‘’Udah ketemu bahan tulisan pak? Apa temanya lagi? Adakah isi curhat lagi? Sesekali tulis dong soal PS Batam, BBM atau valas”
SAYA benar-benar buntu. Saya membayangkan banyak hal yang akan terjadi minggu depannya – Insya Allah saya ke Pulau Natuna— yang diyakini mantap untuk bahan tulisan. Tapi deadline minggu ini bukan minggu depan. SMS pemicu inspirasi agar jari mengetik juga tak muncul. Jadi benar-benar membuat saya ‘’mati”.
‘’Selamat atas peresmian Graha Pena Batam yang sangat membanggakan itu. Kami ni apalah di Pekanbaru, tak ada lagi yang dibanggakan. PSPS pun dah keok.” Atau SMS ini saja jadi bahan dasar pijakan saya. Waduh, tak semua orang ngerti bola. Tak semua tahu apa itu PSPS Pekanbaru. Meski itu klub bola terkaya di Indonesia. Yang telah dipastikan harus tereliminasi dari divisi utama ke divisi I.
‘’Bang, bagaimana itu. PSPS kok bisa degradasi.” Walah, mirip lagi SMS-nya. Soal bola juga. Si pengirim ingin menggelitik saya berkomentar. Tapi tuts-tuts keybord handphone tetap tak saya tekan. Tak mampu, bak ‘’mati rasa”.
Saya hanya membayangkan saat sejak tahun 1991 ketika Riau Pos mulai terbit, saya mampu mengisi kolom halaman 1-nya mengulas PSPS yang kala itu masih di divisi II Riau bukan nasional. Saya gambarkan, membeli Maradona pun sanggup bagi Riau yang kaya minyak, apalagi untuk sekedar mengontrak pemain terbaik di Indonesia agar bisa lolos ke jajaran elit sepakbola nasional. Karena tulisan itu, malah jadi ditarik sebagai reporter olahraga Riau Pos. Hingga PSPS akhirnya ke Divisi Utama sejak 1999, saya sudah tak reporter lagi, meningkat karir hingga posisi saat ini.
Jadi, yang tahu saya mengawali karir jurnalistik dengan liputan PSPS, merekalah yang kemudian mengirimkan dua SMS di atas. Di banyak pertemuan yang tahu dengan hal tersebut, saya juga dipertanyakan. Sebaliknya, saat saya berjumpa dengan Walikota Pekanbaru, Herman Abdullah pada acara peresmian Graha Pena Batam, 28 Agustus lalu, soal PSPS juga saya tanya ke beliau.
Jawabannya, sungguh mengejutkan hati. Juga tak pantas saya eksposkan, karena bisa disalah tafsirkan bagi yang tak mengerti. Kapasitas saya bertanya pun bukan wawancara. Saya pendam dalam hati. Tapi saya puas, karena mendapatkan jawaban dari Ketua Umum langsung tim tersebut.
Saya membayangkan, betapa sedihnya mereka yang dulu merintis PSPS untuk merangkak ke divisi utama. Bahkan mantan Ketua Umum itu pun sempat juga berkunjung ke Batam dalam kapasitasnya sebagai pejabat salah satu departemen pemerintahan SBY, Agustus lalu. Sayang saya tak bisa menemuinya. Karena tahu pun dia di Batam, itu pun setelah baca koran. Mungkin akan terpuas hati saya, bila tahu apa opininya tentang tragedi yang menimpa PSPS.
Namun saya berkesimpulan, apapun yang terjadi saat ini, sepertinya mempertahankan memang lebih sulit dari merebut. Mempertahankan ada koneksitas dengan histori. Ada beban tanggungjawab moral kepada pendahulu. Mempertahankan ada juga dampak psikologis pada budaya yang diterapkan. Mempertahankan juga punya konsekuensi dana dan tenaga lebih besar. Ini terjadi di banyak hal kehidupan, bukan hanya sepakbola.
Selain itu satu hal yang selalu diajarkan bos saya, mungkin pantas direnungkan. Jangan lupakan historis tempat kita bekerja sekarang. Terutama orang-orang pendahulunya. Jangan hilangkan semua jasa-jasanya dalam memori arsip kita, apalagi perilaku kita yang hingga kini masih dipercaya untuk mempertahankan apa yang telah diperjuangkannya.
Itu penghormatan kita kepada mereka. Tapi mereka dari mana semua dan mahluk siapa? Karena itu lebih pantas lagi direnungkan kiriman SMS firman Allah ini. Kalau tidak kita akan benar-benar mati dalam tanda petik, sedangkan deadline kematian sebenarnya memang sudah dekat pada usia kita masing-masing. ‘’Dan janganlah kamu seperti orang2 yg lupa kpd Allah, lalu Allah menjdkan mrk lupa kpd diri mrk sendiri. (QS.59:19).” . (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 11-September-2005, 295 Klik)
Senin, Mei 29, 2006
Jangan Melupakan Diri Sendiri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar