Belajar Mengejar Ilmu Ikhlas ~ sebuah blog yang tahu diri

Senin, Mei 29, 2006

Belajar Mengejar Ilmu Ikhlas

”Coba pak minta bantuan Aripin. Itu bisa cablenya atau didisablekan networknya.”

Saya menerima SMS di atas tepat pukul 8.41 WIB, Sabtu (19/11). Sudah sampai di ruang kerja pukul 8.15 WIB. Terbuang sia-sia waktu 26 menit hanya untuk memulai mengetik tulisan ini, karena jaringan online di komputer ngadat. Uniknya, hanya milik saya.

Tapi syukurlah, SMS tadi justru membuka mata saya untuk menjadikannya alinea pembuka. Kalau tidak, mungkin lebih dari 26 menit untuk mendapatkannya. Sama terkadang, agak sia-sia menunggu pukul 21.30 setiap Ramadan lalu, hanya untuk menyaksikan ‘’Kiamat Sudah Dekat”, tapi nyatanya sering molor 15 hingga 20 menit. Namun apa yang didapat, sungguh tak sia-sia dengan kesabaran tadi. Dan inilah yang hendak dibicarakan, ilmu ikhlas.

Pengalaman pribadi saya memaksa untuk belajar ilmu ikhlas yang ‘’disindirkan” Dedy Miswar dalam sinetronnya itu. Betapa tidak, ketika saya harus menerima berbagai keputusan dan kebijakan dari pimpinan dengan lapang dada, meski sebenarnya pembahasan sebelumnya lain. Atau ketika banyak hal harus saya ketahui, tapi nyatanya tak ada yang menginformasikan. Atau malah, ketika saya harus menyerah mengambil keputusan, minta yang di atas untuk mencari jalan keluarnya.

Sepertinya memang benar selalu diingatkan para alim ulama, satu bulan Ramadan hanyalah arena kawah candradimuka. Yang lebih berat dari itu adalah, 11 bulan berikutnya. Eh, baru beberapa hari lepas dari Ramadan, justru yang dihadapi kita lawan dengan ketidaksabaran dan keikhlasan (utamanya saya).

‘’Udah, nonton aja Kiamat Sudah Dekat, sekarang tiap malam Jumat jam 20.30 WIB.” SMS ini jadi hiburan penyejuk hati. Datangnya pun dari keluarga di Sumatera Utara atau Riau. Sama persis yang sudah saya sampaikan kepada beberapa teman, via lisan bukan SMS. Tapi apakah ilmu ikhlas itu?

Rasanya, kalau yang baru mau niat nonton itu sinetron, tak ngerti-ngerti. Saya sendiri pun kurang memahaminya. Ketika dialog Pak Haji dan Fandy yang menjadi puncak kemenangan Fandy merebut Sarah, tak terekam jelas di otak saya. Padahal adegan itulah diterimanya kebenaran ilmu ikhlas. Padahal juga sebelum disinetronkan, saya sudah menonton film layer lebarnya berkali-kali.

Makanya, ketika nonton terus sinetronnya dan telah melewati dialog Pak Haji dan Fandy itu, maka ‘’hilanglah” ilmu ikhlas tersebut. Yang terekam hanyalah suasana soal bagaimana kedua calon besan berebut ingin anak dan menantunya tinggal di rumah mereka. Atau adegan Saprol dan Kipli yang tak setuju ayah Kipli menikahi ibu Saprol. Mana ilmu ikhlasnya?

Sepertinya adalah, kesungguhan lalu disempurnakan dengan kesabaran yang diliputi kepasrahan Fandy berjuang merebut Sarah. Lalu ketika dia memainkan jurus untuk ‘’membelokkan” cara berfikir orangtuanya agar mendekati cara berfikir calon mertuanya. Atau bagaimana dia mengkombinasikan hal tersebut. Rasanya itu juga dirasakan Pak Haji, yang tak juga memiliki teori tentang ilmu ikhlas. Juga oleh lawan Fandy untuk merebut Sarah meski mahasiswa universitas ternama di Mesir sana.

Hah, benarkah itu ada di dunia nyata? Masing-masing kita akan mengalaminya sendiri. Dalam kadar yang berbeda-beda. Malah mungkin menurut pribadi kita, tidak dalam konteks ikhlas atau tidak, sabar atau tidak, pasrah atau tidak. Karena kita terus menjalani hidup ini hingga batas akhir, dalam gelombang emosi yang terkadang susah dikendali. Hanya orang-orang yang melihat kita di luar gelombang yang bisa mengingatkan.

Saya kutipkan SMS kiriman Aquran seluler ini 13 November lalu. ‘’Sahl bin Sa’d ra: Sabda Nabi: Siapa yg memberikan jaminan kpdku untuk menjaga lisan & kemaluannya, aku akan memberinya jaminan surga.” Astagfirullah! Maaf, saya juga masih belajar dan mengejar ilmu ikhlas. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 20-November-2005, 300 Klik)

Tidak ada komentar: