Sekitar jam 7.30 WIB pagi tadi, saya mendengarkan keluhan ini di Radio Batam FM. Siaran pagi mereka Halo Batam, tempat uneg-uneg segala macam permasalahan. ''Semua harga naik ini salah Jusuf Kalla! Ada keterlibatan keluarga dia. Jangan pilih lagi dia.''
Begitu bunyinya kira-kira. Si penelepon (maaf saya tak tahu nama, karena telat mendengarkan di radio mobil) menyebutkan kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok akibat kebijakan Wapres itu. Hmmm...saya tersenyum saja mendengarkannya. Sambil mengingat-ingat, pernah makan malam bareng dia sekitar tahun 2005 di rumah kediamannya.
Tentu saja saya masih ingat bagaimana lezatnya sup konro dan soto makassar yang dihidangkan. Apalagi ada juga berbagai macam sambal mentah (biasa saya nyebutnya begitu, atau sambal terasi). Ada juga sambal terasinya, pakai mangga muda, wow...mak nyuss. Tapi yang ingin saya bawa pulang, bukan makanan dan minumannya yang lezat itu, melainkan piringnya yang bertuliskan ''Istana Wakil Presiden RI''...hi..hi...
Apa kaitannya dengan kenaikan BBM yang dikeluhkan tadi? Hmmm...seusai makan itu, JK menjelaskanlah rencana dia dan SBY mau menaikkan harga BBM pada bulan apa ya (yang jelas saat puasa Ramadhan). Kenaikannya cukup tinggi untuk ukuran kebiasaan. Dipaparkannyalah, angka-angka besaran subsidi BBM kita itu dihadapan kami peserta makan malam yang pimpinan Jawa Pos Grup se-Indonesia (saya masuk kategori pimpinan ngak ya?). ''Intinya, negara kita ini kalau terus mensubdisi, udah bangkrut. Belum habispun hasil bumi kita dikeruk, udah bangkrut negara ini,'' kata Jusuf Kalla berapi-api.
Tapi saya tak terlalu tertarik omongan bangkrut itu. Saya tertarik, alasan mengapa kenaikan BBM itu akan dilakukan saat orang puasa Ramadhan, ketika malah kebutuhan energi akan naik (karena masak kolak kali ya..) dan tentu saja persiapan Lebaran. ''Ya itu, saya yakin, saat harga BBM itu naik, rakyat tak akan kuat demo. Mereka kan puasa. Puasa kan menahan amarah.''
Kontan saja, suara tawa lepas terdengar di pendopo Istana Wakil Presiden itu. ''Saya belum tahu pasti, berapa finalnya persentase kenaikan. Tapi saya usul saja sama presiden. Kalau setuju oke, kalau tidak, ya terserah. Kan ini keputusan presiden.'' Kali ini, hadirin pun tertawa lagi, meski sudah ada di tangan mereka masing-masing, berapa angka kenaikan premium, pertamax juga minyak tanah.
Seusai makan malam itu, sesampai di hotel, saya telepon istri di Batam. Saya sebutkan berapa harga bensin nantinya. Saya suruh istri isi bensin mobil yang banyak. ''Ah, masak sih,'' begitu katanya. Nyatanya, memang benar. Tak sampai satu atau dua minggu sesudah makan malam itu, BBM naik sangat dahsyatnya. ''Untung sudah diisi full. Tapi mengapa tak beli minyak tanah sekalian ya. Bisa untuk jualan.'' Istri saya menyesalkan, tak percaya info saya. (sepertinya angka-angka BBM itu pernah saya tulis di blog ini, tapi di postingan yang mana ya?)
Apa kaitannya lagi dengan kenaikan BBM yang dikeluhkan pendengar radio tadi lagi? Benarkah memang Jusuf Kalla yang menentukan semua, atau memang perusahaan Jusuf Kalla yang bermain? Terserah persepsinya, tapi kalau bagi saya, tetap tanggungjawab itu pada pimpinan puncak. Kan dia punya banyak staf ahli dan penasehat. Lagipula yang teken kan dia toh?
Kamis, Maret 27, 2008
''Ini Salah Jusuf Kalla!''
Labels: Pribadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
dulu seingat saya di taun 2001/2002 an di era ibu Megawati..yang menaikan bensin dari harga 1800 ke 2400 pun atas usul JK, saat itu menjabat Menko Kesra.
Saya makin muak dengan JK saat kenaikan harga Bensin tahun 2005, yang "katanya" sudah dihitung dengan hitung2annya...jujur saja saya prihatin dengan pemerintahan JK (saya tidak menyebut SBY, karena SBY mungkin hanya b****a..ups...tapi saya tetap dukung SBY dibanding JK.) Rakyat semakin miskin...akses transportasi, pendidikan dan konsumsi semakin sulit...
Rakyat butuh pertolongan...salah satunya ya dengan subsidi itu...jangan lah seenaknya mencabut subsidi JK?!..kasianilah kami ni...dah susah tambah susah.
Kenaikan harga BBM? jelas banget gak setuju.
Pilih lagi JK? jelas banget gak mau...
Posting Komentar