Selasa, Januari 29, 2008

Makan Teripang, Belum Kenyang

''Menurut Dr.Ir.M. Ahkam Subroto, M.App.Sc., Periset Bioteknolog LIPI, kandungan protein tinggi pada teripang yang mencapai 82%, baik diberikan kepada penderita diabetes. Protein tinggi berperan meregenerasi sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Hasilnya, produksi insulin meningkat. (Trubus 441, Agustus 2006, halaman 109).''

Maaf, saya pakai paragraf pembuka seperti di atas. Sok ilmiah, ya? Tapi tak apalah, karena saya tadi telah memakan teripang saat bersama bos besar Rida K Liamsi diajak makan siang bersama, bos-bos lain di lingkungan Batam Pos Grup di Restoran Fisherman, Batam Center, tetangga gedung kantor kami. Tiga potong teripang yang sepertinya dimasak pakai kecap saya lahap. Semoga gejala diabetes pada tubuh saya bisa hilang.

Kok gejala? Ya, kalau melihat postur tubuh yang kegemukan (sudah saya tes dengan HP saya ada fitur melihat BMI, itu standar WHO untuk melihat kategori tubuh kurus, gemuk atau normal) dan suka sekali makan nasi, bahkan ingin makan berulang-ulang (kalau sudah di rumah). Lalu mudah tertidur. Bisa jadi itu pertanda gejala diabetes. Sayang, hingga saat ini belum pernah secara resmi saya periksa.

Saat mau diperiksa secara instan di Mega Mall, ibu saya melarang. ''Nanti khawatir pula mak. Setelah mak pulang haji aja,'' begitu katanya.

Saat, teman istri saya yang perawat mau datang ke rumah membawa alat untuk ngambi darah saya dan dibawa ke RSOB, eh istri saya pula agak ragu. ''Ayah ini serius tidak,'' kilahnya pula.

Maka, jadilah sekarang saya nikmati saja. Terkadang, kalau sudah di rumah, niat tak mau makan malam, malah menjadi-jadi. Tengah malam, saat mata tak ngantuk, minat juga makan nasi dan atau mie rebus lagi. Padahal, sesudah magrib sudah makan malam. Bahkan sering kalau cepat pulang kantor, sore harinya sudah makan mie ayam atau bakso pula yang lewat depan rumah.

Sebenarnya, beberapa bulan lalu saya masih mengkonsumsi Pacekap. Tapi usai Ramadan lalu dan memasuk 2008 ini sudah tak saya konsumsi lagi. Ini karena, saya merasa sudah lebih fit. Meski, kembali lagi bawaan ngantuk dan sering makan nasi berulang-ulang mulai terjadi lagi.

Nah, mudah-mudahan reaksi makan teripang atau gamat tadi bisa menghilangkan gejala diabetes. Tapi sayang, perut saya saat mengetik postingan ini lapar lagi. Tadi makan nasi semangkuk pakai sumpit susahnya bukan main. Emang, perut agak kenyang disempal teripang (mungkin mengembang dia di perut hingga seolah-olah bikin kenyang), setelah sebelumnya dimasukkan kue dan roti. Tapi ini minta lagi. Kalau ngetik postingan ini di rumah, bisa jadi tudung saji dibuka. Ini di kantor, jadi tak ada tudung yang dibuka. Ha...ha....

Selengkapnya...

Minggu, Januari 27, 2008

Pak Harto Wafat, Nasib Saya Berubah?

Photobucket
Hari ini 27 Januari 2008, Soeharto, mantan Presiden Indonesia telah meninggal dunia. Resminya tepat pukul 13.10 WIB. Atas perintah Presiden yang berkuasa saat ini Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), rakyat Indonesia diminta berkabung selama 7 hari berturut-turut. Berkabung nasional namanya. Tapi yang jadi pertanyaan saya di hati, adakah wafatnya Pak Harto akan merubah nasib saya, sebagaimana saat dia lengser tahun 1998?

Hmm..merubah nasib? Ya, jika Pak Harto tak jatuh atau lengser, tak akan ada zaman reformasi. Tak ada demokrasi. Tak ada pers terbuka. Dan tentu saja tak ada bebasnya bikin koran, hingga tak perlu lagi ada Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Bikin koran tak perlu izin-izin lagi, siapapun boleh menerbitkan, yang penting berbentuk badan hukum. Pemimpin Redaksinya pun tak perlu harus disetujui Menteri Penerangan (Menpen) seperti zaman Harmoko. Pokoknya, bebas.

Karena itu pulalah, Riau Pos tempat saya bekerja sejak 1992, boleh juga menerbitkan koran-koran lain. Maka diterbitkanlah di Batam, Sijori Pos (koran umum yang kemudian berganti nama jadi Batam Pos tahun 1993) dan Batam Pos (koran hukum dan kriminalitas, yang kemudian tahun 1993 berubah nama jadi Posmetro Batam). Nah, tahun 2000 saat terbit pertama kali Batam Pos yang berbau kriminal (maksudnya isinya berita kriminal) sayalah Pemimpin Redaksi (Pemred)-nya.

Tak pernah terbayangkan saya yang ''anak bawang'' di Riau Pos, bisa melejit ''melompat'' mengendalikan sebuah koran. Seterusnya sekaligus menjadi Pemimpin Perusahaan, dan lanjut jadi Pemimpin Umum yang membawahi Pemred dan Pemimpin Perusahaan, hingga kini.

Nah, adakah perubahan besar akan terjadi di Indonesia setelah wafatnya Soeharto? Itu yang saya nanti. Nah, di tengah penantian itu, saya tetap berpikir; Pak Harto tetaplah orang baik. Buktinya, selama 32 tahun dia telah mampu membawa bangsa ini ke tingkat ekonomi yang tinggi (meskipun akhirnya terimbas resesi dunia di tahun 1997). Buktinya juga, saat dia lengser, banyak orang lain yang berezeki (termasuk saya) dan kini saat dia wafat, banyak orang berezeki juga. Setidaknya, teman-teman saya yang meliput di rumah sakit Pertamina, Cendana, dan Istana Giri Bangun yang akan dapat duit lembur. Belum lagi, dokter-dokter kepresidenan yang sekali jenguk Pak harto berhonor ratusan ribu itu (bayangkan saja, sekali jenguk, belum lagi honor lainnya). Lalu pihak-pihak lain, termasuk Posmetro sendiri yang untuk terbitan besok dapat iklan duka cita. Hmmm...

Pak Harto, semoga Allah menerimamu....

Selengkapnya...

Kamis, Januari 24, 2008

Telapak Tangan Gatal Pertanda Apa?

Beberapa hari ini telapak tangan saya selalu gatal. Utamanya, yang kanan. Sehingga, jari-jari tangan kiri susah menggaruknya. Ya, terpaksalah, telapak yang gatal itu saya sosor ke sudut meja.

Kata orang-orang tua (maaf bila saya salah sebut, yang kiri atau kanan), bila tangan kanan berarti pertanda bakal ada duit masuk. Tapi bila telapak tangan kiri yang gatal, akan ada duit kita yang keluar. Benarkah? Tapi meski telapak tangan kanan saya yang gatal, belum ada tanda-tanda uang masuk selain tanggal 28 nanti (gajian, he..he..).

Pagi tadi dapat telepon dari abang (istri si abang ini adalah, anak tiri, dari sepupu saya. Sepupu saya itu lambat dapat suami. Tapi sekali dapat suami, sudah langsung punya anak, menantu dan cucu. hi..hii...)yang di Guntung, Inhil sana. Dia mengabarkan, rencana dia untuk mengajak saya berbisnis dengan bosnya, dipastikan gagal. Tersebab, si abang dimutasikan ke tempat kerja yang makin jauh saja dari Pelabuhan di Guntung itu. Padahal lumayan juga prediksi semula, kucuran dana yang bakal didapat si abang dari bosnya, Rp50 juta.

Hmm..., saya yang cuma berniat membantu membawa barang itu ke Pelabuhan Sekupang, cuma berpikir dapat ''seberan'' ajalah kalau bisnisnya lancar. Harus gigit jari lagi. Tapi saya berusaha tetap ''tegar'' dengan kalimat ini. ''Lihat-lihat juga peluang di tempat baru itu bang...''

Tapi sebelum telepon si abang itu datang, kemarin juga ada telepon lagi yang justru benar-benar mengharuskan duit keluar. Itu, petugas asuransi Jiwasraya sudah mengingatkan untuk kedua kalinya jadwal pembayaran asuransi bea siswa untuk anak saya. Syukurlah si petugas agak longgar sedikit, meski dengan kalimat begini;''heran, gak biasanya gini pak...''

Namun dibalik itu, ada juga satu pesan SMS yang membikin hati senang. Ketika salah satu karyawan saya nyaris ''dipalak'' polisi karena dianggap ''membohongi'' si polisi itu. Padahal, si polisi aja yang salah menjual produknya. Si karyawan pun nyaris mengganti, tapi setelah saya turut campur dengan mencari bukti-bukti, maka amanlah dari keluar duit yang cuma Rp113.900 tapi sangat bermakna, karena kami merasa tak membohongi.

Begini bunyi SMS si polisi itu kepada si karyawan, dan diforwardkan kepada saya: ''MAS, KALAU UANG ITU DIGANTI SM BOS, UANGNYA BUAT KAMU SAJA. TRIMS.ANGGAP SAJA KT G PERNAH JUMPA.OK''

Hmm...saya tersenyum geli membacanya dan nyaris tak percaya, hingga si karyawan saya telepon apa benar begitu. Bagi si karyawan, ini pengalaman kedua berurusan dengan polisi menyangkut bisnis. Tapi baru kali ini, justru teman bisnisnya itu polisi. Hi..hi...

Hmm..saat memulai postingan ini dan akan mengakhirinya, telapak tangan saya tak gatal lagi. Padahal, ada duit yang mau keluar untuk membeli perbukaan, karena sekarang sudah mulai mencoba puasa Senin-Kamis lagi. Hmmm....lapar...sudah pukul 17.38 WIB bentar lagi buka nih...

Selengkapnya...

Selasa, Januari 22, 2008

Otomatis Romantis: Wajib Ditonton Jurnalis

Photobucket

''Ini baru bagus. Ada yang bisa dibawa pulang. Beda banget dengan Merah Itu Cinta.''

He..he..istri saya berkomentar dengan nada senang saat keluar dari pintu Studio 4, Studio 21 Nagoya Hill, Batam, sore tadi 16.35 WIB. Jauh lebih senang dan puas, ketimbang tiga hari lalu menonton Kawin Kontrak. Lalu, kok dibandingkan istri dengan Merah Itu Cinta? Hmm...karena pemain utamanya sama, Marsha Timothy. Hii..hii...

''Cantik kali ya, Yah, si Marsha. Permainannya pun lebih hebat di film sekarang ini.''

Saya mengiyakan. Tapi saat di kursi D11 yang saya duduki dan istri D12, saya menyebutkan beberapa hal. Marsha (memerankan tokoh Nadia) bermain seperti Dian Sastrowardoyo di film Ada Apa dengan Cinta. Utamanya, saat Dian kesal karena dicuekin Nicholas Saputra, persis seperti kesalnya Marsha ketika menceritakan kepada kakaknya Nabila (Wulan Guritno) dan adiknya (lupa nama tokoh dan pemerannya nih, maaf) tentang bagaimana dia memaksa mencium Tora Sudiro (memerankan Bambang). ''Malu, malu. Dia mengucapkan astagfirullah.'' Begitu ucap Marsha, nyaris sama dengan ucapan Dian ''Jutek banget tuh cowok...''

Suara Marsha pun, saya pikir nyaris sama dengan Dian (maaf, baru pertama kali ini saya nonton aksi Marsha). ''Tapi cantik banget Marsya ya, Yah.'' Hmm...istri mengulang lagi pertanyaannya. Saya mengangguk lagi. Namun hati masih bertanya, adakah ini kebetulan inspirasi saja?

Tapi yang jelas, secara umum film ini memang bagus. Lebih humanis, setidaknya menurut ukuran saya. Marsha yang Pemimpin Redaksi (Pemred, aneh juga ditulis di pintunya Pimpinan Redaksi), ternyata meskipun punya jabatan tinggi, tak digambarkan tinggal di apartemen mewah sebagaimana film-film Indonesia lain. Dia tetap tinggal dengan ortu di rumahnya. Dan selalu disuruh cepat nikah oleh ayahnya (diperankan Tarzan) dan ibunya (diperankan Chintami Atmanegara). Lalu ada waktu, saat makan bersama (khas Indonesia), dan ada gambar mereka sekeluarga lagi nonton tv dengan kaki berada di atas kursi. Indonesia banget...

Tora eh Bambang pun, memberikan warna tersendiri terutama bagi saya yang masih menganggap berjiwa jurnalis meski tugas kantor sekarang lebih banyak ''mengurus'' usaha. Bambang yang staf administrasi dan telah dapat ''durian runtuh'' jadi model majalah, tetap ingin menjadi reporter. Meskipun Marsha menganggapnya remeh, karena Bambang berasal dari majalah kelompok tani di Yogyakarta.

Karena jiwanya yang jurnalis itu, tetap ingin menulis laporan, dan berfikir sederhana tentang tips-tips kehidupan (bahan utama di majalah pimpinan Marsha) membuat Bambang menarik perhatian Marsha. Termasuk tidak memanfaatkan kesukaan pimpinan, untuk menjadi orang yang tinggi hati. (walah, susah pula menjelaskan sisi ini...)

Lalu di mana si Tukul Arwana yang membuat saya dan istri sudah lama menanti film ini sejak diumumkan akan diputar 18 Januari lalu? He..he...si Tukul memainkan Tukul dirinya yang kita lihat di Empat Mata (Trans 7). Dia pakai nama Dave, tidak Reynaldi. Tapi kehadirannya, tidak sekedar lewat, melainkan menambah lucunya film ini tanpa terganggu cerita utamanya pada Marsha dan Tora.

Hmm...akankah film ini bisa mengulang sukses Ada Apa dengan Cinta yang diputar tahun 2002 lalu? Adakah siklus enam tahunan untuk makin boomingnya film Indonesia? Waktulah yang berbicara. Tapi sang sutradara Guntur Soeharjanto dan penulis skenario Monty Tiwa sepertinya ''berdoa'' film ini sukses besar, karena endingnya hanya teriakan Alhamdulillah oleh Tora, dan senyum manis Marsha saat berjalan di ruang redaksi.

Teriakan Tora bisa diartikan dua. Pertama, bersyukur karena disuruh Marsha menulis artikel. Atau yang kedua ini, teriakan gembira ketika dia tahu, Marsha benar-benar cinta padanya.

Saya pilih yang mana? Terserah penulis skenario dan sutradara, tapi memang film ini pantas ditonton siapa saja, apalagi jurnalis. Wajib kali... ***

Selengkapnya...

Teringat Saat Masih Dapat Honor dari Tabloid BOLA

Hari ini tepat pukul 11.58 WIB, saya dapat bingkisan. Saya kira buku baru lagi. Karena amplopnya tertulis nama Gramedia, persis sama dengan menerima bukunya Ippho Santosa. Ternyata kali ini, kalender dan buku jurnal. Surprise...

Jadi teringat, saat masa-masa masih dapat honor tulisan dari Tabloid BOLA (juga satu grup dengan Gramedia) sekitar tahun 90-an akhir. Selain dapat honor yang berkisar per bulannya Rp200.000 (lumayan untuk bayar pulsa HP), di akhir tahun dapat kalender keren. Gambarnya pemain-pemain bola dunia.

Ya, saat itu saya ''nyambi'' kalau tak dikatakan ''sembunyi-sembunyi'' ketika mengirimkan tulisan ke BOLA. Padahal, saya adalah reporter olahraga koran Riau Pos di Pekanbaru. Bahkan ''nyambi'' saya itu, menjadi ''mimpi'' suatu saat kelak ingin bekerja di BOLA. Lalu mengejar target liputan ke Olimpiade dan Piala Dunia. Tapi mimpi itu sirna, karena di tahun 1996 saat saya coba ''merantau'' ke Bukittinggi, saya tak menemukan jalan menembus BOLA.

Tapi itulah, tetap ada hikmahnya. Saya mendapatkan jalan lain, ''merantau'' ke Batam dan menemukan suasana lain. Uniknya, ada orang yang paling tahu saya pernah dan dianggapnya saya pernah kerja di BOLA. Kini dia jadi tetangga saya pula. Siapa dia? Orang Batam banyak tahu beliau, namanya Bung Chris. Di pengantar blognya, malah dia menyebutkan saya pernah di BOLA (dan itu juga telah membuka ingatan saya juga, bahwa saya punya ''jenjang karir'' di BOLA). ha...ha...

Mungkin, jika PS Batam jadi anggota Divisi Utama atau Superliga, bisa jadi, laporan saya ada di BOLA. Setidaknya, sebelum reporter BOLA benaran, ada di sini. Hi..hii pede kali saya ya...


NB: Nanti sore jam 3, mau nonton lagi sama istri. Kali ini Otomatis Romantis. Lihat film pertama si Tukul.

NB: Mungkin saya dikirimi kalender oleh PT Elex Media (Gramedia Group) karena pertemanan dengan Ippho Santosa. Dia merekomendasikan pada Elex agar buku Ippho dikirim ke saya. Dan saya menerbitkan resensi atau beritanya di Posmetro.

NB: Semoga dapat kalender dan buku jurnal ini, pertanda baik juga untuk ''mimpi-mimpi'' menerbitkan buku bersama Gramedia terwujud. Hmm....

Selengkapnya...

Sabtu, Januari 19, 2008

Kawin Kontrak; Idenya Bolehlah...

Photobucket
''Tak ada yang bisa dibawa pulang,ya, Yah''

Hmm...istri saya mengomentari itu saat menuruni lift Lantai 3 Nagoya Hill, Batam, seusai keluar dari Studio 21. Film yang kami tonton judulnya Kawin Kontrak. Tumben istri saya ''pandai'' berkomentar. Dan tumben juga, nonton kali ini tanpa rekomendasi majalah Tempo. Hi...hi...

''Sebenarnya ada. Fenomena kawin kontrak itu memang ada. Utamanya di sekitaran Jawa Barat. Kan pernah ada berita, kawin kontrak dengan orang Arab.'' kata saya pada istri.

Ya, itulah. Ide untuk bikin film bertema dan berjudul Kawin Kontrak, pantas saya acungi jempol. Apalagi produser Raam Punjabi, raja sinetron. Sayang, skenarionya kurang oke. Bayangkan saja, masak, setelah tiga pemain utama di film ini, Dimas Aditya (sebagai Rama), Ricky Harun (Jodi) dan Herican (Dika) yang baru lulus SMA tiba-tiba ingin ngeseks. Lalu terpikir ide kawin kontrak setelah mendengar ceramah ustad di masjid, yang menyebut-nyebut mendekati zinah saja haram. Apakah, emang kebelet nian, anak-anak sekarang ngeseks? Kalaupun memang ada begitu, gambarkan dong sedikit, kebiasaan mereka sehari-hari. Misalnya sosok Herican yang suka nonton video porno atau Jodi yang kehilangan sosok ibu, jadi sukanya sama ibu-ibu untuk bercinta.

Mungkin pemahaman saya salah. Karena saya sendiri sudah tua, dan udah lama tak ''bergaul'' dengan gaya hidup anak-anak Jakarta. Mungkin, lebih bagus, digambarkan tiga pemain utamanya lebih dewasa (jadi, ganti pemain deh...). Profesional yang tak dapat juga pasangan, tapi ngebet seks (maaf, pakai bahasa Jakarta). Tapi ingin cara halal, lalu lakukan kawin kontrak. (Bisa jadi, ditangkis Raam Punjabi ide ini...)

Satu lagi yang terlupa dalam film karya sutradara sekaligus penulis skenario Ody C Harahap adalah, kapan makan siang dan makan malamnya tiga pemain utama itu. Ketika mereka menuju satu lokasi di Cianjur untuk kawin kontrak, mereka berjumpa Sono yang diperankan Lukman Sardi. Jodi dan Dika dapat istri dan tinggal di masing-masing rumah istri mereka di desa itu. Sedangkan Rama tidak, ada tempat kos-kosan yang sesekali juga didatangi kedua temannya. Tapi tak pernah terlihat, kapan mereka makan siang atau malam, atau siapa yang menyiapkan mereka makan. Adakah, anak-anak muda Jakarta sekarang tak doyan makan lagi? Atau, karena saya yang doyan makan, hingga selalu ingin menikmati setiap sinetron atau film yang ada adegan makan-makannya?

Namun secara umum, Kawin Kontrak lumayan idenya. Dan menyadarkan pada kita, untuk menghargai diri kita sendiri. Jangan mudah terayu oleh gemilangnya duit. Hingga bisa membeli apa saja, termasuk cinta yang dipaksakan. Atau malah, jangan mudah menyerah ketika duit susah kita dapatkan. Ada nurani yang harus ditegakkan.

Hmm...macam kan betul pula saya ini. Tapi jika Anda tak percaya, tonton saja film ini. Jika Anda tak puas, maka minta kembalikan uang tiketnya. Karena di poster film ini tertulis; Tidak ''puas'' uang kembali.


NB: Bagaimanapun, nonton film ini, dan berdua pula lagi dengan istri (sama seperti nonton Quickly Express), memberikan kegairahan lagi bagi saya untuk menulis blog, setelah beberapa hari vakum. He..he...

NB: Saya dan istri tetap masih ingat pernyataan kolega saya, Hasan Aspahani, film yang bagus itu, setelah kita nontonnya ada ''sesuatu yang bisa dibawa pulang''. Nah, kalimat itulah yang dikutip istri saya. Hmm...

Selengkapnya...

Minggu, Januari 06, 2008

Peluang Bisnis di MRT Singapura

Photobucket
Akhir pekan yang sibuk. Jumat, jemput mak yang pulang naik haji. Sabtu ada perjalanan kuliah. Lalu minggu, sibuk membalas semua aktivitas untuk keluarga.

Mak sampai di Batam 4 Januari pukul 11.30 WIB. Tapi baru bisa kami temui di Asrama Haji Batam Center pada pukul 15.00 WIB. ''Jemput aja jam tiga. Lama lagi. Mak masih ngurus koper.''

Wah, berat juga apa yang mak bawa. Saya tak terbayangkan, begitu kuatnya mak beribadah di Arab Saudi sana. Bawaannya lima liter air zam-zam, ditambah dua tasnya saja, sudah bukan main beratnya untuk usia dia di atas 50. Saya saja, sudah berat mengangkatnya saat mak kami ''culik'' untuk singgah dulu ke rumah saya dan adik, yang berlokasi sama di Tiban.

Kurang beberapa menit pukul sembilan malam, mak sudah kami kembalikan lagi ke asrama. Setelah mencicipi Bakso Lapangan Tembak di Mega Mall, dan sekalian menukarkan sisa uang riyalnya. ''Dah pulanglah kalian. Besok jangan antar lagi ke bandara.''

Hmm...saya pun tak punya waktu Sabtu-nya. Subuh sudah bangun, untuk siap-siap menuju Singapura via Harbour Bay, Batu Ampar. Meski berangkat jam 8, tapi karena berombongan ada 12 orang, tentu harus ada yang koordinir. Nah, yang koordinir itu, berdekatan dengan rumah saya. Jadi, saya juga harus ikutan lebih pagi. Apalagi, istri dan anak-anak mengiringi mengantar ke Harbour, karena supir yang bisa dimintai tolong, pagi itu menikahkan adiknya.

''Mak sudah di bandara.'' Itu balasan SMS mak, ketika saya mengabarkan padanya sudah berada di gedung Kantor Pos Besar Singapura, tempat saya kuliah tepat pukul 10 WIB (saya tak mengubah jam, meski waktu Singapura lebih cepat satu jam).

Nah, sebelum kuliah benaran, saat dijemput di Harbour Front Singapura, kami berombongan dikuliahi cara naik MRT. Itu, kereta api bawah tanahnya Singapura. Bagaimana membeli tiket di mesin yang mirip ATM. Lalu membaca peta, dan ke mana saat berpindah dari satu MRT ke MRT lain.

Saya membayangkan, kalau bawa anak naik MRT ini bisa kasihan. Selain bisa jadi nanti agak bingung, dan berjalan kaki mencari MRT nya anak bisa capek, lebih baik suatu saat saya naiki berdua istri saja. Ternyata juga banyak yang berpendapat sama. ''Kalau kuliah lagi ke Singapura, bolehlah dicoba. Tapi bawa keluarga, hmm...''

Tapi sepertinya warga Singapura, melupakan peluang bisnis besar di dalam MRT. Yakni, ngamen dan jual makanan. ''Iya juga ya, ada peluang bisnis. Kalau di Indonesia, udah banyak nih yang ngamen di sini.'' Hmm...lebih pintarkah kita, atau tidak patuhkah kita pada disiplin kegunaan suatu media transportasi?

Dari Harbour Front ke Paya Lebar tempat gedung yang kami tuju. Sepertinya sekitar 15 kilometer. Ada dua kali naik MRT. Tapi bayarannya satu kali saja, 2,7 dolar Sing. (Kalau naik taksi, bisa kena 15 dolar Sing). Malah, Syaiful Nizam yang menjemput kami, masih bisa dapat lagi kembaliannya setelah sampai di stasiun Paya Lebar. Dimasukkannya kartu magnetik itu lagi, recehan keluar lagi. Sungguh berharga sekali recehan di negeri yang kaya itu.



NB: Mak sampai di rumahnya di Pekanbaru pukul 14.00 WIB. Katanya beliau yang duluan bisa kabur dari Bandara Sultan Syarif Kasim. Dia memang cekatan mengenali tas dan kopernya karena ditandai khusus dengan cangkir. Sampai di rumah, sambutan luar biasa, katanya. Diumumkan di masjid, lalu tetangga berbaris dari jalan tempat turun mobil (rumahnya masuk gang). Lalu tamu tak henti silih berganti datang. ''Kue banyak, lauk banyak, diantar famili dan tetangga,'' katanya. Saya hanya berucap syukur ketika tahu semua cerita itu dari istri, ketika sampai di Batam lagi tepat pukul 10 malam.

Selengkapnya...

Kamis, Januari 03, 2008

Buku-buku yang Minta Dibaca

Photobucket
Bertambah pula koleksi buku saya, setelah Candra Ibrahim menghadiahi buku perdananya Membranding Batam Menjual Kepri. Padahal banyak lagi buku yang belum sempat dibaca. Termasuk Orgasmaya, karangan Hasan Aspahani. Mau diapakan buku ini?

Ya, tentu dibaca. Saya suka membaca buku dari belakangnya. Tepatnya kulit belakang. Lalu bolak-balik sedikit ke depan. Seterusnya, jika punya waktu, saya baca sampai habis. Nah, kedua buku di atas saya lakukan begitu, kecuali yang ini, tidak saya baca sampai habis.
Photobucket
Mungkin saya harus punya waktu ''menganggur''. Seperti dalam perjalanan (pesawat, bus atau kapal). Tapi ya itulah, sudah jarang pula bepergian. Untuk ''pulang kampung'' ke Pekanbaru saja, sudah tak pernah lagi, kecuali kalau ada hajatan kantor. Jadi teringat bos saya, Rida K Liamsi, yang melakukan hal itu ketika bepergian. (maaf pak, novel Bulang Cahaya, juga belum sempat saya baca).

Karenanya, ketika melihat buku-buku itu tergeletak di berbagai tempat di rumah (saya tak punya rak buku), seperti ada nada sendu dari buku itu, minta dibaca. Atau juga ketika di ruangan kantor, buku-buku itu pun menatap, minta dibaca.

Apa yang salah ya, kok saya tak punya waktu? Adakah ini karena mudahnya saya mendapatkan buku tersebut? Karena gratisan, jadi malas membacanya? Ini berbeda ketika saya membeli buku Quantum Ikhlas, atau The Law Attraction, yang saya lahap sampai habis. Atau malah, buku-buku itu belum mengelupaskan daya minat baca saya?

Entahlah. Tapi di hati kecil saya, tetap ada setitik minat untuk membacanya. Mungkin saya sendiri yang perlu membuang rasa malas itu dan menepis ''semangat gratisan''. Ha..ha...


NB: Tak lama lagi, mau datang pula hadiah buku dari Ippho Santosa. Bila Candra Ibrahim dan Hasan Aspahani adalah teman segrup tempat saya bekerja, maka Ippho adalah teman berbagai info semangat berwirausaha. Jadi, harus-harus benar-benar menghilangkan ''semangat gratisan'' ya...

Selengkapnya...

Rabu, Januari 02, 2008

Apa Hadiah yang Pantas untuk Istri yang Ultah?

Photobucket

Hmm...sudah lama saya memikirkan, apa yang pantas diberikan sebagai kado ulang tahun istri saya. Sampai pas tanggalnya, 2 Januari ini, saya belum menemukannya. Tapi niat tetap ada. Hmm...

Sebenarnya, bukan kebiasaan pula memberikan kado. Tapi setelah mengarungi kehidupan berumah tangga sejak 1999, rasanya kali ini ingin sekali memberi. Ya, selalu terbentur, apa?

Apakah layak, kadonya berbentuk kasih sayang semata?
Apakah mungkin baju?
Apakah mungkin kebendaan lainnya?

Kalau ditanya istri, dia akan menjawab dengan nada bercanda. ''Beli emas putihlah..''
Bila sudah menyebutkan itu, secara reflek otak dan mulut saya sudah menolak. ''Kok emas putih, nanti payah menjualnya.'' Atau kalimat lain. ''Gak tahu orang itu mas, percuma dibelikan.''

Jawaban yang sok tahu, dan sok pamer. Tapi apapun namanya, sebenarnya pantas juga memberikan emas. Entah berwarna biasa, kuning, atau emas putih. Toh, emas, bisa jadi barang untuk investasi sekaligus perhiasan. Jadi, sambil bergaya, juga sebenarnya sambil berjaga-jaga. Hiks..hiks...

Tapi (maaf kembali ke tapi...), ya itu, adakah duit untuk membelinya? Kan duit akhirnya untuk membeli sepeda si bungsu? Kan bentar lagi, mau bayar pula duit asuransi?

Namun (kali ini pakai namun), akhirnya saya menemukan kadonya. Tapi (tapi lagi..), kadonya tak bersentuhan langsung dengan istri, tapi untuk saya. Dan istri nanti bisa memakainya juga. Kadonya untuk istri, tapi saya yang pakai? Nah, bingungkan? Ya, itulah, kadonya tetap saja, ''kado kompromi''. Sesuatu yang sudah lama diidamkan oleh istri bagi saya, justru saya persembahkan di saat dirinya berulang tahun. Terbalik...ya, dan maaf (yang baca postingan ini), tak perlu tahu apa itu. Ha...ha...ha...

Selengkapnya...

Selasa, Januari 01, 2008

Malam Tahun Baru Dapat ''Award''

Akhirnya bermalam tahun baru sekitar lingkungan rumah saja. Ada pesta kembang api, bakar ikan, ayam dan makan soto. Jelang detik ke 2008, ada kembang api yang nyangkut ke atap rumah. Heboh, disangka kebakaran. Alhamdulillah tak terjadi apa-apa. Tapi yang lebih mengejutkan, saya dan istri dianugerahi ''award'' sebagai pasangan serasi di RT kami.
Photobucket
''Buka hadiahnya pak. Nah, itu adalah sisir. Jadi Pak Ade harus rajin nyisir istrinya.''

Ada-ada saja ulah Bung Chris, tetangga saya ini. Dia pengatur semua acara. Mulai dari ide, pencari dana, hingga pelaksana, termasuk jadi MC. Anda yang di Batam tentu kenal dia. Dia pengamat bola paling top di Batam. Selain tentu saja dia termasuk pejabat di Pemko Batam (moga-moga 2008 sudah jadi kepala dinas pula).

Saya yang paling malu. Karena kalau ada rapat RT, saya jarang ikut. Istri saya terus yang datang. Juga bila ada yang gawean, istri yang selalu sibuk membantu. Saya datang pas hari dan waktu H saja. Bahkan malam tadi, ketika para tetangga sudah kumpul di lapangan bulutangkis tempat acara berlangsung, saya baru datang pukul 21.00 WIB. Itu pun karena istri merayu sangat keras, sedangkan saya ingin di rumah saja.

Ya, tapi itulah, akhirnya kaki melangkah juga. Bisa jadi, penilaian serasi karena itu. Saat istri saya ikutan rapat RT, saya ''jaga'' anak kami. Atau bila istri saya pulang kampung, saya malah yang gantikan posisi istri jadi panitia penyambut tamu saat tetangga yang ada hajatan. Hm...bisa jadi, ada pasangan yang lebih pantas dipilih, tapi malam tadi malam tak datang. He..he...

Si sulung saya, yang gendut, malah dapat ''award'' yang lebih istimewa, dan saya bangga dengan itu. Dia terpilih jadi anak perempuan paling aktif. Bung Chris mendominasikan tiga orang. Dan ketika diundi ke penonton, lebih banyak yang bertepuk tangan untuk dia. Saat diulang kedua kali begitu juga. Hebat, ternyata gadis gendut saya, tidak pemalu seperti ayahnya...

Semoga ini pertanda bagus bagi kami sekeluarga. Apalagi, kami berempat sudah punya target sendiri-sendiri (ya bisalah disebut resolusi 2008). Saya punya resolusi; tetap sehat, agar bisa jalan-jalan dan makan-makan. Istri; mau bangun tidur lebih pagi; si sulung; mulai solat lima waktu; si bungsu; bisa naik sepeda roda dua yang lebih tinggi.

Selengkapnya...