Selalu banyak yang bertanya, dari mana dapat gaya menulis seperti sekarang? Itulah yang bikin pusing. Padahal pertanyaan yang saya inginkan, mengapa itu yang ditulis, apa alasannya? Atau hal-hal lain tentang isi tulisan. Ini tak, tapi mengapa gayanya begitu.
‘’Maaf saya awam tentang tulis menulis. Tlsn abang bgs. Tp alinea pertamanya, kok bisa gt gayanya?” Salah satu bunyi SMS yang menanggapi alinea pertama pekan lalu yang memakai kata maaf di awal kalimatnya. Kalau kemudian saya bisa berkomunikasi langsung dengan sipenanya, maka panjanglah jawabannya. Sama persis, bila saya ngobral kata tentang sepak bola.
Sejak SMP saya sangat menyenangi tulisan Sumohardi Marsis. Beliau pengamat olahraga dan khususnya bola yang brilian menurut saya. Lalu saya juga jatuh cinta dengan tulisannya Sindhunata. Tapi bukan filosofi, melainkan tentang catatan sepakbolanya. Dan kemudian saya juga mengagumi hingga terngiler-ngiler dengan isi tulisan Bondan Winarno. Bukan soal investigasi Busangnya, tapi kolom Jalan Sutra-nya yang bercerita tentang makanan.
Jadi, bisa dibayangkan sendiri seperti apa pengalaman ‘’batin” saya untuk menulis. Belum lagi, saya punya kebiasaan menyimak lagu dengan syair yang dalam bukan sekedar musik. Seperti dua pekan ini, acara Eklusif di Trans TV mampu memadukan benang-benang syaraf saya untuk merenungi apa yang hendak ditulis saat ini. Pekan pertama, karya Yovie Widianto yang ditampilkan. Lalu pekan selanjutnya, lagu-lagu KLA Project. Selama dua pekan itu, serasa, Trans TV memanjakan orang-orang seusia saya, berkepala tiga.
Lagu Yovie yang saya setuju diterjemahkan ‘’membunuh hati”, maka lagu-lagu KLA ‘’meneguhkan hati”. Bayangkan saja, lagu Yovie berjudul Surat, melukiskan bagaimana tanpa dibaca pun dia yakin, surat itu sudah diketahui isinya oleh yang dituju. Lalu lagu Tak Bisa ke Lain Hati-nya KLA, menegaskan keyakinan diri untuk setia. Satu percaya sama orang, satu percaya diri sendiri setia.
Tapi saya juga suka lagu-lagunya Melly Goeslaw. Anda yang duluan jatuh cinta dengan lagunya Ada Apa dengan Cinta, akan terperangah dengan lagu ciptaan Melly untuk grup Potret. Itu lagu, selalu melukiskan yang aneh.
Berterus terang soal mendua, alias selingkuh malah ada.
Karena ‘’pencampuran” seperti itulah, jadinya seperti begini gaya tulisan saya. Belum lagi kalau saya gambarkan saya penyenang cerpennya Taufik Ikram Jamil, mantan wartawan senior Kompas. Bahkan saking senangnya dengan dia, saya banyak meniru gayanya bila membuat feature. Anda sudah nikmati hal itu berkali-kali di kolom ini, khususnya untuk alinea pertama.
Uniknya, saya tetap tak bisa melupakan ‘’ajaran formal” untuk nama-nama seperti Taufik Muntasir, Kazzaini KS hingga Rida K Liamsi yang saya kagumi tajuk rencananya. Dan tentu saja nama satu lagi, Mosthamir Thalib, peraih Adinegoro, sebuah award untuk wartawan terbaik se-Indonesia. Bagi saya, Mosthamir mirip Melly, suka ‘’selingkuh”.
Lengkap sudahkan apa yang saya punya? Latar belakang pendukungnya banyak. Namun saya meramunya, dan dengan tetap mencoba gaya sendiri. Tersebab itu, saya yakin dengan prinsip ini, yang kita lakukan semua saat ini, adalah meniru. Hebatnya banyak orang dengan berbagai ide, terus terang saya anggap juga meniru.
Karena saking yakinnya, saya sarankan pada banyak teman. Sayangnya, seorang teman yang sekarang diberi amanah tinggi di Pekanbaru, dan dipaksa untuk mencari kiat-kiat memajukan usahanya, tak mau memakai pilihan meniru saya. ‘’Bukan menirulah bpk si A itu. Kan dia mmg sering jalan ke LN. Jd terbuka inspirasinya.”
Saya tersenyum saja dengan SMS demikian. Kalimat yang justru meneguhkan, ada unsur peniruan. Dan rasanya sah saja meniru, apalagi itu baik dan tidak menyangkut hak paten milik orang. Memodifikasi dengan situasi dan kondisi sendiri itu lebih hebat lagi, asal jangan tak lari dengan peraturan yang ada.
Malah dalam sholat pun kita diminta meniru caranya Nabi Muhammad. Tak terkecuali seperti isi kiriman SMS ini. Abu Humaid Saidi: Aku ingat sholat Rosul ketika ruku diletakkan tapak tangan di atas lutut dan diratakan punggungnya (Bukhari). Karenanya, saya sangat ‘’terkejut” ada yang berani memodifikasi sholat tak sesuai aturan.
Ada niat ingin meniru sesuai aturan yang dimodifikasi, tapi tak berani melakukan, juga tak ada apa-apanya. Berani meniru, action, siap untuk dicaci maki, itulah yang hebat dihadapi. Contohnya saat ini ada yang mudah. Lihatlah, sebuah media cetak Jakarta, dari sebesar koran biasa, kini ukurannya tabloid. Ukuran koran harian di Eropa dan Amerika sana. Meniru juga! Berhasilkah dampak tiruannya? Tunggu saja! (pernah diterbitakan di Batam Pos di kolom SMS Hati, 2005)
Senin, Mei 29, 2006
Manusia Meniru
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar