Rabu, Oktober 31, 2007

Mundurlah, Bang Nurdin!

Maaf, judul di atas terinspirasi tulisan di Kompas hari ini, ''Memang, Tak Ada Tempat Untuk Kriminal.'' Tulisan Anton Sanjaya itu, mengingatkan kepada Ketua Umum PSSI untuk patuh pada Peraturan FIFA, bahwa yang terlibat kriminal tak boleh jadi Ketua Umum PSSI. ''Daripada Indonesia terus dipermalukan di arena pergaulan sepak bola internasional, memang lebih baik Nurdin Halid sukarela mundur. Malu kita bang!'' Itulah alinea terakhir tulisan Anton.

Hari ini, Kompas memang sangat spesial ''membela'' PSSI. Tulisan Anton itu ada di halaman olahraga, tapi ada berita lain pula di halaman utama (belum tentu halaman 1, karena saya masih baca Kompas yang edisi online ya?!). Judulnya ini, ''Tiada Lagi Celah Bagi Nurdin Halid di PSSI''. Seingat saya, kalau Kompas sudah ''bersuara'', maka ''jadilah''. Artinya, respon berita selanjutnya, maka Nurdin Halid bakal segera lengser. Baik oleh kesadaran dia sendiri (seperti saat mundur dari DPR), atau memang oleh desakan Musyawarah Luar Biasa.

Hmm...jadi teringat masa ''muda'' kalau sudah menyangkut berita olahraga ini. Saat saya memulai karir sebagai reporter olahraga Riau Pos di Pekanbaru tahun 1992. Saat saya, menjadi satu-satunya reporter yang setiap sore meliput sepak bola di Pekanbaru. Baik yang ukuran kelas kampung (karena di lapangan kampung) atau yang bermain di Stadion Hang Tuah (sekarang stadion ini sudah ''almarhum'' menjadi taman kota). Bahkan, meski nama saya tak ada dalam panitia kompetisi PSPS Pekanbaru, tapi saya ikut mengangkat meja, membantu membawa toa dan ''memberi semangat'' kepada Pak Saleh (instruktur pertandingan), agar tetap ''senang hati'' menggelar kompetisi.

Karenanya, saya jadi tahu, siapa saja personal-personal yang memang ''gila bola'' atau ''menggilai'' di balik bola. Karenanya juga, saya jadi bisa menangkis opini orang tentang personal-personal yang dianggapnya tak becus ngurus sepak bola. Karenanya juga, saya jadi tahu, siapa pejabat-pejabat yang benar-benar ''sepenuh hati'' mengurus bola.

Bahkan, saya juga jadi tahu, bagaimana sikap luar dalam pemain bola. Dan saya juga jadi tahu, bahwa bila saya datang ke Stadion Hang Tuah, menyaksikan anak PSPS latihan, maka, anak-anak itu akan sungguh-sungguh berlatih. Karena, walau pun saya berada di tribun stadion ''mengota'' dengan fans PSPS sambil makan buah semangka, tapi keesokan harinya, bisa saya bikin beritanya, siapa-siapa saja yang pantas jadi pemain cadangan dan inti. Karena bisa saya lihat di tribun, dengan ''mengaduk-aduk'' komentar fans yang ada di tribun itu.

Kini sudah ''jauh'' tujuh tahun, saya dari aroma PSPS karena sudah ''dimutasi'' ke Batam. Bahkan, bisa jadi sudah jauh sepuluh tahun (karena tentu saja tak terus jadi reporter olahraga), tapi ''darah'' bola itu tetap ada saja. Saya selalu rindu berita PSPS. Setiap pagi saat masuk kantor, yang pertama saya lakukan, browsing di internet dengan mengklik RiauPos.com untuk cari berita PSPS. Atau malah, saya cari website suporternya. Setiap hari, rutin. Tapi berita PSPS makin jarang (kabarnya, setelah era saya, tak ada lagi yang benar-benar serius jadi reporter olahraga di Riau Pos). Kalau dulu, ada tak ada pertandingan, berita PSPS bisa saya bikin dua atau tiga setiap harinya.

Lalu karena sudah ''berkurang'' tadi, maka berita tentang sepakbola nasional menjadi ''menu'' saya. Dari dulu memang. Tapi kini makin kuat, setelah berita PSPS menghilang. Bahkan tabloid Bola yang sejak awal terbit dilanggankan papa saya, yang saya baca paling dulu hanyalah halaman Ole Nasional! nya. Selebihnya sambil lalu saja. Karenanya jua, saya jadi makin paham. siapa itu sebenarnya Nurdin Halid.

Saya jadi tahu tuh, dia ''gila bola'' benaran, atau ''menggilai'' di balik itu. Pemahaman saya pun pada dia, sama persis dengan pemahaman saya bagaimana bergaul dengan ''orang-orang bola'' dulu di era 92-96 itu. Tapi seperti kata Anton, ''tak ada tempat untuk kriminal'' apalagi itu sudah aturan di FIFA, makanya, saya juga menganjurkan Bang Nurdin, untuk mengundurkan diri saja. Bagaimanapun, banyak orang tetap akan menghargai niat baiknya memajukan sepakbola bangsa. Mundurlah, bang, untuk kemajuan sepakbola negeri kita!

Selengkapnya...

Rabu, Oktober 24, 2007

Apa Sih Kerjaan Ayah Taya?

Kalau ditanya kerja, saat masih bujangan hingga sudah menikah punya dua gadis kecil, jawabannya selalu didahului senyuman.

Saat saya dan saudara sepupu saya tinggal tak jauh dari kantor tempat saya bekerja, ada kejadian lucu. Tetangga rumah menyangka, saya kerja Satpam. Karena sering pulang hingga dinihari jam dua pagi. ''Banyak yang tanya, De, kau kerja apa,'' kata Syaf, adik sepupu saya.

Lalu saat menikah, dan kemudian menetap di Batam, tetangga juga tak tahu apa pekerjaan ayah Taya? (itu nama anak saya). Lalu setelah dia baca koran, dan ada nama saya tertulis di boks pengurus Batam Pos dan Posmetro Batam barulah mereka tahu. ''Rupanya ayah Taya, ....''

Tapi anehnya, selain banyak tetangga yang tahu, ada juga yang belum tahu. Apa tak pernah baca koran ya? Ketahuannya saat Lebaran lalu. ''Ayah Taya kerja di mana? Bagian apa?''

Saya jawab saja. ''Sekarang di Posmetro, bagian usahanya.'' Yang nanya bertanya lagi. ''O...bukan wartawannya ya...?''

Yang paling enak, kalau yang bertanya itu, lagi chating. Seperti sore ini, ada yang bertanya apa pekerjaan saya. Dia pantas bertanya begitu, karena dia seorang karyawan perusahaan forex, siapa tahu mungkin saya cocok jadi nasabahnya. Jawaban mudah saya, ya, suruh klik saja www.posmetrobatam.com dan carilah nama saya di sana.

Lantas apa komentarnya; seperti di bawah ini, tapi sudah saya edit kok.
D..S: kudu hormat neh ama bpk dir...
D... S: *gak lg2 pake gw lu dah...*

Belum sempat saya menjelaskan, bahwa di kantor saya justru lebih banyak dipanggil ''abang'' ketimbang bapak, chating sudah ditutup.

Selengkapnya...

Senin, Oktober 22, 2007

Walah...Dapat Kartu Kredit Lagi

Hari ini kerja lagi dengan lebih banyak waktu di kantor. Maklum, ini resmi kerja hari pertama setelah Lebaran, jika ikut aturan pemerintah. Tapi sebenarnya, saya sudah mulai resmi masuk kerja lagi sejak tanggal 18 Oktober. Namun seusai makan siang yang biasa dilakukan di rumah, saya tak pernah datang lagi. Tapi hari ini, setelah makan siang dengan ayam masak kecap, saya balik lagi ke kantor.

Nah, saat baru duduk di kursi dengan suara AC yang masih belum bisa dikecilkan, telah datang pula setumpuk petunjuk tentang kartu kredit Mandiri. Kali ini pakai nama Kartu Mandiri Titanium. Saya pikir, bakal dapat pagu kredit hingga Rp50 juta, nyatanya masih bermain di Rp10 juta juga.

Terkesan saya sombong ya? Tentu saja, karena saya sudah punya kartu Mandiri lainnya yang berlogo Visa dengan pagu Rp10 juta juga. Lalu ada juga kartu kredit yang pertama kali saya dapatkan, yakni dari Bank Riau, tempat saya menabung sejak SMP. Itulah bank yang pertama kali mempercayai saya punya kartu kredit, karena justru sebelumnya ditolak melulu. Lalu ada Kartu Kredit Niaga, dan yang paling besar pagunya Kartu Kredit HSBC Rp12.500.000.

Jadi, hari ini kartu kredit saya sudah lima. Terus terang saya sudah bosan. Karena empat kartu kredit yang sebelumnya saja, masih terus memburu tagihannya. Ada yang karena saya pakai untuk membayar tiket pulang kampung -- tapi setelah balik ke Batam, tidak saya lunasi segera, padahal duitnya ada. Ada juga karena kenekatan saya, untuk dipergunakan berbisnis dan sekarang tinggal saya bayar tagihan bulanannya, sementara bisnisnya sudah tutup.

Tapi tak apalah. Saat orang percaya memberikan pinjaman uang kepada kita, berarti kredibilitas kita terjagakan? Tapi untuk kartu kredit yang terakhir ini, mungkin saya perlu pikir panjang registrasinya. Namun melihat buku petunjuknya, banyak tempat-tempat yang bisa saya minum dan makan gratis di berbagai bandaranya, ngiler juga.

Eh...walah...di tahun 2007 ini pula, saya jarang diajak bos keliling Indonesia. Padahal hari-hari ini, ada teman yang bisa ''berwisata'' di Makassar. He..he...seandainya...

Selengkapnya...

Selasa, Oktober 09, 2007

Coba Lebaran di Batam

''Open House dong bang. Sesekali Lebaran di Batam, bikin yang meriah''

Kalimat seperti itu, yang tak bisa tak, bikin saya dan istri berpikir. Benar juga! Sudah tujuh tahun di Batam, biasanya setiap Lebaran, pulang kampung. Kalau tak ke Kisaran (kampung istri), atau ke Pekanbaru (kampung saya). Sebenarnya, pernah juga sih, merasakan Lebaran di Batam, tapi hari pertama saja, selanjutnya kami terbang, karena telat dapat tiket pesawat.

Istri sudah sibuk jauh hari. Maklumlah, ini Lebaran pertama, yang kami benar-benar menerima tamu. Kan biasanya, yang datang, tamu orang tua, dan tentu saja mereka yang melayani. Sekarang ini, tamu kami berdua yang akan kami layani sendiri. Pembantu kami tak punya.

Belum lagi, kami masih ''setia'' tinggal di rumah yang masih bertipe 36. Mungkin, rumah tetangga sebelah yang kosong akan kami ''isi'' seandainya hujan menyerang Batam (tiap Lebaran, Batam hujan lho). Minimal garase tetangga, bisa dijadikan tempat berteduh.

Apa yang dimasak istri? Seperti kebanyakan rumah tangga Indonesia, tentu harus ada lontong sayur. Maaf, saya tak pernah nuntut ketupat. Karena saya tahu, itu berat kerjanya, dan saya rasa, sama saja enaknya dengan lontong. Apalagi lontongnya dibuat pakai daun pisang. Harum juga. Tambah enak lagi, karena istri saya tak perlu bikin lontong itu, cukup pesan sama tetangga belakang. He..he.. Dia tinggal masak gulai sayurnya saja.

Kabarnya juga, bakal ada rendang. Istri saya lumayan pintar masak rendang. Resep mertua, katanya (ya, ibu saya dong). Ibu dia sendiri, tak yakin anaknya bisa masak rendang. Maklum, istri saya bukan orang Minang atau Melayu. Dia bermarga Nasution, tapi ibunya ada keturunan Jawa.

Satu lagi rancangan istri, dia sudah pesan bakso untuk hidangan ''open house'' nanti. Jadi, bagi yang bosan lontong sayur, bisa coba bakso. Hi..hi...saya sebenarnya ragu, apa cocok bakso dihidangkan saat Lebaran ya...

Dan satu lagi rancangan saya, es krim. Sedangkan diincar, es krim mana yang pas untuk jadi hidangan penutup saat ''open house'' nanti.

Tapi pasti ada yang bertanya, tak adakah bikin kue? Istri saya tetap tak bikin, beli aja, dan sudah datang ke rumah beberapa hari lalu. Cuma, dia tetap saja masih khawatir, apa cukup ya? (maklum, ini kan Lebaran pertama bagi kami melayani tamu sendiri...)

Istri selalu khawatir itu, saya tidak. Yang saya khawatirkan, apakah ini benar-benar ''open house''? Karenanya, saya tak berani menyampaikan kepada karyawan, bisa tidak saya memenuhi permintaan mereka. Yang saya jawab hanya ini. ''Kalau mau datang ke rumah aku, Lebaran pertama. Hari kedua, tak tahu aku entah ke mana. Jangan, jangan pulang kampung pula...''

He...he...(takut, makanannya justru tak habis, kan mubazir).

Selengkapnya...