Malam tadi saat asyik mendengarkan musik peng-upgrade otak melalui PDA ZT326, ada telepon masuk. Salah satu pimpinan tempat saya bekerja menelpon (level saya di atas dia dikitlah, ge..er). Membahas sesuatu yang selalu dua tahunan ini nyaris sama terjadi. Ada yang gelisah, lihat bagaimana kami bekerja. Apa itu?
Ya, inilah. Gara-gara orang lain yang selingkuh, ada ''kami'' yang kena getahnya (ini getah pohon kolang kaling yang bikin gatal kali...). Mereka yang selingkuh itu (setidaknya ini tuduhan suami yang perempuan), yang laki-lakinya seorang ketua partai politik (cari aja sendiri berita ini di koran-koran Batam..he..he..biar yang cari merasakan juga bagaimana susahnya selingkuh...eh mencari berita dugaan selingkuh). Lalu yang ''kami'', ingat ini kami pakai tanda petik, berarti bukan tentu saya, dan yang nelpon saya, atau bawahan yang nelpon itu, atau juga bawahan saya. Melainkan orang lain.
Sudah dua tahunan begini terjadi hal-hal seperti itu. Kami seolah-olah dicampuri (ini kami tanpa tanda petik). Atau kalau tidak, saya yang dijelekkan. Kalau tidak dijelekpun, ya, minimal, saya tak dianggap bekerja menurut versi ''kami''. Fokusnya selalu saya.
Dua tahun juga saya berusaha ''menghilangkan'' dia dalam pikiran dan alam bawah sadar saya. Tapi tetap saja belum (bukan tak) bisa. Karena saya berinteraksi dengan banyak orang yang mengenal dia (alias ''kami'') tadi. Mereka pun bercerita macam-macam. Saya selalu tersenyum, apalagi bila ujung-ujungnya, setelah dua tahun, masih saja ''mengotak-atik'' saya.
Dan terakhir ini, memang tak langsung ''mengotak-atik'', tapi saya sudah menemukan jurus jawaban bagi diri saya sendiri. Untuk apa memimpin, bila kita tak percaya pada bawahan kita. Untuk apa memimpin bila kita tak rela mendelegasikan wewenang. Untuk apa memimpin, bila kita juga yang masih mengerjakan.
Jadi, ketika pasukan saya mengambil keputusan, dan telah dilalui dengan berbagai prosedur, maka tanpa diberitahukan pun pada saya, saya sudah anggap itu, bagian keputusan saya. Saya siap mempertanggungjawabkannya.
Saya tak perlu menelpon reporter saya yang akhirnya menjadi saksi kasus selingkuh itu (telah tiga kali surat panggilan dari kepolisan, baru kali ketiga diputuskan rapat redaksi datang). Reporter itu, malah menuliskannya kisah dia menjadi saksi (baca Posmetro Batam hari ini). Bukan saksi yang melihat selingkuhan ya, tapi saksi ketika sang suami yang melaporkan istrinya selingkuh dan mengeluarkan pernyataan kepada wartawan. Ini pun gaya pasukan saya, yang coba ''berkreasi''. Memberi sesuatu yang lain pada pembaca.
Reporter itu, betul-betul menikmati ''keselingkuhannya'' dari seorang yang biasa mewawancarai, kini gantian, jadi yang diwawancarai polisi. Dan dia pun ''menikmati'' gaya ''selingkuh'' menuliskannya, karena menyebutkan juga reporter lain yang juga jadi saksi untuk kasus yang sama.
Saya tak pernah menelpon reporter lain itu, seperti yang dilakukan ''kami'' kepada reporter saya (setidaknya hingga postingan ini selesai). Saya hanya baru berdiskusi dengan beberapa petinggi dari reporter itu. Yang penting, suara kami keluar, sama. Meskipun harus saya akui, tak semua kami berpendapat sama. Itulah namanya, keputusan lembaga.
Saya berusaha mengambil hikmah dari dua tahunan yang berlaku pada saya. Dan mudah-mudahan dari kasus terupdate kali ini, kami (tentu saja saya, pemimpin reporter dan reporternya), bisa mengambil hikmah atau nikmatnya. Ya, bisa menikmati diwawancari polisi, misalnya (he..he..). Bukan saja selingkuh itu bikin pusing, tapi juga akan banyak rentetan lain. Hi..hi..hi...
Selasa, November 20, 2007
Orang yang Selingkuh, ''Kami'' Kena Getahnya, Kami yang Ambil Nikmatnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar