi. ''Mungkin gara-gara kita ganti nomor pintu dari 035 ke nomor 008, karenanya jam star kita jadi kacau dicatat juri.'' Itu celetukan istri, saat belum tahu bagaimana cara kerja juri. He..he...



Dari rumah di Tiban, kami sudah bersiap sejak pukul 04.00 subuh. Segala tetek bengek dibawa, utamanya makanan. Jam 05.30 baru keluar rumah untuk menuju tempat start di Kabil, areal perusahaan PT Citra Tubindo. Start awal kami pukul 08.24, makan siang di Bandung Resto, dan start kedua pukul 13.24 dan akhirnya sampai finis di Graha Pena 16.20 WIB. Inilah salah hitung itu. Seharusnya kami sampai di finish pukul 16.54 WIB. Dalam rally wisata, terlambat datang, kurang nilai, kecepatan datang juga kurang nilai. Tapi karena tetap ''yakin'', makanya tetap semangat menunggu pengumuman juara, dan untuk mengisi waktu berfoto dengan latar belakang gedung Graha Pena, di mana saya bekerja di lantai 3 nya. hmm....narsis ya..., tapi biarlah, kapan lagi berfoto begini.



Nah, ini mungkin foto paling narsis. Sudah lama saya menginginkan, kedua buah hati, berfoto dengan latar belakang mesin cetak. Mesin yang telah ''membawa'' mereka, bisa hidup seperti sekarang. He..he..., terlalu sentimentil saya ya...(foto ini diambil sekitar pukul 20.20 WIB, sesaat sebelum pengumuman juara rally. Sayang kami tak menang, dan juga tak dapat lucky draw, karena kami sekeluarga pulang dulu mandi dan solat magrib. Saat kupon lucky draw ditarik, bisa jadi, kupon kami yang dapat sepeda motor. Tapi biasanya lucky draw, kan harus hadir....)

Selengkapnya...

Senin, Agustus 11, 2008

Kenangan Flying Fox di Tajur



Masih cerita cuti 30 Juli-5 Agustus 2008. Tak menyangka sama sekali, Taya berani bergelantungan dengan tali dari satu pohon ke pohon lain. Istilah kerennya, flying fox (betulkah tulisannya ya). Ini dia lakukan saat kami berkunjung ke Tajur, sebuah lokasi tempat berjualan tas dan sepatu di Bogor. Tapi, untuk anak-anak, ada areal permainannya. Selain ''panjat'' itu, juga ada balap mobil (lebih besar dari gokart, tapi arenanya mirip areal off road). Yang ini juga Taya berani, malah dia berani menyetir sendiri, dengan saya mendampingi disamping.



Saya dan istri jadi kepikiran, meskipun baru berusia 8 tahun, dengan berat badan 45 kg, tapi Taya tidak pemalu seperti ayahnya. Dia selalu pede (menurut ukuran saya) untuk anak yang selalu disebut ''gendut''. (Maaf fotonya, tak fokus. Ayah Taya memang wartawan, tapi tak pandai motof. He..he...)

Jadi, berani jugakah si bungsu Rifa? He..he...dia berani main perosotan yang dibawahnya saat mendarat ada air. Itu terjadi di kolam renang Ocean Park. Tinggi perosotan itu lebih dari lima meter. Sayang, fotonya sebagai barang bukti tak ada. Cuma yang saya ingat, omongan Rifa yang baru berusia 5 tahun itu tapi tak punya bakat gendut seperti ayahnya. ''Lagi Yah, lagi Yah.'' Padahal, ayahnya baru saja menelan air saat mendarat di perosotan itu.

Selengkapnya...

Kenangan Ocean Park



Maaf, ini masih aja ada cerita tersisa dari cuti saya 30 Juli hingga 5 Agustus di Jabodetabek. Foto di atas saat di Ocean Park, Serpong. Ini kolam utamanya, saat saya, Taya dan Rifa menunggu datangnya ombak buatan. Istri tak mau masuk, tugasnya moto saja.



Yang ini, mohon maaf, saya bukan berenang untuk membawa anak mengitari seluruh komplek Ocean Park. Melainkan saya dorong dengan kaki tetap berjalan. He..he..., saya tak pandai berenang. Sesekali saja saya berenang (benar-benar kaki tak nyentuh lantai)

Selengkapnya...

Jumat, Agustus 08, 2008

Sabarnya Orang Jabodetabek

Cuti liburan 30 Juli hingga 5 Agustus memberikan pelajaran berharga bagi saya dan keluarga. Ternyata, jauh lebih ''nyantai'' hidup di Batam ketimbang di Jabodetabek alias Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Kenapa ya?

Bayangkan saja, dari Bumi Serpong Damai (BSD) City menuju Pasar Pagi Mangga Dua perlu waktu dua jam perjalanan. Saat sampai di pusat grosir pakaian itu, badan ini sudah terasa remuk redam. Jadinya, ketika berkeliling untuk mengamati yang dicari, badan sudah loyo. Ditambah pula, hari itu, Jumat 1 Agustus, pemandu kami, kurang cakap dan meyakinkan dalam pengetahuan tempat belanjanya.

Lalu, dari BSD menuju RS Sentra Medika di Depok, juga perlu waktu satu jam lebih. Di rumah sakit ini, suami dari kakak kembaran dari istri saya dirawat. Merekalah sebenarnya yang direncanakan jadi pemandu kami, tapi ya itulah, sakit menimpa sang suami, sehingga harus dirawat di ruang ICU.

Ketika dijemput saudara sepupu istri, dari Bandara Cengkareng untuk menuju BSD, yang katanya ''lewat belakang'' juga perlu waktu satu jam. ''Dekat kok, cuma 45 menit.'' Hemm...saya membayangkan, waktu 45 menit yang berubah jadi satu jam itu, bila dipadankan ke Batam, itu sudah mencapai jauh ke Pulau Barelang (Batam, Rempang dan Galang). Kalau dibawakan, mau jalan di kota, itu sudah bisa keluar masuk dua atau tiga mall sekitar Jodoh-Nagoya.

''Saya keluar rumah jam lima subuh, nanti sampai kantor jam tujuh.''

Nah, bayangkan juga kalimat dari suami dari istri kembaran saya itu. Dua jam perjalanan ke kantor di subuh hari? Bukan main padatnya kan?

Tapi itulah, mereka saya nilai sangat sabar. Saat macet, jarang terdengar bunyi klakson membahana. Kalau di Batam, baru satu detik aja lampu hijau menyala, maka klakson bersahutan dari mobil yang ada di belakang kita. Padahal mobil itu, ada di urutan empat atau lima.

''Kalau ada supir di sini yang klakson berkali-kali saat macet, itu tandanya, dia baru datang ke Jakarta.''

Saya tersenyum sipu dengan kalimat itu. Juga langsung ''menolak'' ketika membayangkan untuk pindah kerja ke Jabodetabek ini. Peluang kerja dan usaha memang lebih banyak di sini, tapi ''peluang'' menjalani hidup dengan santai, kayaknya di Batam atau di luar Pulau Jawa, tetap bakal terjaga sampai bertahun-tahun mendatang. Jadi, saya hapus dulu berbagai ''tawaran'' untuk hijrah ke Jakarta, kecuali bila hanya untuk sekedar jalan-jalan. He..he...he...

Selengkapnya...