Rabu, April 08, 2009

Ketika Pesan Bola Pak Saleh AS Masih Menggema di Hati Saya

Magrib kemarin, teman saya yang pernah jadi reporter olahraga Riau Pos, Candra Ibrahim (sekarang sama domisili di Batam), mengirimm pesan via chating. ''Pak Saleh AS meninggal.'' Ingat Saleh AS, ingat PSPS. Cepat saya cari info lengkap. Teman kuliah, yang dekat rumah dengan Pak Saleh membenarkan.

Begitu juga, Philep Hansen, mantan pemain PSPS yang juga mantan tetangga saya di Pekanbaru, menginformasikan lebih lengkap. ''Oh ya, lupa aku beritahu kau, De. Ketua PSPS yang dulu, Pak Iskandar dan lain-lain aku beritahu. Kami barusan dari sana. Semua datang, semua mantan pemain PSPS seperti Margono dan lain-lain datang. Kau saja tak datang.''

Sedih juga dibilang, ''kau saja tak datang''. Pak Saleh bagi saya adalah nara sumber utama dan salah satu yang pertama ketika mengawali karir sebagai reporter olahraga di Riau Pos, Agustus 1992. Teringat, bagaimana semula dia tak percaya bahwa saya adalah termasuk anak didiknya di sekolah sepakbola milik PSPS (saat itu saya masih SMP). Saking penasaran, dia buka arsip-arsip sekolah itu dan terbuktilah, ada data saya dan bahkan ada pas foto saya.

Ketika PSPS masih divisi kampung (Divisi II), saya tahu persis, siapa sebenarnya yang menggelar kompetisi antarklub. Beliau sudah datang duluan ke Stadion Hang Tuah dengan sepeda bututnya. Jauh lebih duluan datang ketimbang pengurus lain. Di stadion yang ada hanya, karyawan pengelola stadion, dan maaf (saya boleh nyombong), saya turut hadir, karena memang tugas saya meliput. Sesekali tentu saja saya membantu beliau mengangkat meja, dan kursi untuk wasit dan inspektur pertandingan.

Dan bagaimana keras hati beliau untuk tetap menggelar kompetisi, meskipun sering ''diancam''. Apalagi jika yang bermain klub-klub dari ABRI (zaman dulu itu, tahun 1992 ke atas). Ada dua klub anggota divisi utama PSPS yang dari angkatan. Pak Saleh sering susah nyusun jadwal. Karena kedua klub angkatan itu, selalu minta waktu bertanding, yang tidak pas saat mereka sibuk. Misalnya karena sibuk pengamanan presiden atau karena latihan perang (dulu kan sering latihan perang di Riau).

Banyak kisah lain, termasuk, ''tak malunya'' beliau mendatangi ketua PSPS di zaman itu (sering berganti) baik itu walikota, komandan Kodim dan lain-lain dengan sepedanya. Beliau mengingatkan soal kompetisi dan mencari dana kepada para ketuanya itu.

Susah bagi saya melupakan Pak Saleh. Bahkan, ketika saya sudah ditugaskan di Batam tahun 2000, beliau sempat-sempatnya menelepon saya. ''Bikin jugalah maju PS Batam, De. Masuk jadi pengurus.'' Pesan itu sekitar tahun 2003, ketika beliau sudah jadi pengurus Pengda PSSI Riau.

Pesan yang terus terang susah saya laksanakan. Tapi saya tahu inti pesan itu sebenarnya. Yakni, di manapun saya berada, hati saya harus mencintai sepakbola Indonesia. Saya harus terus menggalang fanatisme sepakbola daerah, minimal dengan tulisan-tulisan saya, meskipun tak jadi pengurus bola.

Ooh, merinding bulu kuduk saya, mengingat semuanya. Termasuk ketika saya ''berani'' menyindirnya, yang kayak sendirian saja mengurus bola, mengurus PSPS. Dan ketika PSPS berjaya, dia bisa memaklumi, ketika orang-orang melupakannya***

*****
Hari ini, Riau Pos pun menuliskan tentang Pak Saleh. Silakan simak di http://riaupos.com/main/index.php?mib=berita.detail&id=6641


Obituari M Saleh AS, Pengabdi Sepakbola Riau
Sempat Kecewa Baju PSPS Berubah Warna dan Corak

Laporan DENNI ANDRIAN, Pekanbaru
Salah seorang pengabdi sepakbola Riau telah berpulang ke rahmatullah. Saleh AS namanya. Pengabdiannya untuk sepakbola Riau tak ada duanya, tapi mungkin sudah banyak yang melupakan semua pengabdiannya itu.

KETIKA PSPS masih berkutat di Divisi II dan Divisi I sekitar 10 tahun silam, sebuah sepeda tua selalu parkir di areal parkir Kantor Gubernur. Ternyata, sepeda tua tersebut milik Sekretaris Umum PSPS Perserikatan, Muhammad Saleh AS.

Pria kelahiran Medan 12 Oktober 1932 ini, tak lelah mendayung sepedanya dari sekretariat PSPS Perserikatan yang saat itu terletak di Stadion Hang Tuah menuju Kantor Gubernur untuk menyampaikan surat ke Pembina PSPS, Saleh Djasit dan Ketua Umum PSPS Tengku Lukman Jaafar.

Tapi, aksi Saleh AS ini bersama sepeda tuanya tak terlihat lagi di tahun 2000. Pasalnya, kakek empat cucu ini dihadiahkan Gubernur Riau saat itu, Saleh Djasit sebuah sepeda motor grand. Kegiatan Saleh untuk urusan PSPS bersama Honda Grand-nya tersebut hanya berjalan setahun karena di tahun 2002, suami dari Zukrin berhenti dari Sekretaris Umum PSPS.

Tak dipakai di PSPS, bukan berarti Saleh meninggalkan kegiatannya untuk mengurus sepakbola. Ketelitiannya dalam hal mengurusi administrasi pemain sepakbola dan lainnya dimanfatkan Pengprov PSSI Riau. Di tahun 2003, PSSI Riau memakai tenaganya untuk mengurus sekretariat. Kegiatan ke PSPS berkurang, Saleh AS hanya bolak balik ke KONI Riau untuk urusan PSSI Riau.

Ayah empat anak ini tetap peduli dan terus mengikuti perkembangan PSPS. Ketika PSPS degradasi ke Divisi I dua tahun silam, Saleh cukup kecewa. Saat bercerita dengan Riau Pos beberapa waktu silam, ia juga sempat menantang PSPS untuk tampil di Copa Dji Sam Soe, agar PSPS bisa fokus dan berprestasi di Liga Indonesia.

Saleh memang sudah mendarah daging dengan PSPS. Sekecil apapun hal yang menyimpang selalu ia ketahui. Tapi apa daya, dirinya memang sudah tak punya kekuatan untuk berbuat. Ia sempat memprotes berubahnya corak kostum PSPS tampil di Liga Indonesia.

Kostum kebesaran PSPS saat ini, sudah meninggalkan garis biru putih yang memang sudah dirancang sejak PSPS terbentuk. Padahal garis putih biru sebanyak tujuh garis tersebut melambangkan tujuh kecamatan yang ada di Pekanbaru waktu yang telah sama-sama mendirikan PSPS.

‘’Saya pernah bicara dengan Pak Saleh tentang baju ini. Memang dia protes,’’ ujar salah seorang mantan pemain PSPS, Waldos Kenedi. ‘’Beliau pernah bilang, kalau memang mau diubah maka sesuaikan dengan sejarah mengapa garis tujuh biru putih itu dibuat,’’ tambah pria yang cukup dekat dengan Saleh AS saat PSSI Riau menggelar Lisensi B, Februari lalu ini.

‘’Yang saya salutkan dari Pak Saleh adalah ketelitiannya dalam hal administrasi. Hingga saat ini, saya belum menemukan sekretaris organisasi sepakbola sebagus dia dalam hal mengurus administrasi. Saya rasa, data mengenai pemain PSPS dulu masih ada sama beliau’’ ujar Oyong Ezeddin, mantan pengurus dan pemain PSPS yang sempat lama bekerja dengan Saleh AS . Kini perhatian Saleh terhadap PSPS berhenti. Selasa (7/4) pukul 02.30 WIB, Saleh AS menghembuskan nafasnya yang terakhir di RSUD Arifin Ahmad karena serangan jantung. Saleh sempat dirawat lima hari di Santa Maria dua bulan lalu.

Namun, ia diizinkan pulang karena kondisinya mulai membaik. Namun, ia kembali sakit dan dirawat di RSUD selama lima hari sebelum meninggal, Selasa (7/4) dinihari. ‘’Bapak sempat meminta saya mengumpulkan orang bola dan kerabat karena ia merasa sakitnya sudah tak bisa diobati,’’ ujar anak keduanya, Firman Saputra yang akrab disapa Kaka ini.

Menurut cerita Ahmad Sayuti (anak kedua Saleh AS), penyakit jantung ini baru didapatkan ayahnya awal tahun ini. Padahal, dia belum pernah melihat ayahnya sakit keras atau opname di rumah sakit. ‘’Seumur hidup saya, belum pernah lihat bapak sakit keras. Kalau ada pun, sakit-sakit biasa saja,’’ jelasnya.

Saleh AS lahir, 12 Oktober 1932 di Medan. Ia lama merantau di Aceh Sigli selama 10 tahun, di Medan 15 tahun dan selanjutnya pindah ke Pekanbaru sejak tahun 1955. Ia sempat pindah ke Bengkalis tahun 1959 selama satu tahun setengah dan kemudian kembali ke Pekanbaru.

Saleh AS mulai di PSPS 1969 sebagai Sekretaris Umum. Ia juga sempat menjabat sebagai Sekretaris Umum Persires Rengat. Sebelum ke Riau, Saleh sempat menjadi wartawan Dobrak di Medan tahun 1955 dan memiliki tim sepakbola Basoka di Medan. Saleh meninggalkan empat anak, empat menantu dan empat cucu.

Keempat anaknya adalah Ir Ahmad Sayuti, Firman Saputra, Syahroni dan Sukma Saridewi. Sementara empat cucunya adalah Murniyenti, Andriani, Rosita dan Ir Saiful. Selamat jalan pak saleh, jasamu akan selalu dikenang pendukung PSPS.***

Selengkapnya...