Belakangan ini, jantung saya sering berdebar bila mendekati jam makan siang. Takut tak ketemu nasi. Maklum, banyak yang ngajak makan siang, restorannya belum pernah saya datangi. Meski makan apa saja bisa, bila tak ada nasi, itu yang bikin sakit maag kambuh.
‘’Bisa gak makan siang dipercepat? Sebelum jumatan ini.’’ Ini salah satu SMS yang diterima. Sayangnya, saat itu lagi sibuk-sibuknya membuat persentase untuk laporan triwulanan. Pikiran saya hanya satu, solat Jumat dekat masjid di rumah saja, pulangnya singgah ke mini market lalu beli eskrim. Terlanjur janji dengan dua buah hati.
Di lain waktu, ada pula yang bikin janjian ketemu, tapi saya harus bersabar dua hari untuk menunggu waktunya. Makan siang atau tidak, ya? ‘’Bpk A ingin berkenalan dg bpk. Beliau punya jadwal senin, pak ade bisa?’’ Walah mak, hari Senin. Saya ragu dengan hari ini untuk berenjoi-enjoi. Padahal, istri saya juga suka ngajak nomat (nonton hemat) di Bioskop 21 pada hari itu, selalu ditolak. Senin, justru hari sibuk. Rapat dan evaluasi lihat kinerja sepekan, itu yang dijalani.
Akhirnya, jadilah janjian hari Senin dengan Bpk A. Saya diminta datang jam 10. Dikebut rapat di kantor jam 9, agar selisih waktu 15 menit bisa dijangkau. Apa lacur, rapatnya justru seru. Dan sampai di kantor Bpk A, tepat pukul 10.35 WIB. Berbual-bual., akhirnya, lewat juga jam 12.30. Tak ada makan siang, hanya secangkir teh manis yang tak habis-habis saya hirup.
Meski demikian, saya dapat kalimat yang bagus darinya, belut dalam oli. Ini bagi saya peribahasa baru, selain pandai berminyak air. Tapi ini belut, yang sudah licin, bisa pula hidup dalam oli yang memang licin. Bagaimana sih membayangkannya?
‘’Sama aja semua. Aktivis n birokrat korup juga. Tuh buktinya mulyana.’’ Betul juga pengirim SMS ini. Belum lagi nama Farid Faqih. Memang belum terbukti di pengadilan, tapi kredibilitas mereka sudah jatuh di mata masyarakat. Lalu juga, makin mencibirlah banyak orang pada kredibilitas teman-teman seperjuangan mereka.
Ini yang belut? Kelihatan pandai berkelit, nyatanya bobroknya terbongkar saat zaman sudah reformasi tujuh tahun? Ataukah bisa juga belut dalam oli, kita tujukan kepada yang tiba-tiba ingin maju di pilkada? ‘’Ass. Mhn bimbingan dan nasehatnya serta doanya, saya diamanahkan oleh … utk menjadi pelayan masyarakat sbg calon bupati …, wass.’’ Titik-titik tersebut nama partai dan kota/kabupaten, sengaja saya rahasiakan. Tapi ini bukan langsung dari yang mau maju, tapi dari temannya, yang kebetulan kolega saya juga.
Saya balas SMS tersebut dengan kata Amien. Mudah-mudahan, teman satu ini bukan belut dalam oli, yang pasti aman meraih cita-cita pilkadanya, meski orang tahu banyak kesalahannya. Semoga yang ini, memang pantas diamanahkan.‘’Ibnu Umar ra: Sabda Nabi: Seorang kepala pemerintah adalah pemimpin manusia dan dia akan bertanggungjawab terhadap rakyatnya (B/M)’’ Saya jadi terenyuh dengan SMS dari Alquran seluler ini. Betapa tidak, yang terjadi justru saat kampanye hati rakyat direbut, sesudah itu hati rakyat remuk. Pertanggungjawaban? Hanya dinikmati oleh perwakilan hati rakyat yang direbut dan diremuk itu. Astagfirullah, kita sudah melanggar titah Nabi!
Saya tak bisa menutup tulisan ini segera, karena HP butut berbunyi nada SMS masuk. ‘’Rifa dibawa arisan, lalu nanti kami tunggu di DC Mall. Makan siang di enam ribuan saja. Jgn lupa bw taya.’’ Istri yang SMS. Saya jadi malu sendiri, untuk keluarga ‘’hanya kelas enam ribuan’’ – meski sebenarnya naik seribu dari sebelumnya lima ribu dengan menu pilihan pecel lele atau ayam penyet. Juga jadi ingat, belut di Hypermart tak dibeli karena kemahalan dan ganti oli, hanya yang kelas ‘’standard’’. Ikhtiarnya, semoga tak terjerumus dalam oli yang ada belutnya.
***(ade adran syahlan, saran dan kritik SMS ke 0811777697 atau email aderiau@yahoo.com)
Terbit di Batam Pos dalam SMS Hati, Minggu 24 April 2005. klik www.harianbatampos.com
Selasa, Juli 05, 2005
Belut dalam Oli
Ketuk Palu
Saya sangat jauh dari pertemanan orang-orang birokrat, meski orang tua pegawai negeri ‘’paling setia’’ di Kantor Gubernur Riau, Pekanbaru. Sejak kecil saya memantau, ada saja pekerjaan kantor dibawa ayah pulang dan dikerjakan hingga saya terlelap menunggu. Atau ketika saya sudah jadi reporter, pulang dinihari ke rumah, belia juga setia dengan PR-nya dan menjadi mudah baginya untuk membukakan pintu bagi saya.
Artinya, hanya ayah seoranglah jadi ‘’teman’’ birokrat yang saya kenal. Pegawai rendahan lagi. Tapi saya tetap bangga, karena apapun yang akan dibaca Gubernur Riau -- mulai dari Arifin Ahmad hingga Saleh Djasit – ayah memilihnya. Tentu saja ‘’isi kepala’’ gubernur bisa saya ketahui, karena ayah mengemasnya dalam kliping yang sangat rapi.
Memori tentang ‘’perjuangan setia’’ tersebut, terkuak lagi kini. Tersebab, saya bisa seharian rapat di Kantor Gubernur Provinsi Kepri di Sekupang, Batam. Bukanlah saya jadi orang birokrat, melainkan ada PR yang diberikan Penjabat Gubernur Kepri Ismeth Abdullah sejak 31 Desember 2004 untuk saya dan lima teman-teman independen lainnya. Kami ditugasi menjadi perekrut calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).
‘’Ini baru berubah. Dah dkt dg pejabat.’’ SMS semacam ini saya terima sering belakangan ini. Teman yang kirim, tahu betul saya seperti apa sejak memulai karir jurnalistik di Pekanbaru. Nara sumber saya, paling-paling pemain atau pelatih bola. ‘’Ada terkait pilkada, asyik berlama-lama di ktr gub?’’ Ehem…
Ini memang bunyi yang bisa menandakan diam, juga bisa perut berbunyi mempertegas rasa lapar. Dah mendekati cara kerja birokrat, itulah yang didapat. Kami berenam harus faham dengan segala ‘’keprihatinan’’ yang diembel-embeli pula oleh ‘’pengkambinghitaman’’ pada institusi lain. ‘’Belum ketuk palu, jadi anggaran kita susah direalisasikan.’’ Hal semacam ini, jadi sering kami dengar, saat tiba makan siang atau makan malam.
Untunglah saya punya abang yang pernah jadi pembimbing meniti karir, kini sudah jadi anggota DPRD Provinsi Kepri. Saya deskriptifkanlah, apa yang dialami tentang belum ketuk palu yang mempengaruhi ‘’kampung tengah’’. Jawaban dari si abang, memang membuat perut ini makin keroncongan, karena harus bersabar.
‘’Masalah dana honor krisis, saya minta mrk selesaikan itu dulu.’’ Saya terima SMS ini dari salah seorang anggota tim independen di perekrutan KPID, 12 April 2005 08:31 WIB. Pertanda lagi, kesabaran harus berbuah perjuangan. Sebagai salah satu yang termuda dalam tim, saya pun harus ikutan.
***
‘’Wawancara Asman oke.’’ Yang ini, justru buah dari perjuangan penuh kesabaran hingga bisa beralih atau memainkan kedua-duanya, pengusaha yang birokrat atau birokrat yang pengusaha. Entah mungkin orang banyak membantah apakah seorang anggota dewan juga birokrat, yang pasti mereka sama kompak untuk mengetuk palu atau tidak mengenai anggaran.
Tapi bicara Asman Abnur yang mantan wakil wali kota Batam dan telah jadi anggota DPR-RI, lalu terpilih pula sebagai Bendahara Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN), cocoklah dengan SMS ini. ‘’Ada tak ide, bisa bantu dana untuk PS Batam?’’
Anda yang tak hobi bola, bolehlah diterangkan. PS Batam merupakan induk organisasi sepak bola di Batam yang dibawah naungan KONI Batam. Dan organisasi ini pernah dipimpin Asman sebagai ketua umum. Asman pun pernah bercita-cita akan membawa pemain asing untuk memeriahkan sepakbola di kota industri ini. Nyatanya, jangankan pemain asing, posisi ketua umum Asman saja hingga kini dibiarkannya kosong dan PR bagi mereka yang kini ditinggalkan.
Mimpi saya – ada tim sepak bola hebat di Batam -- jadi PR beku, yang lama menemukan pemimpin berani. Berani memanfaatkan palu birokrasinya untuk memecahkan mimpi rakyat menjadi nyata. Tapi saya hanya mengingatkan ini melalui SMS kiriman Alquran seluler, 14 April 2005 pukul 14.00 WIB: ‘’Ibnu Umar ra: Sabda Nabi: Ketahuilah! Kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan diminta pertanggungjawaban thd yang dipimpinnya.’’ Nah!*** ***(ade adran syahlan, saran dan kritik SMS ke 0811777697 atau email aderiau@yahoo.com)
pernah diterbitkan di Batam Pos, klik www.harianbatampos.com