Udah lama saya tak menangis dan sekaligus juga bisa tertawa saat nonton film. Sabtu 31 Maret lalu itu terjadi. Ini gara-gara si Nagabonar Jadi 2.
Film sekuel lanjutan dari Nagobonar yang meraih Piala Citra sebagai film terbaik 1987, benar-benar mentertawakan diri kita sendiri. Bagaimana kita ''lupa'' soal nasionalisme hingga patung Jenderal Soedirman harus terus hormat pada mobil-mobil beroda empat, tapi tidak untuk beroda tiga seperti becak yang dilarang masuk.
Bagaimana pula kita ''lupa'' pada persoalan kepandaian mengaji, saat anak kita, kita suruh ke TPA, padahal diri sendiri tak bisa mengaji. Atau bagaimana pula kita baru tahu arti cinta pada istri, setelah justru dia mati. Atau bagaimana penting pula, kita pandai atau tidak pandai mengungkapkan cinta?
Ada semua pada Nagabonar Jadi 2. Bahkan, kita juga disindir, mau gak kita tim sepak bola Indonesia menang di tingkat dunia, sedangkan kita sendiri menggusur lapangan bola?
Tapi sebelum nonton, saya dan keluarga telah ''disindir''. Lebih banyak yang nonton Mr Bean rupanya. Malah, film Mr Bean Holiday itu diputar lebih cepat beberapa menit di teater 1. Sedangkan Nagabonar harus benar-benar tepat waktu diputar, karena ternyata masih menunggu penonton. Ketika kami masuk, eh tak sampai separuh.
Tapi syukurlah, keesokan harinya ternyata makin banyak yang nonton Nagabonar Jadi 2, ketika giliran kami sekeluarga nonton Mr Bean. Alhamdulillah, ternyata lebih baik Nagabonar, karena Mr Bean, saya hanya bisa tertawa. Tidak bisa membawa kita menangis sekaligus seperti nonton Nagabonar Jadi 2.
Ada sesuatu yang dibawa pulang, itulah film terbaik, begitu kata Hasan Aspahani, kolega saya. Sesuatu itu apa? Ya, nonton sendiri aja dah.***
Selasa, April 03, 2007
Nagabonar versus Mr Bean
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar