APA rasanya punya dua gadis kecil, sulung usia 5 tahun tiga bulan dan si kecil 2 tahun 7 bulan? Lucu dan membuat kita digelari “ayahku badut”.
Itu yang saya alami. Sama saja rasanya, dapat anak lelaki atau perempuan. Tiap malam juga bisa smackdown. Sungguh, saya beda pandangan dengan mereka yang tetap menginginkan sepasang. Enak ya, De, dapat anak perempuan. Aku ingin perempuan, yang dapat laki-laki terus.
Tersenyum geli baca sms yang diterima 10 bulan lalu. Padahal yang saya dapat justru tetap sama dengan pertama, perempuan. Tak jua sepasang. Saya hanya tersentuh menyangkut perempuan atau lelaki ketika solat jumat saja. Bila datang bisa membawa anak lelakinya ikut ke masjid, saya tidak. Bahkan saat solat Idul Adha lalu, berpisah dengan sulung, karena dia harus berada di shaf perempuan.
Kembali ke ayah badut, dalam buku Menjadi Ayah yang Sukses, memang harus itu yang terjadi. Kata pengarangnya, Adil Fathi Abdullah yang mengutip banyak hadis, seorang ayah mesti serba bisa. Termasuk juga bisa puisi, prosa dan lain-lain yang sifatnya menghibur. Cuma tak di tegaskannya saja jadi badut.
Saya sendiri merasa tak lucu, apalagi di depan 80 karyawan yang lebih dua pertiga waktu harus dipikirkan.Kadang, “memaksa” wibawa, padahal ingin apa adanya. Makanya, kini sangat tak ingin terlalu dekat dengan 80 karyawan itu diluar jam kantor. Termasuk untuk acara keluarga yang digelar kantor. Lebih menikmati liburan dengan yang lain saja. Bayangkan saja, acara liburan harus tetap wibawa?
Tapi sungguh senang digelari anak sendiri, badut. Ayah kayak badut. Ayah tak boleh ke Lombok lagi. Nanti capek. “Si sulung saya, menyampaikan hal itu dengan merengut suatu ketika. Tapi disaat lain, dia akan mendatangi badutnya untuk merebahkan kepalanya dilengan sang badut, lalu tertidur pulas. Begitu setiap malam.
De, tak usah perpanjang kontrak aku. Aku mau bawa anakku berobat ke Surabaya. Kalau diperpanjang nantimemberatkan perusahaan.
Penyelesaian yang bagus bagi saya. Angka 80 telah berkurang1. Selesai juga program menghapus KKN, karena karyawan ini adalh teman satu kuliah. Tapi juga sedih. Dia kini harus memasrahkan diri untuk benar-benar jadi ayah badut bagi anaknya yang autis. Ia harus bisa mendampinginya bukan sekedar kata setiap hari, melainkan setiap detik. Siap jadi badut, yang ikhlas bergembira meski hati sendiri sedih. Pertengahan Februari ini harus ternang dari Tanjungpinang menuju Surabayayang kabarnya punya klinik autis terbaik di Indonesia.
Saat tulisan ini dibuat, terus terang air mata ingin keluar. Membayangkan hanya janji yang bisa diberikan ketika bermaksud mencarikan buku tentang autis di Gramedia Batam. Apatah lagi membayangkan perjuangan menjadi ayah badut pada anak yang susah ditebak emosinyatersebut. Beda dengan saya, yang bisa benar-benar dianggap dan berprilaku seperti badut oleh dua buah hati – apalagi perut saya yang makin tambun – hingga terkadang capek sendiri.
Sungguh hebat, si teman dari tanjungpinang itu berjuang demi anaknya. Tak ada apa-apanya dengan saya yang hanyabisa bersikukuh di hati, melaksanakan SMS kiriman alquran seluler ini: Rosulullah bersabda: Warisan bagi Allah Azza wajalla dari hambaNya yang beriman adalah putra-putri yang sholeh (beriman pada Nya) (Aththahawi). Persepsi saya, ternyata, Allah tak membedakan laki-laki dan perempuan, punya kesempatan sama! Dia hanya menginginkan kita menjadikannya anak yang sholeh. Entah dengan cara kita jadi badut, atau tidak. Terserah!*** (pernah terbit di Posmetro Batam, dan Batam Pos , www.harianbatampos.com, Minggu 17-Oktober-2005, 402 Klik)
Senin, Mei 29, 2006
Ayahku Badut
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar