Saat Anda membaca ini, dan melihat jam postingannya, atau membacanya sama persis dengan jam postingan, maka saat itu, saya justru berada di ruangan dokter mata. Entah di ruang tunggu, atau benar-benar sudah berkonsultasi. Mengapa?
Ada dua jawabannya. Pertama, mengapa saya yakin, karena Insya Allah, berjalan postingan ini secara otomatis tayangnya. Saya mengetiknya Minggu malam mulai pukul 20.30 WIB. Sengaja saya set, untuk tayang hari Senin, 7 April 2008.
Jawaban kedua, mengapa ke dokter mata, ya, karena mata saya sudah terasa menemukan waktu ''akumulasi penyusutannya''. Beberapa hari ini, sudah mulai terasa berat. Bukan lagi sekedar susahnya melihat apa isi layar proyektor infocus saat rapat, tapi juga memandang yang lain. Mulai terlihat ada bayang-bayang.
Nah, rencananya Sabtu lalu mau berkunjung ke dokter mata, atas saran teman kantor. Tapi istri punya rencana pula dengan gank-nya. Persiapan acara wirid di rumah tetangga. Jadinya ditunda Minggu. Eh, tak tahunya setelah ditelepon seluruh rumah sakit, tak ada dokter mata yang praktek. Dokter mata juga manusia, pikir saya. Perlu liburan juga.
Karenanya, saya sempatkan juga akhirnya singgah ke Nagoya Hill memantau beberapa optik. Ternyata ada optik yang sesuai dengan voucher yang didapat dari kartu kredit Bank Mandiri. Lumayan 30 persen. Tapi saya tak pede untuk masuk, nanti saja kalau bersama istri ke sana.
Nah, mengapa harus perlu ke dokter mata, kan di optik juga sudah ada alat periksa mata? Anjuran teman kantor tadi begitulah. Jangan-jangan dia yakin, mata saya ada pengaruh dengan kegemukan ya? Kegemukan, kan dekat dengan diabtes. Diabetes juga bisa mengaburkan mata? Karenanya, nantikan saja hasil berkonsultasi dengan dokter mata ya?
Senin, April 07, 2008
Dokter Mata Juga Manusia
Labels: Pribadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar