Kota ketiga dalam hidup saya, Batam. Kedua, Bukittinggi. Yang pertama, Pekanbaru dan pekan lalu saya sempat tiga hari di sini. Mencari inspirasi dengan menelusuri gang, jalan, dan mall-mall yang pernah dilewati. Apa yang didapat? Kerisauan!
Bayangkan saja, ternyata kota yang lima tahun lalu saya tinggalkan kini jadi sangat sibuknya. Di mana-mana jalanan macet. Di hari kedua sekolah, 19 Juli 2005, tetap saja kendaraan merayap. Tapi uniknya, tak terlalu heboh seperti kalau di Batam. Bunyi klakson bertalu-talu tak terdengar. Yang ada kesabaran pengendaranya.
Lah, di mana kerisauan saya? Ya, kalau terjadi di Batam, macet sedikit saja bunyi klakson minta ampun. Mobil pun jadi malang melintang di tengah jalan, menambah kekacauan. Apatah lagi kalau polisi lalu lintas tak ada. Wuih, kerisauan saya bisa jadi benar-benar nyata. Bayangkan saja, saat hari pertama sekolah 18 Juli pagi, dari Tiban via Simpang Jam menuju Graha Pena saja perlu waktu 30 menit yang biasanya hanya 15 menit.
Kerisauan saya yang lain, menyangkut sekolah. Pekanbaru yang begitu banyak sekolah negeri berkualitas saja, perlu susah untuk mendapatkannya. Apalagi di Batam yang sepertinya ‘’ada yang lain” lebih berkuasa. Saya jadi berfikir bagaimana gadis kecil saya tahun depan mau masuk SD, umurnya nanti pas enam tahun, tahun ini saja, banyak anak seumur segitu tak tertampung. Apakah pendidikan TK-nya harus tiga tahun?
Dalam cucuran kerisauan itu, saya menasehati keponakan laki-laki yang pulang tersedu-sedu ke rumah neneknya (ibu saya). Dia naik ke kelas 2 SMP, tapi tidak dapat kelas unggulan, 2 A hingga 2 C melainkan 2 K, alias kelas nomor 11, paling bontot yang katanya berisi ‘’preman-preman”. Padahal dia di kelas 1 juara pertama, dan ikut tes pula untuk penentuan kelas unggulan tersebut. Saya berfikir, justru bagus di bukan kelas unggulan, agar lempang jalan kita untuk juara. Orang-orang terkaya di dunia dan Indonesia saat ini pun, bukanlah yang juara kelas, malah drop out. Sebut saja Bill Gates dan Bob Sadino. Begitu nasehat saya.
Ayahnya pun saya ‘’peringatkan”, jangan bikin makin stres anak. Tapi neneknya, tak bisa saya begitukan. Takut kualat. Malah neneknya mendatangi para pimpinan sekolah (kebetulan teman-teman beliau semua), minta penjelasan mengapa bisa terjadi demikian. Setelah dapat informasi, bahwa sekarang ada penyebaran bagi yang juara di berbagai kelas, barulah tersadar.
Adik saya yang di Batam juga dikabari ibu tentang situasi keponakan tersebut. Jawaban SMS-nya begini. ‘’Tak apalah, dulu om juga tak kelas unggulan, enak lagi bisa dapat ranking. Tak stres pula.” Nah, bukan saya saja yang merasa lebih nikmat berada di luar orang-orang hebat. Saya hanya sempat berada ‘’dilingkup stres” itu waktu kelas 6 SD. Wuih, orang-orang pintar semua – para juara sejak kelas 1— mau rangking 10 saja, rasanya seperti juara pertama.
Ternyata, saya hanya pandai ‘’menasehati”, diri sendiri lain pula pengalamannya. Saat saya telepon ke Batam, gadis kecil saya yang angkat. Dia baru pulang sekolah, tapi tak tahu ibunya ke mana. Saya rasakan itu dahulu. Kalau pulang ke rumah, ibu tak ada, capek itu memuncak bukan hilang. Rupanya baru tahu ketika ada kiriman SMS begini,”kami ke rumah sebelah, dengan ibu-ibu wali murid TK.” O…, semuanya membicarakan sekolah juga rupanya.
Malam harinya, nasehat untuk menghilangkan stres keponakan berlanjut. Kali ini di sebuah mall baru, Mall Ciputra Seraya. Keluarga yang di Pekanbaru pun belum pernah ke sana, termasuk keponakan yang ‘’bermasalah” dengan kelas unggulan tersebut. Ini baru konsep mall sesungguhnya menurut saya, tak bikin stres mengelilinginya. Dari lantai paling atas, kita bisa melihat aktivitas di lantai paling bawah. Satu lantai itu pun mudah untuk cuci mata, karena kalau satu lantai jual sepatu ya, sepatu saja. Satu lantai jual baju dalam wanita, ya…itu semua.
Pekanbaru juga tak terlalu gelap gulita seperti keinginan SBY agar berhemat energi. Lampu-lampu hiasnya, jauh lebih bagus mereka ketimbang Batam. Padahal, kita mudah saja menyeberangi Singapura. Kabarnya, lampu di Pekanbaru itu dibeli di sana. Yang kita dibeli di mana? Kok, jauh sebelum anjuran SBY, justru sering tak hidup?
Di salah satu lampu hias Jalan Sudirman, mata tertumbuk pada papan sebuah biro perjalanan. Mobil travel istilah di sana, yang dulu selalu mengangkut saya ke Bukittinggi. Kota yang mempertemukan saya dan istri, dan setelah menikah, tak sekalipun pernah kami singgahi lagi. Karena, kota pertama bagi istri saya Kisaran, tempat kelahirannya. Jadi kalau pulang Lebaran, Pekanbaru dan Kisaran yang kami datangi.
”Apa kabar pku, pak? Kpn pulang, tak ada teman diskusi nih.” Ini yang bikin rindu balik ke Batam. Masuk lagi dalam komunitas ‘’pemimpi” untuk sebuah kota yang disebut paling dinamis. Saya pejamkan mata, meyakini kota ini adalah harapan. Meski harapan itu tetap akan dibayangi banyak kerisauan… (Batam Pos danwww.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu 24-Juli-2005, 197 Klik )
Senin, Mei 29, 2006
Kota Kerisauan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar