Memaknai Merdeka dan Tidak Merdeka ~ sebuah blog yang tahu diri

Senin, Mei 29, 2006

Memaknai Merdeka dan Tidak Merdeka

‘’Dirgahayu Republik Indonesia 17/8/05-ke 60 th, jayalah negeriku, jaya bangsaku, jayalahku dunia akhirat, amin…!”

SAAT masih asyik bermalas-malasan di ranjang bersama dua mata hati, SMS di atas masuk. Tepat pukul 06.22 WIB lewat 18 detik. Baru saya tersentak, 17 Agustus rupanya. Hebat, ada juga yang mau ‘’membuang” pulsa untuk mengucapkannya. Saya lihat lagi mail box handphone. Eh ternyata sehari sebelumnya pukul 14.35 lewat 56 detik, ada juga SMS serupa. Singkat saja, ”merdeka…?” Sepertinya pengirim ingin ‘’tak memerdekakan” saya, karena harus membahasnya untuk yang satu ini. Bertepatan pula memang secara pribadi saya belum merasa merdeka. Seorang sohib, bahkan adik saya juga bernasib sama beberapa hari ini. Pas, di hari kemerdekaan, adik bungsu saya yang mencoba merantau di Batam, lagi kepayahan cari rumah sewa. Maklum, dia harus tahu diri untuk tak terlalu ‘’merdeka” menggunakan sesuatu bukan miliknya, juga bukan milik saya.

Seterusnya, kolega sejati saya yang selalu memberi semangat untuk berjiwa berani menantang arus, juga tidak merdeka dalam bahtera rumah tangganya. Tapi pas di hari kemerdekaan, eh, ada sesuatu yang lain datang. Dia bahkan, bingung menentukan apakah meninggalkan Batam atau tetap bertahan. Merdeka karena sudah dipercaya mertua, tapi harus bertahan di Batam. Adakah kemerdekaan sebagai sepasang suami istri bakal diraihnya?

Itu yang dipikirnya. Dan pada kesempatan telepon beberapa detik, saya ‘’dipaksa” mengeluarkan pendapat yang rasanya saya sendiri tetap memberikan alternatif yang tidak memerdekakan mereka. Tepat seusai Presiden SBY menyelesaikan seremoni mengheningkan cipta, saya melaksanakan sholat dhuha. Inilah dhuha pertama dalam hidup saya yang bertepatan dengan hari kemerdekaan. Ya, karena berbagai persoalan di atas, dan lain-lain dalam hidup, saya melakukan itu. Semua saya doakan terutama tentu diri saya yang belum juga berani mengeluarkan pikiran-pikiran merdeka.

***
‘’Aktivitas pelaksanaan HUT RI ke 60 di ruli lesu gejala apa kak?” Yang ini saya terima pukul 12.14 WIB lewat 32 detik. Rasanya ini mudah saja jawabnya. Kita sekarang kebanyakan tak merdeka lagi dengan uang. Uang kita habis untuk biaya sekolah, harga BBM yang naik, lalu listrik segera dan diikuti latah air ATB. Apa yang nak disumbangkan lagi untuk anak-anak kita agar dapat berlomba makan kerupuk, tarik tambang dan panjat pinang? Bahkan bukan hanya yang di ruli, yang di perumahan resmi pun terasa gregetnya kurang. Ataukah ini, justru pertanda kita boleh merdeka dalam arti tak meramaikannya sama sekali? Tapi terus terang, bulan yang paling tak saya suka dalam hidup adalah Agustus.

Itu berlaku sejak saya ‘’mengerti memaknainya”. Terlalu banyak kegiatan, hingga ayah saya harus lembur menjaga stand pameran pembangunan. Lalu terlalu banyak pertandingan olahraga, sehingga terkadang saya lihat jadi permusuhan antar-kelas, sekolah dan antar-RT. Malah jadi ajang curiga-curigaan kepada panitia karena ‘’memakan” dana yang terkumpul.

Eh, di saat sudah menikah seperti lima tahun ini, untuk soal ngasih dana ke panitia, selalu saja ada perbedaan persepsi dengan istri. Belum lagi saat di kantor untuk memutuskan, apakah proposal dari berbagai panitia HUT RI diterima atau ditolak. Diterima, yang lain bagaimana? Ditolak, eh, ini kita kenal panitianya?

Justru tak merdekakan? Saya jadi ingat, cakap seorang tua dalam sebuah oplet sebelum memasuki Terminal Aur di Bukittinggi tahun 1996 lalu. Sepertinya beliau seorang veteran perang. ‘’Justru sekarang di zaman merdeka kita tak merdeka. Lihatlah, mau masuk ke terminal ini saja, supir oplet harus bayar retribusi. Zaman perang dahulu mana ada begini.”

Saat itu saya langsung tertegun. Benar juga, pikir saya. ‘’Bahkan mau masuk WC saja kita bayar, dulu tidak . Padahal itu fasilitas umum terminal ini.” Rasanya, kita punya persepsi masing-masing untuk memaknai merdeka. Namun yang pasti merdeka itu ada, tapi tetap bersebelahan dengan kemerdekaan orang lain. Menjaganya jangan tersenggol badan, tersinggung hati hingga menjadi dendam untuk selanjutnya menggerakkan perlawanan. ***(Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 21-Agustus-2005, 143 Klik)

Tidak ada komentar: