‘’Anas ra: Kami pernah tempuh perjalanan jauh bersama Rasul di bulan Ramadan. Orang yang berpuasa & yang berbuka dlm rombongan tidak saling mencela.”
MAAF pembaca, saya mengetengahkan alinea pembuka dengan SMS soal perjalanan. Saat Anda membaca tulisan ini, saya Insya Allah sudah tak berada dalam lingkup peredaran Batam Pos. Saya telah pulang kampung. Ikut arus mudik di Kisaran, Sumatera Utara, kampung istri.
Yang saya risau berada di sana, soal sinyal handphone yang sudah bisa bagus ditangkap, kayaknya akan dirasakan. Bisa jadi, banyak di antara Anda akan mencoba untuk meng-SMS saya. Saya kini telah berada dalam lingkungan yang sebenarnya ingin saya dambakan tanpa gangguan krang kring HP. Namun sayang, teknologi telah memasuki seluruh pelosok kota yang tiga jam perjalanan dari Medan ini.
Tapi Anda jangan mengira, tulisan ini dibuat saat saya berada di sana. Bukan, tulisan ini diketik malah jauh sebelum saya dan keluarga berangkat. Pengandaian akan banyak dipakai dan terasa dalam denyut tulisan.
Kami semua telah membayangkan akan berburu kereta api dari Medan. Lalu berebut naik mopen (metrotrans kata orang Batam). Atau malah bisa jadi, naik motor bertarung dengan bus-bus cepat lintas Sumatera yang lewat di depan rumah ibu mertua saya.
Saya telah membayangkan, kini giliran anak kedua (2 tahun 7 bulan) yang akan bertanya mengapa setiap turun dari mopen harus membayar. Sama persis seperti yang ditanya anak pertama (5 tahun 3 bulan), saat dua tahun lalu kami berlebaran di Pekanbaru. ‘’Sama om Lamsir, Udin dan Tomy tak bayar. Kok di sini bayar?” Saya yakin itu akan ditanyakan si kecil. Kalau tak terucap, pasti matanya menanyakan hal itu.
Tentu saja dia akan bertanya, mengapa kami harus berdesak-desakan dengan penumpang lain. Mengapa tak seperti di Batam, saat hanya kami sekeluarga saja yang ada di mobil milik kantor. Dan yang paling penting bagi si kecil, mengapa mobilnya tak ber-AC. Mengapa harus dibuka terus kacanya hingga rambutnya berterbangan ditiup angin?
Wuih, hal-hal seperti itu saya harap didapat kedua buah hati. Ada pertanyaan-pertanyaan mengapa begini, begitu? Malah bukan hanya pertanyaan soal mengapa harus naik pesawat, lalu kereta api, seterusnya mopen, dan motor, tapi mengapa banyak sekali saudara sepupunya? Mengapa ibunya juga kok banyak? Dan mengapa juga, ibunya kok mirip dengan ibu lain yang dia panggil? Yang terakhir maklum pembaca, istri saya kembar!
Atau juga pertanyaan lain yang tak kalah penting, mengapa nenek Kisaran tak ada datuk, kok nenek Pekanbaru masih ada datuk? Malah bisa lebih dahsyat lagi, kok nenek Kisaran merokok seusai makan? Untuk malam hari, kok banyak nyamuk di rumah nenek? Bunyi apa itu? Kodok? Kok kamar tidurnya gak ada AC?
Kami akan membiarkan kedua buah hati kami dalam lingkup beda. Tahun lalu kami berlebaran di tengah perpaduan suasana kampung dan teknologi tinggi di sepanjang Malaysia. Kami biarkan mereka bertanya-tanya sendiri.
Lantas bagi saya berdua istri apa? Tentu mudik kali ini jadi cara pengabdian kami. Menghadirkan cucu-cucu yang degil ke hadapan neneknya. Meriuhkan lagi rumah yang sepi dari suara anak-anak untuk mengeluarkan senyum dan menghapus rindunya. Dan tentu saja kata maaf atas semuanya itu.
Namun saya dan istri punya kegemaran sama, kami mengincar makanan khas Kisaran. Namanya Mieso Bacok. Itu mirip seperti bakso tapi tak pakai bakso yang bulat-bulat. Diganti dengan suir-suir ayam, yang sengaja dibacok dengan pisau besar seperti parang. Miriplah dengan soto. Tapi kuahnya rasa lain. Apalagi ini dipanaskan di tungku menggunakan arang. ‘’Kapan janji makan pempek pak raden di batam centre? Saya harus memendam lama untuk menjawab SMS ini. Hmm… (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 30-Oktober-2005, 229 Klik)
Senin, Mei 29, 2006
Perjalanan Bertanya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar