Ragu-ragu Rezeki ~ sebuah blog yang tahu diri

Senin, Mei 29, 2006

Ragu-ragu Rezeki

'’Bang, kalau ada waktu tengok aja rumahnya hari ini.
Murah kok. Nanti tanggal 5 saya ke Batam, kita
ngobrollah.”


Saya terima SMS tersebut pukul 20.39, Jumat (25/11). Seorang sahabat yang sudah banyak jadi mantan pada berbagai perusahaan. Termasuk mantan mitra saya. Namun untuk silaturahmi antar pribadi, tidak mantan.

Bahkan saat saya ke Jakarta, dia mau menemani makan mie goreng kaki lima di sebelah Hotel Ibis Slipi, Jakarta. Kembali ke Jakarta di kampungnya sendiri, tapi hatinya tetap di Batam. Betapa tidak, rumahnya dikontrakkan. Dan karena ‘’kepepetlah” harus dijual. Sayalah yang ditawari, bahkan dengan penuh cara kekeluargaan. Bisa beberapa kali bayar.

Huh, saya yang dibuat ragu. Ragu itulah yang menjadi ‘’kerja” saya belakangan ini. Ragu memutuskan sesuatu di tempat kerja. Ragu memutuskan sesuatu untuk masa depan, namun harus diputuskan masa sekarang. Atau malah menerima ragu-ragu dari berbagai pihak yang saya diminta untuk memberi saran. Eh, saran saya juga penuh keraguan. Uniknya, keraguan saya dan teman itu selalu banyak menyangkut rezeki. Baik langsung atau pun tidak langsung. Terkadang aneh juga memandang hidup ini. Ketika dapat jabatan enak, eh, kita ragu dengan kemampuan.

Ketika sudah dirasa, eh, kita ragu dengan pendapatannya. Ketika pendapatan oke, kita ragu dengan kemampuan orang yang jadi mitra kita. Begitu seterusnya, ragu muncul terus. Kadang yang ditakutkan keraguan tersebut akan berujung pada prasangka. Saya terkesimak sendiri ketika kiriman SMS Alquran Seluler mengingatkannya. ‘’Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda: Jauhilah prasangka karena prasangka itu informasi/ucapan yang paling dusta.” Malah bisa jadi karena prasangka itu, kita memangragu dengan diri sendiri hingga orang lain.

Malah tak bisa jauh, ragu pun akhirnya terwujud sendiri. Ragu sukses, ya, gagal. Ragu menang, ya, kalah. Ragu untung, ya, rugi. Khusus untuk ragu untung, ragu rugi ini pekan lalu saya dapat pelajaran berharga dari sebuah seminar yang saya ikuti. Kata dua pembicaranya, kalau sebagian besar pikiran kita ragu dapat untung, ya, memang usahanya akan rugi. Karena pikiran, katanya, akan secara bulat mensugesti (ini bahasa saya) dalam kenyataan. Tersebab, pikiran itu akan membuat kita jadi pesimis, yang meloyokan kita untuk optimis.

Yang tergambar dalam gerak kita mencapai untung itu, yang tak dinamis. Yah, begitulah seterusnya, yang pokoknya negatif. Saya mengasumsikan sendiri cara pandang seperti itu dalam melihat orang buta. Pernah suatu kali saat sholat Ashar di Masjid Raya, saya lihat orang buta dengan gagah berani mengambil shaf terdepan.

Dia hanya dituntun tongkatnya karena tongkat dan kakinya tak merasakan lagi ada karpet, disitulah dia berhenti dan tanpa menyenggol jamaah lain. Saya malu sendiri, saya justru mengambil shaf di tengah, padahal ruang kosong di depan bukan main banyaknya. Lalu bagaimana ragu yang terkait langsung dengan rezeki? Uniknya, Kamis dan Jumat (24-25/11) saya menerima SMS yang terkait itu.

Yang pertama ini,”Tuhan melapangkan/menyempitkan rezeki bg siapa yg Ia kehendaki. Tiada apapun yg kamu nafkahkan yg tdk digantiNya. Ia-lah sebaik2 pemberi rezeki.QS.34:39.” Yang kedua panjang mengutip Sabda Rasulullah SAW tapi saya persingkat begini,”…Dan Allah selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya. HR Bukhari-Muslim.” Haruskah kita terus ragu dengan diri kita sendiri atau orang lain? Mungkin sulit menjawabnya. Maaf, tak terkecuali saya sendiri. Apalagi masuk SMS yang mirip dengan tawaran rumah di atas. ‘’Jadi beli barangnya? Bisa DP 35 jt, sisanya dua bulan lagi.” Ya, Allah bagaimana menjawabnya? (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 27-November-2005, 203 Klik)

Tidak ada komentar: