Mohon maaf, kali ini banyak berbau promosi! Tersebab, saya masih hanya ‘’bisa makan nasi’’. Saat di Singapura berdua istri 23 April lalu, tak terbayangkan susah mendapatkannya, meski di restoran milik bangsa sendiri.
‘’Slmat bulan madu kedua. Jgn lupa jln ke esplanade stlah capek dari Bugis.’’ Gara-gara petunjuk SMS inilah yang bikin penat badan, sekaligus lapar. Betapa tidak, berkali-kali keliling di kaki lima Kampung Bugis. Cuci mata melihat barang-barang yang dijual warga Singapura. Dari pakaian, peralatan dapur hingga ramal rajah tangan. Dan paling unik bagi saya, ada tukang jual obat. Persis yang biasa saya lihat di depan BCA Jodoh, bawa ular segala. Lebih kerennya, si pembual obatnya, wanita.
‘’Di dpn Seiyu, Bugis Jungtion setelah menikmati air mancur yang lompatannya tak terduga, ada Wisma Al Sagoff. Hati-hati, supir taksi bnyk tak tahu tempat ini. Nah nikmatilah sajian masakan asli Indonesia, Es Teler 77 di serambinya.’’ Ini petunjuk lain, bukan dari SMS melainkan sebuah blog di laman maya yang saya buka. Sengaja khusus diprint dan dibawa ke mana-mana selama di negeri pulau itu.
Perut mulai melilit, saat jam di HP menunjukkan pukul 09.45, yang berarti jam 10.45 waktu Singapura. Kepingin ganjal perut sebelum makan siang, maklum di Batam kepagian sarapannya. Kok aneh, Es Teler 77 banyak bahasa Mandarinnya? Kok ada kata Taiwan, bukan Indonesia? Nyaris menikmati makanan tak halal, hanya karena terkecoh sisa tenda Es Teler 77 masih dipakai pengelola baru restoran. Terlebih lagi saat mau pesan menu, pelayan dan bosnya sama sekali tak ngerti bahasa Indonesia.
‘’Jgn lupa jg ke Lucky Plaza. Naik ke lt 4, belok kiri. Di situ ada Ayam Penyet Ria. Bila beruntung Anda berjumpa pemiliknya Edy Wijaya.’’ Ini petunjuk lain yang memang kami incar, untuk makan siang. Tepat jarum jam istri menunjukkan pukul 10.30 berarti 11.30, kami sampai. Pintunya terbuka setengah. ‘’Jam 12 buka,’’ ujar seorang berwajah melayu. ‘’Jam 12 Singapur atau Batam?’’ tanya saya iseng. Dia tersenyum.
Kami pun pergi, tapi saya sempat melirik, kok sudah ada beberapa orang duduk di dalam restoran itu? Saya yang yakin orang Singapura dan seluruh orang bekerja di sini akan disiplin waktu. Maka tepat pukul 12 sana, kami beranjak kembali dari lantai 1 ke lantai 4. Alamak, tepat pukul 12.05 tiba, seluruh tempat duduk telah terisi semua. Siapa mereka? Rata-rata yang satu fery dengan kami saat berangkat pukul 07.40 pakai Penguin dari Sekupang!
Semuanya memburu nasi! Tampak orang antri ke meja kasir, saya dan istri juga antri. Padahal kami bingung, dari mana mereka dapat secarik kertas bertuliskan menu dan menandai dengan pensil, lalu membayar ke kasir yang saya tahu kemudian dialah Eddy. Pak Eddy, tahu kami bingung diberikannya secarik kertas. Istri saya menandai dua porsi ayam penyet, satu es teler dan satu es campur. Pecel lele yang saya minta ternyata tak ada. ‘’Lele tak ada, yang ada bawal. Semua 15 dolar,’’ jawab Eddy.
‘’Tempat duduknya mana? Jadi udah bayar berdiri?’’ kata saya lugu. Walah, rupanya harus dapat tempat duduk dulu, baru ambil kertas berisi menu dan pesan. Tapi untung, keluguan itu yang bikin Eddy carikan kami meja. Meja yang berbeda dengan yang lain karena bukan dari kayu melainkan aluminium tampaknya. ‘’Tak ada meja lagi. Yang mana,’’ kata karyawannya Eddy yang pertama kali mengingatkan buka jam 12.
Entah dicari di mana, jumpa juga. ‘’Ini namanya meja istimewa. Tak ada nomor, jadi pakai kode AA saja,’’ ucap Eddy sambil membersihkannya dan meninggalkan meja kasir, di mana yang lain antri. Saya jadi menyesal lihat Eddy begitu ramah, mengapa tak 11.30 tadi kami masuk saja, dan saya tentu bisa wawancara?
Jadilah saya berdua istri menikmati ayam penyet. Nasi di piring terpisah. Ayam penyet, tahu, tempe, lalapan kol dan timun di piring kayu. Wuih…ternyata sambalnya pedas sekali, namun nikmat. Dan kami tertawa berdua sambil menyeka mata dan hidung. Mentertawakan diri sendiri. Banyak bertebaran Ayam Penyet Ria di Batam bahkan sampai buka cabang di Tiban tak jauh dari rumah – hingga tutup – belum satu pun kami datangi. Justru di negeri orang diburu. Dan kami menikmatinya, disamping sudut meteran listik berwarna merah – mungkin travo—yang kabel-kabelnya tampak, dengan tas yang tetap saya sandang.
Dalam usapan kepedasan, kami harus meninggalkan tempat segera. Banyak yang antri dan ‘’ngincar’’ meja kami sejak dilayani spesial oleh Eddy. Kulit dan mata mereka tak sama dengan saya yang hitam. Putih dan bermata sipit. Bahasa pun bukan melayu atau Indonesia. Ternyata, penikmat Ayam Penyet Ria dari kalangan lain juga. Saya bangga jadi orang Indonesia!
Meski kebanggaan itu baru tersadari ‘’agak luntur’’ karena mata uang kita hari itu sudah mulai melemah. Saya yang selalu mengalikan dolar singapura dengan 5.500 bahkan 5.400 ternyata sudah 5.700 hingga 6.000. Bahkan di dalam papan penunjuk kurs di money changer yang ada di Harbort Front, kurs rupiah diletakkan paling bawah. Padahal, fery yang berlabuh di sana justru lebih banyak Batam-Singapura pulang pergi yang notabene orang Indonesia, atau setidaknya bertransaksi rupiah.
***
‘’…marwah n harga diri org sulsel sangatlah tinggi, habibi dilengserkan lsg demo, org melayu? Jng kan dibela, maju pun malah mau digembosin!…’’ SMS ini saya terima 26 April 2005 pukul 08:29;03. Tak saya tanggapi segera. Saya menduga, ini terkait dengan omongan Syarwan Hamid: Putra Daerah Harga Mati, Titik! Yang terbit 24 April 2005 di Batam Pos, dan sedikit-sedikitnya terkait dengan kebanggaan saya dengan Ayam Penyet Ria.
Saya yakin, belajar dari Ayam Penyet Ria, sedikit demi sedikit, melayu akan bangkit dengan keunikan ‘’kepedasannya’’. Persis, bak zaman dahulu, ketika Hang Tuah, Hang Jebat hingga Hang Nadim menguasai Bintan, Malaka, Singapura dan Batam. Dan ingat, Ayam Penyet Ria besar terlebih dahulu di Batam, baru merayap ke Jakarta dan Singapura. Sejarah biasanya berputar dan terkadang kita menyadari kehebatan bangsa sendiri di negeri orang! (pernah diterbitkan di Batam Pos dalam rubrik SMS Hati)
Senin, Mei 29, 2006
Pedasnya Ayam Penyet Ria
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar