Saya termasuk orang paling beruntung. Asli Melayu, punya logat Minang dan beristri orang Sumatera Utara. Jadi, bila dibawa ke mana-mana, bisa dimanfaatkan semua. Setidaknya untuk mengawali percakapan.
‘’Abang ini istrinya orang Kisaran, marganya Nasution.’’ Begitu suatu kali, saat saya diperkenalkan dengan pengecer dan agen koran yang berasal dari Sumatera Utara. Di lain waktu pula, si teman akan ngomong begini saat berkumpul dengan mereka yang berasa dari Sumatera Barat, ‘’Abang ini dari Pekanbaru, pandai juga bahasa Padang.’’
Meski saya sama sekali tak ngerti bahasa Batak ataupun Mandailing – begitu juga istri, karena lebih banyak ‘’darah jawanya’’ -- saya pura-pura ngerti saja. Tapi untuk bahasa Minang, kalau bukan yang halusnya saya paham. Betapa tidak, tetangga sekeliling di Pekanbaru mereka semua isinya. Bahkan kalau mereka panen padi di Payakumbuh, maka beras kami pun berubah itu karena mendapat kiriman oleh-oleh juga.
Jadi di mana Melayu saya? Itulah yang jadi soal, saya sangat susah becakap Melayu bila tak ada ‘’lawan’’ yang benar-benar Melayu. Tapi di Batam, saya punya satu mentor yang mengembalikan Melayu saya. Walau demikian, saya selalu ‘’memaksakan’’ harus tak sepaham dengannya, utamanya cara memandang dari sisi marketing.
‘’Sy sdh tanya bbrp agen ttng kmkn ada mjlh di btm. Jwbnya, kalau yg itu jg nerbitkn sama aja isinya, btknya saja beda. Bgt salah satu jwbn mrk.’’ Ini bukan dia yang SMS, justru saya. Terus terang saya berharap dibalas dengan SMS juga. Nyatanya tidak. Dikirim sore hari, dijawab setelah waktu Isya, perlisan. Kali ini, ngobrol kami tak terlalu panjang. Hingga tak perlu memenatkan tangan dan memanaskan telinga yang kabarnya bisa merusak urat syaraf .
Uniknya, justru pertemanan kami makin akrab, justru tidak pada kami ‘’berseteru’’ karena membuat produk sama dan harus dijual dengan gaya marketing sama. Ada apa? Entahlah. Yang pasti saya tetap mengaguminya. Karena itu, gaya hidup saya pun seperti mulai mengikuti dirinya. Salah satunya, beristri bukan orang Melayu. Kalau saya dapat sesama Sumatera, dia Jawa.
‘’Kang ade, adakah marwah anak negeri hilang krn sepiring nasi saat makan siang, sbg pendatang saya melihat rasa memiliki marwah yg tlh luntur. Maaf ya kang!’’ Saya jadi kepikiran dengan SMS ini. Jangan-jangan nama saya identik dengan orang Sunda, karena itu dipanggil kang. Diantara prediksi, saya balas SMS-nya, Insya Allah saya tidak.
Lalu dibalas lagi,’’Kang ade, saat saya ngobrol dng …bbrp waktu lalu, saya katakan …’’ Maaf, saya tak sebutkan isi titik-titik tersebut, karena menyangkut nama sfat khusus pejabat tinggi negeri ini. Yang jadi fokus saya, sungguh bahagia juga akhirnya dipanggil kang. Tegasnya, ada ‘’naturalisasi’’ pada diri saya. Meski saya terkadang, ‘’loyo’’ hati juga dipanggil mas di beberapa tempat. Tapi akhirnya mau tak mau, semuanya – kang, mas atau pakde -- jadi sesuatu yang sama saja dengan panggilan abang.
‘’Mas Jun ulang tahun. Yang SMS tadi, Andi.’’ Andi keponakan saya di Pekanbaru. Mas Jun, ipar saya. Dari kiriman SMS ibu saya itu, tanpa terasa, memang wajar saya terbiasa dengan kata-kata mas, karena sudah 13 tahun saya menyebutnya.
****
‘’Udah diterima bukunya?’’ Walah mak, saya jadi malu sendiri dengan pengirim SMS ini. Betapa tidak, dia justru lebih duluan baca buku ESQ Power karangan Ary Ginanjar Agustian ketimbang saya yang muslim. Lebih parah lagi, saya perlu waktu satu bulan untuk menyelesaikan ke halaman terakhir.
Dan seperti yang ditulis di buku tersebut, justru bukan orang muslim yang telah banyak menerapkan ilmu ESQ. Terakhir ini juga saya baru tahu, si pengirim SMS tadi setiap musim haji, dua karyawannya diberangkatkan dengan biaya perusahaan. Pakai sistem undian, kocok kertas. Siapa yang keluar namanya, dialah yang berangkat. Meskipun karyawan tersebut, agak ‘’nakal’’ dan ada pula yang baru saja frustasi, putus cinta. Hebatnya, dampaknya sepulang haji, luar biasa. Alim semua!
‘’Bekawan, bekawan juge, tp hrs hati-hati.’’ Banyak yang menasehati saya seperti itu. Di Batam saya menemukan banyak keberagaman. Di Batam saya menemukan seluruh warga nusantara dari Sabang hingga Merauke. Di Batam saya juga banyak menarik pelajaran tak terhingga, termasuk seperti SMS kiriman Alquran Seluler ini: ‘’Abu Hurairah ra: Sabda Rasul: Lihatlah org yg dibawahmu & jgn lht yang di atasmu, agar kamu tidak remehkan nikmat yg Allah berikan pdmu (M)’’ (pernah diterbitakan di Batam Pos di kolom SMS Hati, 2005)
Senin, Mei 29, 2006
Berkawan Ragam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar