Bekerja Keras untuk Siapa? ~ sebuah blog yang tahu diri

Senin, Mei 29, 2006

Bekerja Keras untuk Siapa?

‘’Hai manusia! Kau sungguh bekerja keras menuju Tuhanmu dan kau akan bertemu dengan-Nya (QS. 84:6)”

SUDAH tiga hari Minggu saya punya kegiatan lain. Kuliah lagi. Tapi tak nak meraih gelar S-2 atau S-3. Melainkan sesuatu motivasi. Karenanya, ketika salah masuk ruangan di Hotel Nagoya Plaza, saya jadi tersenyum sendiri. Tertulis di pintunya Kuliah S-2 Univ. Boedi Utomo Surabaya. Sedangkan kuliah yang saya ikuti ini, tak berijazah dan bergelar sama sekali.

Setiap sesi kuliah, bulu kuduk saya berdiri. Terlebih pada pekan kedua. Betapa tidak, ternyata dosennya teman saat mahasiswa dahulu. Dia menceritakan bagaimana setiap hari keluar dari rumah untuk pergi kerja, pukul lima subuh. Pulang kerja dan sampai ke rumah pukul sembilan malam. Waktu dalam perjalanan dari kantor ke rumah bolak-balik, habis lima jam. Karena, dia tinggal di Cisalak, Bogor tapi kerja di Cikarang, Bekasi. Macet yang jadi penghalang.

‘’Kalau orang tua lain bisa melihat pertumbuhan anaknya dari tingginya, saya justru dari panjangnya. Saat pergi kerja, anak masih tidur. Ketika saya sampai di rumah, anak juga tidur. Saya pandangi anak saya. O…udah segini panjangnya.” Teman itu memperagakan panjang dengan merentang tangannya. Senyumnya hanya sedikit, tapi yang mendengarkan tertawa ngakak. ‘’Kata orang, ketika bangun pagi kita dibangunkan ayam berkokok. Kalau saya beda, saya yang membangunkan ayam. Bayangkan saja, kalau keluar rumah jam lima subuh, jam berapa saya bangun mempersiapkan diri?”

Tapi berkat kerja keras, teman ini justru jadi orang hebat. Setiap Sabtu saat kantornya libur, dia belanja mainan anak-anak di Pasar Pagi Jakarta. Dibawanya ke Cisalak menggunakan kereta api. Lalu bersama istrinya, dia melabeli harga untuk dipajang di toko milik mereka. Dan di hari Minggu-nya, dia menemani istrinya menjaga toko yang selalu ramai di hari libur itu. Begitu terus lebih kurang dua tahun. Saat tokonya di tahun 2003 sudah berjumlah empat, dia baru memberanikan diri resign. Meninggalkan jabatan sebagai manajer keuangan. Meski itu ditentang banyak keluarganya.

‘’Diurus sambilan saja bisa punya empat toko, apalagi diurus serius.” Begitu prinsipnya. Dan terkesan dia malah menyesal mengapa lambat sekali memutuskan resign. Dua tahun setelah keluar kerja, jumlah tokonya hingga saat dia memberikan kuliah pada saya, sudah 36 unit tersebar di Pulau Jawa. Dan akan terus ditambahnya.
Hari-harinya bagaimana? Ketika saya menelponnya jam 9.30 WIB, dia masih di rumah. Menikmati hidup. Masih sempat mengantar anak sekolah, lalu pulang ke rumah mengulang baca koran sambil minum teh, dan jelang siang jemput anak sekolah lagi. Nyaris persis seperti gaya hidup konsultan kepemimpinan Gde Prama yang ketika orang pagi-pagi pergi kerja, dia asyik memancing.

Bagaimana bisnisnya dijalankan? Ke-36 tokonya tetap buka, tanpa dia harus mati-matian lagi mengawasinya. Dia sudah punya sistem kerja dan pendelegasian tugas yang jelas dengan karyawannya. Kalau ada janji ketemu rekanan, dia hanya mau di atas jam 12. Sesudah sholat Zuhur dan sekaligus menghindari macet Jakarta. ‘’Kalau pagi-pagi saya keluar rumah, ntar disebut karyawan lagi.”

Betapa tak berdiri bulu kuduk saya mendengar itu semua. Saat masih kuliah semester lima di jurusan manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Riau tahun 1992, saya sudah bekerja. Dia yang di jurusan akuntansi mungkin baru jelang-jelang akhir, saat mulai jadi asisten dosen. Saya terus dalam grup yang sama hingga tamat kuliah. Tahun 2000 saya merantau ke Batam.

Dia merantau ke Jakarta. Saya masih dalam grup yang sama di 2005. Dia akhirnya punya kerajaan sendiri. Dan akan terus membangun visinya punya mall yang isinya mainan anak-anak semua.

Tapi gayanya masih sama, sederhana dan sangat bersahaja. Belahan rambut yang di tepi dan badan yang tetap ramping. Saya makin gendut, dan tak gesit.
Dan hmm…dia sudah bisa banyak membantu orang. Bayangkan saja, kalau tiap tokonya perlu lima orang karyawan saja. Betapa banyak doa, akan diucapkan untuk dirinya. Sedekahnya pun jauh lebih banyak ketimbang saat masih mengukur panjang anaknya. Sama dengan Purdie Chandra yang jadi mentornya, dia juga mempunyai selera humor sama. ‘’Saat di pintu surga. Para kiai akan mempersilakan lebih dahulu pengusaha yang masuk.

Tersebab, pengusahalah yang menyumbang paling banyak pada masjid dan pondok pesantren.”
Kalimat dia yang juga bernada humor menurut versi saya seperti berikut. ‘’Kalau mati-matian bekerja di perusahaan orang, pekerjaan itu tak bisa diwariskan. Termasuk juga jadi pegawai negeri di zaman ini. Tapi kalau usaha, bisakan?” Tapi saya tetap harus merenungi lebih dalam tentang bekerja keras dan mati-matian. Terlebih lagi ada kiriman SMS seperti di atas tadi dan berikut ini. ‘’Napoleon Hill berkata: Peliharalah wawasan Anda seakan-akan itu anak2 jiwa Anda; rancangan utk pencapaian akhir Anda ‘’. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 25-September-2005, 350 Klik)

Tidak ada komentar: