Oleh-olehnya Mana? ~ sebuah blog yang tahu diri

Senin, Mei 29, 2006

Oleh-olehnya Mana?

‘’lah ado jual ganefo di Batam, mak. di dc mall”
‘’cubolah apo enak.”
‘’renyah jg.”


Itu petikan SMS dengan ibu yang biasa saya panggil mak, Selasa (13/12) sekitar pukul 16.30 WIB. Bukan menggunakan bahasa Minang. Ini gaya dialek orang Pekanbaru. Banyak pakai o, juga. Sering dibumbui, do, untuk beberapa akhir kalimat.

Yang dibicarakan tentang makanan. Ganefo sejenis kue yang rasanya asin. Terbuat dari ubi kayu alias singkong yang dicincang berbentuk dadu. Biasanya direbus dulu sebelum digoreng. Mungkin ada juga yang menjemur sesudah dicincang. Lalu diberi bumbu, seterusnya digoreng.

Ini jadi makanan favorit saya saat masih SMEA dulu. Saya pernah distrap dan ditempeleng kepala sekolah gara-gara cabut dari kelas untuk membelinya. ‘’Kalau di Pekanbaru memang namanya Ganefo,” celutuk si penjual saat saya keheranan sudah ada yang jual kue itu di Batam. Kalau di Padang, tempat asal si penjual, disebut ubi cincang.

Mengapa di Pekanbaru disebut Ganefo, dah lama saya cari jawabannya, tak ketemu. Mungkin bisa terkait dengan peristiwa Ganefo tahun 1962 di zaman Presiden Soekarno dahulu, entahlah jawab ibu. Tapi bila kue ini bisa dilempar-lempar – itu kami lakukan di sekolah makanya ditempeleng—, agak mirip juga dengan nama Ganefo yang sememang pesta olahraga mirip olimpiade.

Apapun namanya, saya bisa menikmatinya kini tanpa perlu lagi dikirim dari Pekanbaru. Sesuatu yang dirindu ketika menjauh dan menghilang, kini bisa hadir di depan mata dengan mudahnya. Saya yakin suatu saat, jauh lebih mudah menemukan Ganefo di Batam, dibanding Pekanbaru.

Betapa tidak, pulau Rempang dan Galang sudah mulai banyak ditanam ubi. Di Pekanbaru, daerah Kulim yang penghasil ubi, kini banyak ‘’ditanami” rumah dan ruko.
Bila melihat itu semua, masih banyak potensi besar yang dimiliki Batam. Bahkan bukan ubi, mangga pun kelihatan banyak ditanam di Barelang sana. Belum lagi sayur mayur. Bahkan tak sekedar di Barelang, di seputaran Tiban rumah saya, para ibu rumah tangga sore hari sudah bisa beli sayur lokal dari penjaja keliling. Mulai dari kangkung, bayam hingga daun singkong.

Makanya, tak heran bila justru di mall-mall, sayuran yang dijual bukan lagi didatangkan dari luar Batam atau luar negeri. Asli Batam itu. Cara pengemasan saja yang membuatnya terkesan seperti buatan luar. Soal harga? Mungkin karena dikemas jadinya sedikit lebih mahal.
***

‘’Nanti dibawakan kopi celup. Kali ini yang 2 in 1. Bukan kayak kemarin.” Ini juga SMS saya dengan ibu. Saya cari oleh-oleh yang ‘’aneh-aneh”. Sebelumnya ini lama disarankan Hasan Aspahani, sahabat diskusi saya. Tapi maaf, yang disarankan bukan kopi celup lokal melainkan luar punya, Singapura.

Semula dibeli dituntun Hasan via handphone di Top 100 Penuin. Selanjutnya saya bisa cari sendiri. Nah itulah, kini yang 2 in 1 pula rasanya. Saat dituntun dulu, belum yang komplit begini. Sebenarnya ada yang 3 in 1 tapi sengaja saya bikin bertahap. Biar ada kejutan dalam tiap oleh-olehnya.

Namun yang jadi pertanyaan saya, di mana ya, ada kebun kopi di Singapura? Mengapa pula saya asyik memburu kopi yang dikemas mereka? Bukankah masih ada kopi-kopi lain yang lebih nikmat? Tak bisa jugakah Batam berbuat sama, malah lebih bisa hebat karena masih banyak lahan?

Saya tak mau memikirkan jawabannya. Saya hanya mau mencari jawaban nyata dari tiap pertanyaan begini saat pulang kampung,”oleh-olehnya mana?”. Suatu saat mungkin Ganefo karena banyak lahan akan ditanami ubi, atau malah kopi Batam? Oleh-oleh tentu yang unik-unik, kan? Tapi kalau yang unik, justru kopi kita sendiri yang diolah dulu oleh orang luar negeri, bagaimana pula itu ceritanya? Jadinya, persis seperti iklannya HSBC yang menyindir kita semua, ‘’mari jelajahi keunikan Indonesia”. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 18-Desember-2005, 151 Klik)

Tidak ada komentar: