Maaf pembaca, kali ini yang Anda baca bak buku harian saja. Saya terbiasa lain sendiri. Tak terkecuali punya pendapat beda dan visi berbeda memandang sesuatu. Bahkan ibu, bapak, adik atau istri saya pun sering tak sefaham.
Dulu saat SMP, saya sendiri yang bila ditraktir teman yang berpunya, tak beli rokok. Yang saya minta hanya roti. Ketika mau daftar ke SMTA, banyak yang pilih SMA favorit, saya justru pilih SMEA. Padahal, Nilai Ebtanas Murni (NEM) saya, bisa masuk sekolah favorit mana saja.
Ketika banyak teman-teman SMEA saya langsung cari kerja, saya beranikan ikut UMPTN. Menjawab pertanyaan fisika dan kimia yang justru tak pernah saya pelajari lagi, eh, saya lulus juga ke fakultas ekonomi.
Tak terkecuali saat memilih karir. Tanpa ‘’sengaja” saya jatuh ke jurnalistik. Tak ada dalam sejarah keluarga saya profesi itu. Bahkan saya survei seisi kampung kelahiran saya, sayalah orang pertama jadi wartawan.
Orang lain pilih jadi wartawan perkotaan dan ekonomi, saya sendiri pilih reporter olahraga. Padahal, saya sudah kuliah semester lima jurusan manajemen saat itu. Saya jadi aneh sendiri, yang sangat asyik dengan dunia itu. Teman-teman ‘’bergelimpangan” souvenir dari pengusaha, saya hanya dapat baju kaos. Malah terkadang, teman wartawan ekonomi yang dapat baju kaos karena dia ikut jumpa pers di hotel, eh, tiba meliput event itu, saya yang reporter olahraga bertungkus lumus dengan terik matahari dan debu.
Sama juga dengan ‘’pilihan” gaya hidup sekarang. Teman-teman yang ‘’berkuasa” punya usaha sampingan. Saya hanya makan gaji tok. Makanya, malah kerabat sering menyentil. Yang lain punya ini, kok masih yang itu. Atau, percuma punya jabatan tinggi, tapi adik dan sanak famili banyak yang nganggur. Bahkan hingga 13 tahun lebih saya meniti karir, adik kandung saya masih jadi pengangguran.
‘’Bang, besok ada arisan kampung di tj uma, rumah bang bujang. Datang yo?” SMS ini serasa menyesak di hati, di tengah keramaian, saya merasa sunyi. Tak pandai saya membagi waktu lagi. Terkadang, bila acara itu tepat di hari libur atau minggu, tak tega hati nak memaksa supir lepaskan off-nya. Itulah, kekurangan saya, tak pandai nyetir sendiri!
Tapi terkadang, dengan gaya lain sendiri tersebut, banyak hikmahnya. Salah satunya, saya mudah menghadapi ‘’lawan” dengan strategi bisu. Karena saya memang tak bereaksi apa-apa melawan. Saya tahankan diri, larut dalam keyakinan akan ada yang membantu saya dalam bisu tersebut. Ada pakar yang nyelutuk, gaya itu mirip Mahatma Ghandi.
Entahlah, yang jelas saya bukan pengagum Ghandi, melainkan kagum dengan pernyataaan big bos saya. ‘’Pemimpin yang baik, ketika diberi batu, batu itu dipolesnya jadi mutiara.” Mungkin karena terus dikasih ‘’batu”, dan memberikan ‘’kesempatan” pada ‘’batu” berkreasi dan beropini dengan bebas lalu akhirnya hebat, ‘’batu” itulah yang jadi penolong saya.
Tersebab itulah, makanya saya selalu menjadi yakin dengan kenyataan ‘’batu” tadi. ‘’Beruntunglah awak tu, sudah dipercaya dengan amanah seperti sekarang ini.” SMS ini, jadi salah satu bagian, yang membuat saya arogan bahkan pongah. Belum lagi, ada peramal ulung kelas satu negeri ini pernah ramalkan saya demikian,”Kamu ini adalah orang yang selalu beruntung. Ada saja yang bantu. Ada dewa penolong di belakangmu yang tiap hari mengikuti.”
Siapa yang tak mulai berdebar hatinya, bila yang mengucapkan itu orang kelas wahid? Sempat pegang tangan. Lihat mata, lihat hidung saya. ‘’Lebih pantas kalau pakai kacamata,” timpalnya pula.
Di lain waktu, saya berjumpa dengan pengusaha nomor satu kota Batam. Ucapan pertamanya pada saya, sama persis dengan peramal tersebut. ‘’Ada orang yang siap menolong kamu terus. Ada sesuatu di belakang punggungmu. Apalagi hidung kamu, pembawa keberuntungan. Bakal sejahtera kamu.”
Karenanya, ketika omongan orang-orang tersebut satu persatu menjadi nyata, maka aroganlah saya. Di tahun 2004 arogan itu mencapai puncaknya, hingga berani mengambil keputusan yang tak terpikir oleh orang sama sekali. Apalagi itu menyangkut menjatuhkan harga diri institusi dan teman-teman saya sendiri. Tapi saya lakukan. Lalu, akhirnya tersadar. Saya langsung membuat surat pernyataan siap mundur untuk mempertanggungjawabkannya kepada big bos.
Tapi apa lacur, ya, seperti dewa keberuntungan selalu mengikuti, eh, justru saya makin melambung. Sayang, lambungan itu, kembali membuat arogan. Beberapa kesalahan vital dilakukan lagi, dan kini saya harus menikmati kembali debaran hati yang berdegup kencang. Adakah keberuntungan?
Anehnya, saya tetap bisa makan enak, tidur pun nyenyak. Mungkin karena yakin, kesalahan itu karena ketololan bukan mau mengakal-akali agar dapat komisi atau persenan. Mungkin juga, karena saya mudah percaya pada siapa saja, dan kalau sudah begitu, saya tak bertanya kanan kiri lagi. Bila pikiran seperti ini, terus terang, saya memang belum lepas dari sifat arogan.
Mungkin saya harus meneguhkan diri untuk bersabar agar lepas dari arogan. Tersebab itu, saya terbiasa membayar tagihan telepon, listrik, air, HP atau KPR sendiri. Saya belajar sabar berantri. ‘’Sy ga pnah ngantri lho pak… hehe. Ada staf bank yg urusin. Bpk jg hrsnya gt. Apalg mrk tau status bpk.”
Saya balas SMS tersebut dengan menyatakan, belajar jadi orang biasa. Biasa sabar menanti giliran nomor antri dipanggil agar terbiasa ketika aliran roda ke bawah, tidak di atas saja, saya siap. Membiasakan belajar seperti kiriman SMS berikut: ‘’Sabda Rosul: Orang mukmin bila mendapat kesenangan ia bersyukur, bila ditimpa musibah ia bersabar.”
Maaf pembaca, sepertinya Anda harus terbiasa tidak mencerna dengan serius bualan-bualan saya ini. Maaf! (pernah diterbitkan Batam Pos dalam kolom SMS Hati di hari Minggu 2005)
Senin, Mei 29, 2006
Bualan Arogan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar