Senin, Mei 29, 2006

Setiap Langkah Maaf

“Tepis kritik tdk serius,Polda Metro Jaya tangkap dan tetapkan Hercules tmsk 12 anak buahnya sbg tersangka penyerbuan Indopos”

Saya terima SMS di atas tepat pukul 12.00, Jumat (23/12). Kiriman dari HaloGold 555 itu masih dengan bahasa yang menarik. Sekaligus sindiran bagi saya. Tersebab, untuk kasus berita itu sudah dua kali memakai jalur “mohon maaf”.

Pertama tahun 2004 yang akan susah dilupakan karena tujuh hari berturut-turut, full satu halaman lagi. Saat itu saya masih memakai baju “merah” Posmetro Batam. Yang kedua, 2005 ini. “Hanya” seperempat halaman. Baju saya sudah “biru”, Batam Pos. “Dah dua kali, De,kau minta maaf,” bos besar saya menegur. Saya tak takut lagi menghadapinya, apalagi bos menegur dalam ajakan makan malam pula.

Beda dengan setahun sebelumnya, berhalaman laporan harus saya buat. Belum lagi surat pernyataan. Dan seterusnya, menjadi studi kasus setiap pertemuan. Banyak yang bertanya mengapa berani “mohon maaf”? Saya sulit menjawab karena membawa nama institusi. Kalau pribadi, biasanya kiasan jawaban saya, apa repotnya meniru Gus Dur? Berani minta maaf! Mungkin banyak yang tak terima sikap saya.

Tapi dalam batas wewenang, saya berani menanggungjawabnya. Tak terkecuali apapun resiko dihadapi. Itulah pilihan yang harus dihadapi setelah mengeluarkan keputusan. Bagi saya, itu sama saja dengan keputusan untuk berani merantau ke Batam. Ada pertaruhan hidup-mati yang kelak juga akan diminta pertanggungjawabannya. Meskipun ada peluang “mentransfer” tanggungjawab itu pada yang berbuat salah. Namun Insya Allah tak akan dilakukan.

Tapi di sisi lain, saya mengalami perjalanan batin sendiri, tak bisa jugakah saya memaafkan diri sendiri? Belum bisa berbuat lebih untuk kolega, mitra, saudara atau pun orang tua. Maaf saya hanya baru dalam ukuran cari selamat menurut versi saya, bukan orang-orang sekitar saya. Maaf yang ada egonya!

“Labbaika Allahumma Labbaika... dgn Rahmat Allah SWT, Insya Allah kami akan berangkat ke Tanah Suci Mekkah. Kami mohon maaf lahir dan batin jika selama ini ada kata dan perbuatan yang tidak berkenan di hati Tuan-tuan, Puan-puan, Encik-encik. Semoga setiap langkah kita mendapat Ridho Allah SWT. Amin ya Rabbal’alamin.”

Yang ini baru saya menemukan jawab dari setiap pengambilan keputusan. Pada kalimat terakhir dari SMS kolega yang mau naik haji itu. Semoga setiap langkah diridhoi Allah. Juga minta maaf? (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 25-Desember-2005, 209 Klik)

Selengkapnya...

Oleh-olehnya Mana?

‘’lah ado jual ganefo di Batam, mak. di dc mall”
‘’cubolah apo enak.”
‘’renyah jg.”


Itu petikan SMS dengan ibu yang biasa saya panggil mak, Selasa (13/12) sekitar pukul 16.30 WIB. Bukan menggunakan bahasa Minang. Ini gaya dialek orang Pekanbaru. Banyak pakai o, juga. Sering dibumbui, do, untuk beberapa akhir kalimat.

Yang dibicarakan tentang makanan. Ganefo sejenis kue yang rasanya asin. Terbuat dari ubi kayu alias singkong yang dicincang berbentuk dadu. Biasanya direbus dulu sebelum digoreng. Mungkin ada juga yang menjemur sesudah dicincang. Lalu diberi bumbu, seterusnya digoreng.

Ini jadi makanan favorit saya saat masih SMEA dulu. Saya pernah distrap dan ditempeleng kepala sekolah gara-gara cabut dari kelas untuk membelinya. ‘’Kalau di Pekanbaru memang namanya Ganefo,” celutuk si penjual saat saya keheranan sudah ada yang jual kue itu di Batam. Kalau di Padang, tempat asal si penjual, disebut ubi cincang.

Mengapa di Pekanbaru disebut Ganefo, dah lama saya cari jawabannya, tak ketemu. Mungkin bisa terkait dengan peristiwa Ganefo tahun 1962 di zaman Presiden Soekarno dahulu, entahlah jawab ibu. Tapi bila kue ini bisa dilempar-lempar – itu kami lakukan di sekolah makanya ditempeleng—, agak mirip juga dengan nama Ganefo yang sememang pesta olahraga mirip olimpiade.

Apapun namanya, saya bisa menikmatinya kini tanpa perlu lagi dikirim dari Pekanbaru. Sesuatu yang dirindu ketika menjauh dan menghilang, kini bisa hadir di depan mata dengan mudahnya. Saya yakin suatu saat, jauh lebih mudah menemukan Ganefo di Batam, dibanding Pekanbaru.

Betapa tidak, pulau Rempang dan Galang sudah mulai banyak ditanam ubi. Di Pekanbaru, daerah Kulim yang penghasil ubi, kini banyak ‘’ditanami” rumah dan ruko.
Bila melihat itu semua, masih banyak potensi besar yang dimiliki Batam. Bahkan bukan ubi, mangga pun kelihatan banyak ditanam di Barelang sana. Belum lagi sayur mayur. Bahkan tak sekedar di Barelang, di seputaran Tiban rumah saya, para ibu rumah tangga sore hari sudah bisa beli sayur lokal dari penjaja keliling. Mulai dari kangkung, bayam hingga daun singkong.

Makanya, tak heran bila justru di mall-mall, sayuran yang dijual bukan lagi didatangkan dari luar Batam atau luar negeri. Asli Batam itu. Cara pengemasan saja yang membuatnya terkesan seperti buatan luar. Soal harga? Mungkin karena dikemas jadinya sedikit lebih mahal.
***

‘’Nanti dibawakan kopi celup. Kali ini yang 2 in 1. Bukan kayak kemarin.” Ini juga SMS saya dengan ibu. Saya cari oleh-oleh yang ‘’aneh-aneh”. Sebelumnya ini lama disarankan Hasan Aspahani, sahabat diskusi saya. Tapi maaf, yang disarankan bukan kopi celup lokal melainkan luar punya, Singapura.

Semula dibeli dituntun Hasan via handphone di Top 100 Penuin. Selanjutnya saya bisa cari sendiri. Nah itulah, kini yang 2 in 1 pula rasanya. Saat dituntun dulu, belum yang komplit begini. Sebenarnya ada yang 3 in 1 tapi sengaja saya bikin bertahap. Biar ada kejutan dalam tiap oleh-olehnya.

Namun yang jadi pertanyaan saya, di mana ya, ada kebun kopi di Singapura? Mengapa pula saya asyik memburu kopi yang dikemas mereka? Bukankah masih ada kopi-kopi lain yang lebih nikmat? Tak bisa jugakah Batam berbuat sama, malah lebih bisa hebat karena masih banyak lahan?

Saya tak mau memikirkan jawabannya. Saya hanya mau mencari jawaban nyata dari tiap pertanyaan begini saat pulang kampung,”oleh-olehnya mana?”. Suatu saat mungkin Ganefo karena banyak lahan akan ditanami ubi, atau malah kopi Batam? Oleh-oleh tentu yang unik-unik, kan? Tapi kalau yang unik, justru kopi kita sendiri yang diolah dulu oleh orang luar negeri, bagaimana pula itu ceritanya? Jadinya, persis seperti iklannya HSBC yang menyindir kita semua, ‘’mari jelajahi keunikan Indonesia”. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 18-Desember-2005, 151 Klik)

Selengkapnya...

Muda untuk Rakus Harta

‘’Manusia akan menua, tapi dua hal akan tetap muda baginya yaitu rakus pd harta & takut pd umur/takut mati.”

Saya menerima SMS ini pukul 23.23 WIB, Rabu (7/12). Kiriman dari Alquran Seluler yang mengutip hadist nabi itu jadi penyejuk. Setelah dari siangnya menerima SMS yang berbau negatif saja.

Dan saya susah untuk menghentikan cara berpikir pengirimnya. ‘’Mungkin ada udang di balik batu…” Atau yang lain.
‘’Kalau memang begitu, mengapa yang begini tidak bisa juga…” Dan ada pula yang lain. ‘’Datang lagi yang ketiga, kita siap-siaplah dimarahi…”

Sebagai orang yang tak merasa langsung, saya jawab dengan sabar, atau Alhamdulillah. Terkadang kita perlu ditunjukkan oleh Tuhan, hal-hal yang salah untuk bisa jadi berbuat benar dikemudian hari. ‘’Sabar ya. Inilah awal cobaan sesungguhnya bila memang nanti mau jadi besar.” Itu jawaban saya. Tapi dibalas pula. ‘’Yang dipegang janji, bukan hanya sekedar kehebatan kreasi.”
Maka jawaban saya seterusnya mengalir dalam untaian kata dan kalimat yang mengutip banyak pihak.

Mulai dari AA Gym, Ary Ginanjar Agustian, Purdie Chandra dan tokoh-tokoh lain yang saya lupa namanya termasuk pernah datang ke Batam, Krisna Murti dan terakhir ini Andrie Wongso. Entah di buku mana saya baca. Pokoknya, yang berbau-bau motivasi, itu yang terucap untuk menyambung SMS berbalas tadi. Eh, tanpa disengaja soal motivasi ini terkait pula dengan hajatan teman. Ada teman yang gelar seminar motivasi di Batam ini, selalu dihadiri ratusan orang.

Hebatnya, ratusan itu benar-benar bayar. Bahkan wartawan yang meliputnya pun harus pakai tiket (tentu sudah kerjasama dengan korannya). Meski pakai kartu pers, tak ada tiket seminar, tak bisa masuk. Contoh-contoh nama di atas, meski tak semuanya menyatakan motivator ulung negeri ini, yang dicari peserta adalah ilmu motivasinya. Lihatlah ketika AA Gym tampil di hotel, yang datang malah bukan muslim saja. Yang mereka cari, bagaimana AA Gym bisa memotivasi dirinya jadi pengusaha. Lalu yang diangkatnya ‘’Berbisnis dengan Hati” pula. Ruangan penuh sesak, bahkan ada peserta yang duduk.

‘’Orang-orang” AA Gym masuk pakai tiket juga. Belum lagi Ary Ginanjar dengan ESQ-nya. Tiket seminarnya saja berharga Rp1,6 juta hingga 2,7 juta. Peserta membludak hingga 500 orang. Hebatnya, dalam kurun waktu empat bulan terakhir ini, sudah tiga kali angkatan pula. Pesertanya didominasi level-level manajer ke atas.
Bahkan yang benar-benar ‘’bau bisnis” isi seminarnya tapi dengan tiket murah meriah, juga penuh sesak.

Apalagi provokasi judulnya bukan main, ‘’Mau Kaya, ya Jadi Pengusaha” Atau ‘’Cara Gila Jadi Pengusaha”. Yang gini-gini dimainkan Purdi Chandra dan kawan-kawan. Memang seminarnya hanya kelas Rp60 ribu, tapi keesokan harinya mereka buka kelas kuliah untuk jadi pengusaha. Biayanya Rp1,8 juta. Juga diminati.

Karenanya, di Batam banyak yang mengadakan seminar-seminar yang arahnya motivasi, baik untuk agama maupun bisnis, atau gabungan keduanya, benar-benar bayar tiket pesertanya, tetap bisa dijual. Tentu berbeda dengan seminar ‘’berbau” politik atau ‘’orderan” penghabisan anggaran pemerintah. Pakai SPJ pun menghadirinya, tetap tak full, dan banyak mengantuknya. Padahal untuk yang lain, gratis pula lagi.

Lantas kita berpikir. Semakin banyak yang memberi pencerahan motivasi ke Batam ini, mengapa juga tetap kita menemukan aliran pikiran selalu berbau negatif dalam setiap cara pandang kita? Di mana yang salah dalam saraf otak kita masing-masing? Adakah jadinya ini seperti simbol semata? Ketika seminar kita mengiyakannya, tapi keluar dari itu, kita mengiyakan melupakannya?

Atau mungkin kita memang seperti yang disampaikan Rasul, merasa muda bila untuk urusan rakus hartan dan takut mati? Apalagi ini Batam, tempat cari duit kan? Hingga aliran deras pikiran kita lebih dominan negatifnya. Entahlah! (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 11-Desember-2005, 170 Klik)

Selengkapnya...

Bereaksi dan Tak Bereaksi

‘’Dlm HUT PGRI, Kalla tak terima dgn puisi guru yg sebut Negara lebih lindungi komodo. Guru jangan hina bangsa sendiri, ucapnya.”

Saya terima SMS di atas Minggu (27/11) pukul 12.51 WIB beberapa menit seusai menjadi moderator penyampaian resume rapat Ombudsman Riau Pos Grup di Hotel Pusako, Bukitttinggi, Sumatera Barat. Seusai acara, bersama rombongan konvoi menuju Pekanbaru menggunakan jalan darat. Pukul 17.15 WIB kami menyinggahi ‘’Bandrek House” – di pinggir hutan Kabupaten 50 Kota arah ke Pekanbaru – lokasinya mirip hutan Genting Higland.

Sambil menikmati menu bandrek lima dimensi, kami nikmati tayangan berita televisi yang menampilkan Wapres Jusuf Kalla pidato sambil marah-marah. Hmm, ini jadi pembenaran isi SMS tersebut.

‘’Kepala jasad M Salik, bomber Bali II akan dimakamkan di Jakarta. Pasalnya, Pemda Majalengka menolak Salik dikubur di kampungnya.” Yang ini diterima Senin (28/11) pukul 12.38 WIB saat hujan menghalang saya untuk survey ke mal-mal di Pekanbaru. Dua peristiwa yang diinfokan SMS kiriman Hallo Gold itu jadi ‘’modal” pembuka suara saat berjumpa ibunda dan dua teman lama.

Yang cepat direspon ibu soal guru. Ditimpali pula bual saya tentang Jusuf Kalla yang pernah dijumpai beberapa hari menjelang pengumuman kenaikan BBM. Ibu terkesan ‘’setuju” dengan Kalla. Tersebab, banyak para guru yang dikenalnya, rata-rata makmur hidupnya. Bahkan sudah seperti dosen, datang ke sekolah pas jam pelajaran saja. Tak perlu datang jam 7 pagi lagi.

Bagaimana dengan berita bom Bali? Yang ini sepertinya dibawa kesal, kok ada yang tega-tega beridiologi aneh begitu. Tapi peristiwanya menjadikan makin parah perekonomian dan ditambah kenaikan BBM. Yang naik BBM inilah, jadi perbincangan panjang saat bertemu dua teman lama satu almamater. Ya, kenaikan BBM berimbas pada usaha mereka yakni sebagai marketing asuransi dan penjual mie ayam.

Saya salut dengan teman penjual mie ayam. Gelar sarjana S-1 tak ada tampak sedikit pun saat dia meletakkan mie dan potongan-potongan ayam ke mangkok. Dari kaca etalase dia melirik calon pelanggannya. Saat dihidangkan, baru tahu, saya teman lama.

Meski hari hujan lebat, warung mie ayamnya ramai. Memang tak seramai bila hari terang benderang. Namun di situlah kesempatan untuk bertukar pikiran. Bagaimana dia berani memutuskan untuk tak bekerja pada siapa-siapa, melainkan pada dirinya sendiri. Menjadi pemilik, pemimimpin dan karyawan sendiri. Cuma yang bisa saya masuki dalam alam pikiran barunya hanyalah, bagaimana dia mendelegasikan tugasnya hingga ia bisa membuka satu dua cabang mie ayam lagi.

Semula dijawab dengan tak bisa. Takut rasanya beda. Pelayanannya beda. Diceritakannyalah, bagaimana dia punya pelanggan yang harus makan mie ayam di tempatnya, baru puas hati. Bila mie ayam dari tempat lain, maka ditolaknya. Namun setelah saya balik cerita perbandingan teman kuliah kami yang sekarang punya 36 toko mainan anak-anak dengan omset Rp1 miliar per bulan, barulah terbuka pikirannya.

Reaksi terbuka pikiran itu, malah bukan hanya sekedar bisnis mie ayam saja bakal dilakoninya. Juga bisnis pulsa dan bimbingan belajar. Bisnis pulsa karena dia telah lama memantau banyak anak kos sekitar rumahnya yang memiliki handphone, dan di rumah ibunya, masih ada ruang kosong bisa digunakan. Bimbingan belajar, karena calon istrinya, seorang guru dan masih ada ruang kosong lagi di rumah. Tersebab, kini hanya dia dan ibunya yang tinggal.

Lantas apa nasehat saya yang harus dilakukan pertama? Tentu jawabnya mudah, menikah dulu. Alasannya, banyak teman saya, baru niat menikah saja rezeki datang bertubi-tubi. Si teman pengusaha mie ayam itu tertawa ngakak.

Saya tersenyum geli mengingat ini semua. Kalla bereaksi cepat saat di acara formal, dan berani marah-marah pula. Eh, teman saya baru saya ‘’ceramahi” dari mengutip ceramah orang, juga segera bereaksi percaya diri. ‘’Udah tukar cincin aku,” tegasnya setelah menghentikan tawanya. ‘’Besok aku beli cat. Warna merah untuk jual pulsa cocok itu,” katanya pula.

‘’Bang, pa kbr? Kpn ada waktu kita discuss ttg bisnis. Oh ya, sy skrg pake no ini.” SMS ini diterima Rabu (30/11) pukul 14.55 WIB saat baru tiba di Batam lagi. Ya, rutinitas Batam dengan semua yang ‘’berbau” bisnis, masuk lagi. Dan SMS tersebut, baru terjawab di sela-sela menulis kolom ini. Hmm… (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 04-Desember-2005, 163 Klik)

Selengkapnya...

Ragu-ragu Rezeki

'’Bang, kalau ada waktu tengok aja rumahnya hari ini.
Murah kok. Nanti tanggal 5 saya ke Batam, kita
ngobrollah.”


Saya terima SMS tersebut pukul 20.39, Jumat (25/11). Seorang sahabat yang sudah banyak jadi mantan pada berbagai perusahaan. Termasuk mantan mitra saya. Namun untuk silaturahmi antar pribadi, tidak mantan.

Bahkan saat saya ke Jakarta, dia mau menemani makan mie goreng kaki lima di sebelah Hotel Ibis Slipi, Jakarta. Kembali ke Jakarta di kampungnya sendiri, tapi hatinya tetap di Batam. Betapa tidak, rumahnya dikontrakkan. Dan karena ‘’kepepetlah” harus dijual. Sayalah yang ditawari, bahkan dengan penuh cara kekeluargaan. Bisa beberapa kali bayar.

Huh, saya yang dibuat ragu. Ragu itulah yang menjadi ‘’kerja” saya belakangan ini. Ragu memutuskan sesuatu di tempat kerja. Ragu memutuskan sesuatu untuk masa depan, namun harus diputuskan masa sekarang. Atau malah menerima ragu-ragu dari berbagai pihak yang saya diminta untuk memberi saran. Eh, saran saya juga penuh keraguan. Uniknya, keraguan saya dan teman itu selalu banyak menyangkut rezeki. Baik langsung atau pun tidak langsung. Terkadang aneh juga memandang hidup ini. Ketika dapat jabatan enak, eh, kita ragu dengan kemampuan.

Ketika sudah dirasa, eh, kita ragu dengan pendapatannya. Ketika pendapatan oke, kita ragu dengan kemampuan orang yang jadi mitra kita. Begitu seterusnya, ragu muncul terus. Kadang yang ditakutkan keraguan tersebut akan berujung pada prasangka. Saya terkesimak sendiri ketika kiriman SMS Alquran Seluler mengingatkannya. ‘’Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda: Jauhilah prasangka karena prasangka itu informasi/ucapan yang paling dusta.” Malah bisa jadi karena prasangka itu, kita memangragu dengan diri sendiri hingga orang lain.

Malah tak bisa jauh, ragu pun akhirnya terwujud sendiri. Ragu sukses, ya, gagal. Ragu menang, ya, kalah. Ragu untung, ya, rugi. Khusus untuk ragu untung, ragu rugi ini pekan lalu saya dapat pelajaran berharga dari sebuah seminar yang saya ikuti. Kata dua pembicaranya, kalau sebagian besar pikiran kita ragu dapat untung, ya, memang usahanya akan rugi. Karena pikiran, katanya, akan secara bulat mensugesti (ini bahasa saya) dalam kenyataan. Tersebab, pikiran itu akan membuat kita jadi pesimis, yang meloyokan kita untuk optimis.

Yang tergambar dalam gerak kita mencapai untung itu, yang tak dinamis. Yah, begitulah seterusnya, yang pokoknya negatif. Saya mengasumsikan sendiri cara pandang seperti itu dalam melihat orang buta. Pernah suatu kali saat sholat Ashar di Masjid Raya, saya lihat orang buta dengan gagah berani mengambil shaf terdepan.

Dia hanya dituntun tongkatnya karena tongkat dan kakinya tak merasakan lagi ada karpet, disitulah dia berhenti dan tanpa menyenggol jamaah lain. Saya malu sendiri, saya justru mengambil shaf di tengah, padahal ruang kosong di depan bukan main banyaknya. Lalu bagaimana ragu yang terkait langsung dengan rezeki? Uniknya, Kamis dan Jumat (24-25/11) saya menerima SMS yang terkait itu.

Yang pertama ini,”Tuhan melapangkan/menyempitkan rezeki bg siapa yg Ia kehendaki. Tiada apapun yg kamu nafkahkan yg tdk digantiNya. Ia-lah sebaik2 pemberi rezeki.QS.34:39.” Yang kedua panjang mengutip Sabda Rasulullah SAW tapi saya persingkat begini,”…Dan Allah selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya. HR Bukhari-Muslim.” Haruskah kita terus ragu dengan diri kita sendiri atau orang lain? Mungkin sulit menjawabnya. Maaf, tak terkecuali saya sendiri. Apalagi masuk SMS yang mirip dengan tawaran rumah di atas. ‘’Jadi beli barangnya? Bisa DP 35 jt, sisanya dua bulan lagi.” Ya, Allah bagaimana menjawabnya? (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 27-November-2005, 203 Klik)

Selengkapnya...

Belajar Mengejar Ilmu Ikhlas

”Coba pak minta bantuan Aripin. Itu bisa cablenya atau didisablekan networknya.”

Saya menerima SMS di atas tepat pukul 8.41 WIB, Sabtu (19/11). Sudah sampai di ruang kerja pukul 8.15 WIB. Terbuang sia-sia waktu 26 menit hanya untuk memulai mengetik tulisan ini, karena jaringan online di komputer ngadat. Uniknya, hanya milik saya.

Tapi syukurlah, SMS tadi justru membuka mata saya untuk menjadikannya alinea pembuka. Kalau tidak, mungkin lebih dari 26 menit untuk mendapatkannya. Sama terkadang, agak sia-sia menunggu pukul 21.30 setiap Ramadan lalu, hanya untuk menyaksikan ‘’Kiamat Sudah Dekat”, tapi nyatanya sering molor 15 hingga 20 menit. Namun apa yang didapat, sungguh tak sia-sia dengan kesabaran tadi. Dan inilah yang hendak dibicarakan, ilmu ikhlas.

Pengalaman pribadi saya memaksa untuk belajar ilmu ikhlas yang ‘’disindirkan” Dedy Miswar dalam sinetronnya itu. Betapa tidak, ketika saya harus menerima berbagai keputusan dan kebijakan dari pimpinan dengan lapang dada, meski sebenarnya pembahasan sebelumnya lain. Atau ketika banyak hal harus saya ketahui, tapi nyatanya tak ada yang menginformasikan. Atau malah, ketika saya harus menyerah mengambil keputusan, minta yang di atas untuk mencari jalan keluarnya.

Sepertinya memang benar selalu diingatkan para alim ulama, satu bulan Ramadan hanyalah arena kawah candradimuka. Yang lebih berat dari itu adalah, 11 bulan berikutnya. Eh, baru beberapa hari lepas dari Ramadan, justru yang dihadapi kita lawan dengan ketidaksabaran dan keikhlasan (utamanya saya).

‘’Udah, nonton aja Kiamat Sudah Dekat, sekarang tiap malam Jumat jam 20.30 WIB.” SMS ini jadi hiburan penyejuk hati. Datangnya pun dari keluarga di Sumatera Utara atau Riau. Sama persis yang sudah saya sampaikan kepada beberapa teman, via lisan bukan SMS. Tapi apakah ilmu ikhlas itu?

Rasanya, kalau yang baru mau niat nonton itu sinetron, tak ngerti-ngerti. Saya sendiri pun kurang memahaminya. Ketika dialog Pak Haji dan Fandy yang menjadi puncak kemenangan Fandy merebut Sarah, tak terekam jelas di otak saya. Padahal adegan itulah diterimanya kebenaran ilmu ikhlas. Padahal juga sebelum disinetronkan, saya sudah menonton film layer lebarnya berkali-kali.

Makanya, ketika nonton terus sinetronnya dan telah melewati dialog Pak Haji dan Fandy itu, maka ‘’hilanglah” ilmu ikhlas tersebut. Yang terekam hanyalah suasana soal bagaimana kedua calon besan berebut ingin anak dan menantunya tinggal di rumah mereka. Atau adegan Saprol dan Kipli yang tak setuju ayah Kipli menikahi ibu Saprol. Mana ilmu ikhlasnya?

Sepertinya adalah, kesungguhan lalu disempurnakan dengan kesabaran yang diliputi kepasrahan Fandy berjuang merebut Sarah. Lalu ketika dia memainkan jurus untuk ‘’membelokkan” cara berfikir orangtuanya agar mendekati cara berfikir calon mertuanya. Atau bagaimana dia mengkombinasikan hal tersebut. Rasanya itu juga dirasakan Pak Haji, yang tak juga memiliki teori tentang ilmu ikhlas. Juga oleh lawan Fandy untuk merebut Sarah meski mahasiswa universitas ternama di Mesir sana.

Hah, benarkah itu ada di dunia nyata? Masing-masing kita akan mengalaminya sendiri. Dalam kadar yang berbeda-beda. Malah mungkin menurut pribadi kita, tidak dalam konteks ikhlas atau tidak, sabar atau tidak, pasrah atau tidak. Karena kita terus menjalani hidup ini hingga batas akhir, dalam gelombang emosi yang terkadang susah dikendali. Hanya orang-orang yang melihat kita di luar gelombang yang bisa mengingatkan.

Saya kutipkan SMS kiriman Aquran seluler ini 13 November lalu. ‘’Sahl bin Sa’d ra: Sabda Nabi: Siapa yg memberikan jaminan kpdku untuk menjaga lisan & kemaluannya, aku akan memberinya jaminan surga.” Astagfirullah! Maaf, saya juga masih belajar dan mengejar ilmu ikhlas. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 20-November-2005, 300 Klik)

Selengkapnya...

Akal-Akalan yang Milih Pemimpin

‘’Udh berada di mana, bang? Gak jalan2 ke Siantar? Cari roti ganda?’’

Sungguh Lebaran kali ini jadi sesuatu yang lain bagi saya pribadi. Bayangkan saja, mau-maunya ‘’hidup’’ lagi di rumah mertua selama dua pekan cuti di Kisaran, Sumatera Utara.

Melupakan kenikmatan naik mobil dengan supir yang selalu stanby. Diganti dengan motor pinjaman kakak ipar, naik mopen (metro trans di Batam) atau becak motor untuk menuju kota yang berjarak lebih kurang 15 km. Baru dapat sinyal handphone yang oke, dan senangnya memburu makanan kesukaan, mieso bacok.

Saya juga menemukan hal yang sudah saya perkirakan dalam tulisan sebelumnya, krisis akan mudah dilewati rakyat Indonesia. Di Kisaran yang ibukota Kabupaten Asahan itu, harga BBM tinggi disiasati dengan naik sepeda motor. Saat bersilaturahmi di hari Lebaran, motor mendominasi jalan. Berkonvoi-konvoi. Hingga mopen pun jadi kosong melompong.

Bahkan sebelum Lebaran, arus mudik dari Medan menuju Kisaran dan Tanjungbalai Asahan atau sebaliknya, dipenuhi sepeda motor. Saya bisa menyaksikan dengan mudah karena teras rumah mertua, hanya berjarak lima meter dari jalan lintas Sumatera itu.

Tak kena krisiskah rakyat kita? Nyatanya tidak. Mereka banyak akal. Naik bus mudik mahal, diganti kereta api. Naik angkot mahal, ambil kredit motor dan ke mana pergi lebih hemat. Daripada kena Rp12 ribu pulang pergi (pp) untuk ke kota dari rumah mertua, lebih bagus beli bensin seliter Rp 5 ribu (eceran di jalan), tak akan habis seharian mengunjungi sanak famili. Bisa terangkut sekalian istri dan dua anak saya. Yang lain malah, bisa terbawa tiga dan empat anak, tentu ada yang digendong karena masih bayi.

‘’Aman minyak tanah di Batam? Kalau di Sumut ini, banyak yang pakai kayu, hingga tak terlalu antri di pangkalan.’’ Yang ini sindiran serius, supir taksi yang mengantar kami dari Bandara Polonia ke Kisaran. ‘’Kapal kami di Tanjungbalai sekarang lebih banyak pakai minyak tanah, bang.’’ Adik ipar saya mengungkapkan pula akal lain. Dia bekerja di pembuatan kapal kayu.

Lalu cerita berlanjut dengan tak ada mafia lagi - rupanya penyeludupan kayu dan gula maksudnya - hingga cerita musnahnya judi togel. Ujung-ujungnya tersebutlah nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan gebrakan Kapolri baru.

Jadi apa bahan obrolan saya? Tentu soal duluan saya tahu angka persis naiknya harga BBM satu minggu sebelum diumumkan 1 Oktober 2005. Tersebab, saya sudah berjumpa Wapres Jusuf Kalla bersama teman-teman lain se-Jawa Pos Grup (pernah diungkapkan dalam tulisan sebelumnya).

Cerita pun jadi ngelantur pada ‘’harumnya’’ Golkar (bosnya JK juga kan?) yang akhirnya ‘’berkuasa’’ lagi di Kabupaten Asahan dengan mempertahankan kursi bupati. Dan saya menemukan tanda tangan orang JK sekaligus Golkar di sebuah masjid. Masjid itu dalam lingkungan usaha Bakrie Grup. Tentu Anda tahu siapa yang saya maksud, terkait Menko Ekuin, Aburizal Bakrie. Tapi yang neken ibundanya tahun 1988. Nama masjidnya pun unik, Al-Bakr. Kata pengurusnya, masjid ini pernah jadi yang terbaik di Sumatera Utara.

Malah saya menemukan baju Golkar yang bertuliskan lengkap nama Ir Aburizal Bakrie dipakai masyarakat sana. Meski sebenarnya tak ada kait mengait langsung dengan pencoblosaan caleg karena saat pemilu dulu, Aburizal bukan berada di daerah pemilihan sana. Ini yang menggelitik mata saya. Di saat para pakar dan pendemo di sana mengkritik Aburizal, di sini namanya justru sangat harum.

Bahkan perusahaan Bakrie Sumatera Plantation (BSP) di mana mertua dan abang-kakak ipar saya bekerja, masih bisa tetap memberikan kebahagian Lebaran yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Ada keyboard (hiburan musik) tiap malam. Lapangan golf yang boleh dipakai untuk menggelar tikar dan makan siang bersama. Dan terpenting THR masih selalu dibarengi dengan pemberian bonus. Jadi karyawan BSP menyambut ..hari kemenangan dengan tiga bulan gaji. Satu THR, dua bonus. Siapa yang kena krisis?

Lantas di mana Presiden SBY dibicarakan? ‘’Inilah perubahan yang dijanjikan SBY. Kabarnya, lepas Lebaran ini mau bikin bensin jadi 7 ribu. Mau sama persis dengan Singapura. Berapa lagi ongkos mopen dibuat?’’ Ini kekesalan supir mopen yang kami tumpangi. ‘’Mau tahu singkatan baru SBY-JK? Senang Bikin Yayangnya Jalan Kaki’’ Saya tersenyum geli pada SMS ini dengan kata ‘’Yayang”-nya. Jadi ingat lagu setiap Idul Fitri.

‘’Selamat para pemimpin, rakyat makmur terjamin.’’
Siapa yang dipilih, siapa yang dimakmurkan (disayang?). Kata ini saya tiru dari anak saya, ketika dia minta dibikinkan mie goreng tapi ditolak ibunya. Dibalasnya pula, ‘’siapa yang minta, siapa yang makan’’. Jadi yang memilih, selalu menderita? Ya, kalau tak kita sendiri berusaha mengubah nasib kita! (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 13-November-2005, 08:40:00 202 Klik

Selengkapnya...

Perjalanan Bertanya

‘’Anas ra: Kami pernah tempuh perjalanan jauh bersama Rasul di bulan Ramadan. Orang yang berpuasa & yang berbuka dlm rombongan tidak saling mencela.”

MAAF pembaca, saya mengetengahkan alinea pembuka dengan SMS soal perjalanan. Saat Anda membaca tulisan ini, saya Insya Allah sudah tak berada dalam lingkup peredaran Batam Pos. Saya telah pulang kampung. Ikut arus mudik di Kisaran, Sumatera Utara, kampung istri.

Yang saya risau berada di sana, soal sinyal handphone yang sudah bisa bagus ditangkap, kayaknya akan dirasakan. Bisa jadi, banyak di antara Anda akan mencoba untuk meng-SMS saya. Saya kini telah berada dalam lingkungan yang sebenarnya ingin saya dambakan tanpa gangguan krang kring HP. Namun sayang, teknologi telah memasuki seluruh pelosok kota yang tiga jam perjalanan dari Medan ini.

Tapi Anda jangan mengira, tulisan ini dibuat saat saya berada di sana. Bukan, tulisan ini diketik malah jauh sebelum saya dan keluarga berangkat. Pengandaian akan banyak dipakai dan terasa dalam denyut tulisan.
Kami semua telah membayangkan akan berburu kereta api dari Medan. Lalu berebut naik mopen (metrotrans kata orang Batam). Atau malah bisa jadi, naik motor bertarung dengan bus-bus cepat lintas Sumatera yang lewat di depan rumah ibu mertua saya.

Saya telah membayangkan, kini giliran anak kedua (2 tahun 7 bulan) yang akan bertanya mengapa setiap turun dari mopen harus membayar. Sama persis seperti yang ditanya anak pertama (5 tahun 3 bulan), saat dua tahun lalu kami berlebaran di Pekanbaru. ‘’Sama om Lamsir, Udin dan Tomy tak bayar. Kok di sini bayar?” Saya yakin itu akan ditanyakan si kecil. Kalau tak terucap, pasti matanya menanyakan hal itu.

Tentu saja dia akan bertanya, mengapa kami harus berdesak-desakan dengan penumpang lain. Mengapa tak seperti di Batam, saat hanya kami sekeluarga saja yang ada di mobil milik kantor. Dan yang paling penting bagi si kecil, mengapa mobilnya tak ber-AC. Mengapa harus dibuka terus kacanya hingga rambutnya berterbangan ditiup angin?

Wuih, hal-hal seperti itu saya harap didapat kedua buah hati. Ada pertanyaan-pertanyaan mengapa begini, begitu? Malah bukan hanya pertanyaan soal mengapa harus naik pesawat, lalu kereta api, seterusnya mopen, dan motor, tapi mengapa banyak sekali saudara sepupunya? Mengapa ibunya juga kok banyak? Dan mengapa juga, ibunya kok mirip dengan ibu lain yang dia panggil? Yang terakhir maklum pembaca, istri saya kembar!

Atau juga pertanyaan lain yang tak kalah penting, mengapa nenek Kisaran tak ada datuk, kok nenek Pekanbaru masih ada datuk? Malah bisa lebih dahsyat lagi, kok nenek Kisaran merokok seusai makan? Untuk malam hari, kok banyak nyamuk di rumah nenek? Bunyi apa itu? Kodok? Kok kamar tidurnya gak ada AC?

Kami akan membiarkan kedua buah hati kami dalam lingkup beda. Tahun lalu kami berlebaran di tengah perpaduan suasana kampung dan teknologi tinggi di sepanjang Malaysia. Kami biarkan mereka bertanya-tanya sendiri.
Lantas bagi saya berdua istri apa? Tentu mudik kali ini jadi cara pengabdian kami. Menghadirkan cucu-cucu yang degil ke hadapan neneknya. Meriuhkan lagi rumah yang sepi dari suara anak-anak untuk mengeluarkan senyum dan menghapus rindunya. Dan tentu saja kata maaf atas semuanya itu.

Namun saya dan istri punya kegemaran sama, kami mengincar makanan khas Kisaran. Namanya Mieso Bacok. Itu mirip seperti bakso tapi tak pakai bakso yang bulat-bulat. Diganti dengan suir-suir ayam, yang sengaja dibacok dengan pisau besar seperti parang. Miriplah dengan soto. Tapi kuahnya rasa lain. Apalagi ini dipanaskan di tungku menggunakan arang. ‘’Kapan janji makan pempek pak raden di batam centre? Saya harus memendam lama untuk menjawab SMS ini. Hmm… (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 30-Oktober-2005, 229 Klik)

Selengkapnya...

Malu Hati

‘’Apa kabar, De. Sehat? Bagaimana pekerjaannya? Masih kuat bersafari ramadan?”

BARU kali ini, saya merasakan betul manfaat SMS bernada seperti di atas. Biasanya saya anggap angin lalu saja. Utamanya tentang sehat. Setelah dua hari sempat sakit dan tak berpuasa karenanya, kata sehat dari SMS itu terasa jadi doa. Amien!

Tersebab itu pulalah, tulisan saya pekan lalu mungkin jadi ‘’aneh” bagi yang terus mengikuti alur beberapa pekan sebelumnya. Maaf pembaca, judul ‘’Ayahku Badut” pekan lalu itu telah terbit pada 8 Februari 2004 di Posmetro Batam. Saya terpaksa mengulang terbit lagi, karena pikiran saya tak mampu lagi berkompromi dengan kondisi tubuh yang menurun.

Namun uniknya, respon yang masuk sungguh banyak. Saya jadi malu hati sendiri dinasehati berbagai petatah petitih soal anak. Malah ada juga pembaca menyangka, saya ini sebenarnya ‘’pelarian” saja dari apa yang diberikan Tuhan. Atau juga ada yang menyelutuk, tak bisakah menulis yang lain saja dari luar kehidupan saya. Yang terakhir, mungkin susah saya hindari. Inilah ciri khas. Hm…

‘’Aku doakan lima tahun lagi dah bisa jadi caleg. Salut untuk safari ramadannya.” Ih, ini juga bikin malu hati. Tak ada niat acara safari Ramadan Batam Pos untuk target menjadi caleg. Wuih, jauh dari relung hati. Tapi mau tak mau, SMS itu ‘’termakan” hati juga. Karena itu, saya tak menghadirinya tiap malam. Dibuat bergiliran dari awak Batam Pos terutama redaksi.

Malah, masing-masing kami menemukan perjalanan batin yang berbeda-beda. Ada yang teringat saat masih di kampung sering tampil di mimbar masjid, grogi kini saat tampil. Atau ada juga yang tak pernah pegang mikropon di masjid sama sekali, mulai ‘’nagih” untuk kapan lagi tampil. Atau saya sendiri, yang paling tak bisa berpidato di depan umum, kabarnya, jadi pidato saya yang paling singkat dibanding teman-teman lainnya. Terlebih lagi seusai pidato, untuk pertama kali pula dalam hidup saya, sholat tarawih dan witirnya 23 rakaat.

Kami semua diajar malu hati, tak ada apa-apanya tanpa masyarakat pembaca. Karenanya wartawan harus terjun ke masyarakatnya. Menerima keluh kesah soal air, listrik bahkan BBM. Ini tentu saja kami dapatkan setelah diskusi seusai tarawih. Dan itu akan jadi perenungan dalam lagi untuk tahun depan. ‘’Bila perlu tiap malam dua masjid, bang!”.

Saya merenungi dalam hati soal dua masjid tiap malam itu. Tersebab, satu masjid tiap malam saja selama 25 hari, terus terang sudah ngos-ngosan. Baik biaya maupun tenaganya. Apalagi dua malam. Dan malah, rasanya safari Ramadan Batam Pos lah yang terlama dibanding tim safari lain.
***

‘’Benar juga tuh tulisan tentang harga bensin 4.500.” Ini juga SMS yang bikin malu hati. Mengingatkan saya tulisan tentang perjumpaan dengan Wapres Jusuf Kalla yang terbit sebelum harga BBM naik 1 Oktober. Saya makin malu hati karena tahu, tukang bakso langganan saya terlambat saya beritahu. Hingga dia tak bisa menyetok minyak tanah. Lalu saya yang tak bisa makan baksonya hingga jelang Ramadan tiba.

Baru hari kedelapan Ramadan dia jualan. Bakso yang gerobaknya diberi nama Juventus itu pun, membuat saya malu hati. Tersebab, ingin ‘’menolong” malah saya yang tak tertolong untuk mampu menahan perut dari kelebihan beban. Besok, dua harinya saya tumbang karena dehidrasi menyusul sering buang air. Terasa nikmat ketika SMS begini datang dalam tahap penyembuhan termasuk saat menulis ini. ‘’Gimana, dah sehatkan? Kapan THR diterima? Kapan teman dibagi?” (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu 23-Oktober-2005, 349 Klik)

Selengkapnya...

Ayahku Badut

APA rasanya punya dua gadis kecil, sulung usia 5 tahun tiga bulan dan si kecil 2 tahun 7 bulan? Lucu dan membuat kita digelari “ayahku badut”.

Itu yang saya alami. Sama saja rasanya, dapat anak lelaki atau perempuan. Tiap malam juga bisa smackdown. Sungguh, saya beda pandangan dengan mereka yang tetap menginginkan sepasang. Enak ya, De, dapat anak perempuan. Aku ingin perempuan, yang dapat laki-laki terus.

Tersenyum geli baca sms yang diterima 10 bulan lalu. Padahal yang saya dapat justru tetap sama dengan pertama, perempuan. Tak jua sepasang. Saya hanya tersentuh menyangkut perempuan atau lelaki ketika solat jumat saja. Bila datang bisa membawa anak lelakinya ikut ke masjid, saya tidak. Bahkan saat solat Idul Adha lalu, berpisah dengan sulung, karena dia harus berada di shaf perempuan.

Kembali ke ayah badut, dalam buku Menjadi Ayah yang Sukses, memang harus itu yang terjadi. Kata pengarangnya, Adil Fathi Abdullah yang mengutip banyak hadis, seorang ayah mesti serba bisa. Termasuk juga bisa puisi, prosa dan lain-lain yang sifatnya menghibur. Cuma tak di tegaskannya saja jadi badut.

Saya sendiri merasa tak lucu, apalagi di depan 80 karyawan yang lebih dua pertiga waktu harus dipikirkan.Kadang, “memaksa” wibawa, padahal ingin apa adanya. Makanya, kini sangat tak ingin terlalu dekat dengan 80 karyawan itu diluar jam kantor. Termasuk untuk acara keluarga yang digelar kantor. Lebih menikmati liburan dengan yang lain saja. Bayangkan saja, acara liburan harus tetap wibawa?

Tapi sungguh senang digelari anak sendiri, badut. Ayah kayak badut. Ayah tak boleh ke Lombok lagi. Nanti capek. “Si sulung saya, menyampaikan hal itu dengan merengut suatu ketika. Tapi disaat lain, dia akan mendatangi badutnya untuk merebahkan kepalanya dilengan sang badut, lalu tertidur pulas. Begitu setiap malam.
De, tak usah perpanjang kontrak aku. Aku mau bawa anakku berobat ke Surabaya. Kalau diperpanjang nantimemberatkan perusahaan.

Penyelesaian yang bagus bagi saya. Angka 80 telah berkurang1. Selesai juga program menghapus KKN, karena karyawan ini adalh teman satu kuliah. Tapi juga sedih. Dia kini harus memasrahkan diri untuk benar-benar jadi ayah badut bagi anaknya yang autis. Ia harus bisa mendampinginya bukan sekedar kata setiap hari, melainkan setiap detik. Siap jadi badut, yang ikhlas bergembira meski hati sendiri sedih. Pertengahan Februari ini harus ternang dari Tanjungpinang menuju Surabayayang kabarnya punya klinik autis terbaik di Indonesia.

Saat tulisan ini dibuat, terus terang air mata ingin keluar. Membayangkan hanya janji yang bisa diberikan ketika bermaksud mencarikan buku tentang autis di Gramedia Batam. Apatah lagi membayangkan perjuangan menjadi ayah badut pada anak yang susah ditebak emosinyatersebut. Beda dengan saya, yang bisa benar-benar dianggap dan berprilaku seperti badut oleh dua buah hati – apalagi perut saya yang makin tambun – hingga terkadang capek sendiri.

Sungguh hebat, si teman dari tanjungpinang itu berjuang demi anaknya. Tak ada apa-apanya dengan saya yang hanyabisa bersikukuh di hati, melaksanakan SMS kiriman alquran seluler ini: Rosulullah bersabda: Warisan bagi Allah Azza wajalla dari hambaNya yang beriman adalah putra-putri yang sholeh (beriman pada Nya) (Aththahawi). Persepsi saya, ternyata, Allah tak membedakan laki-laki dan perempuan, punya kesempatan sama! Dia hanya menginginkan kita menjadikannya anak yang sholeh. Entah dengan cara kita jadi badut, atau tidak. Terserah!*** (pernah terbit di Posmetro Batam, dan Batam Pos , www.harianbatampos.com, Minggu 17-Oktober-2005, 402 Klik)

Selengkapnya...

Puasa Berprasangka

”Untuk sikap & kata yg tak terjaga, hati yg buruk sangka, dg ikhlas kami mohon maaf. Marhaban ya Ramadan.”

Beruntunglah saya yang huruf awal nama, ‘’A”. Betapa tidak, dalam daftar di HP berbagai teman tentu nama saya secara otomatis ditempatkan teratas. Dari orang yang semula tak niat untuk meng-SMS khusus Ramadan, jadi teringat. Karenanya SMS seperti di atas terasa sangat menyesakkan daya tampung HP saya.

Maaf, saya membalasnya lambat sekali. Padahal ada yang sudah mengiriminya tiga hari jelang Ramadan. Balasannya malah beberapa detik jelang dimulainya imsak pertama.

Uniknya, dari puluhan SMS Ramadan yang masuk tersebut, rata-rata isinya terkait dengan hati. ‘’…izinkan kedua tangan bersimpuh maaf utk lisan yg tak terjaga, janji yg terabaikan, hati yg berprasangka & sikap yg pernah menyakitkan…” Ini contoh lainnya.

Hati yang berprasangka? Mengapa selalu begitu? Sepertinya telah dalam masuk dalam relung-relung raga kita. Hingga bukan hanya dalam hidup bertetangga, dunia kerja hingga ke negara. Kita selalu dalam lingkup hati berprasangka. Konotasinya tetap jelek. Curiga, bahkan untuk kebaikan sekalipun.

Meski tayangan televisi telah menampilkan sinetron azab sebelum kubur lalu diselipi berbagai petuah tokoh kondang, tetap saja kita lebih berprasangka negatif. Bahkan, kita juga banyak mengikuti seminar-seminar motivasi, tetap saja prasangka selalu kita ke depankan yang negatifnya.

Padahal hidup lebih banyak nikmat dengan energi positif. Contoh terdekatnya, bagaimana tetap berbahagia dalam ketinggian harga BBM. Kan masih banyak teman-teman kita yang dapat kompensasi Rp100.000 per bulan? Bayangkan, bisa jadi seumur-umur mereka belum pernah dapat uang pemerintah dan mengambilnya di kantor pos pula. Ada yang malah dijadikan modal usaha.

Atau ada yang bisa mempropaganda untuk gaya hidup emat energi. Naik sepeda ke kantor seperti yang dilakukan beberapa tokoh di nusantara termasuk Batam, misalnya. Bukankah itu juga cara berprasangka positif untuk menterjemahkan sesuatu yang negatif?
***

Alhamdulillah, kita sudah dipertemukan lagi dalam atmosfer untuk berprasangka positif, Ramadan. Bayangkan saja, tidurnya orang berpuasa saja ibadah apalagi seluruh sikapnya yang tetap dialiri ion-ion positif.
Seterusnya kita akan merasa sangat kecil sekali, apalagi hanya untuk menyembunyikan secuil prasangka negatif di hati. ‘’Krn sungguh, Ia mengetahui apa yg rahasia dan apa yg lbh tersembunyi. (QA.20:7)”.

Dan saya pun, juga kita semua diingatkan oleh SMS yang dikutip dari hadis nabi berikut ini. ‘’Abu Hurairah: Sabda Rasul: Allah berfirman: Semua amal ibadah anak Adam utk dirinya kecuali puasa, ia utkKU dan Akulah yg membalasnya (M).”

Tafsiran saya, kita diwajibkan untuk berprasangka positif pada hitungan-hitungan Allah terhadap puasa kita. Semoga sebulan, akan mempositifkan kita untuk 11 bulan berikutnya. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 9-Oktober-2005, 248 Klik)

Selengkapnya...

Peluang Intuisi Kesabaran

‘’Bakal seru! The Pesimist sees the difficulty at every opportunity. The optimist sees the opportunity at every difficulty.”

SAAT bersama teman-teman se-Jawa Pos Grup jumpa Wapres Jusuf Kalla (JK) 24 September lalu pukul 19.30 WIB, hati saya sebenarnya bangga bercampur miris. Bayangkan saja, saya bisa makan dan minum dalam piring dan gelas yang berlambangkan garuda dan tertulis ‘’Istana Wakil Presiden RI”. Ingin rasanya membawa pulang. Tapi di sisi lain, siapa yang tak tergetar hati ketika mendengar bensin bakal jadi Rp4.500 per liter?

Jadi, celutukan saya siang harinya saat masih di Batam dalam acara keluarga Batam Pos, saya akan menjumpai JK dengan membawa misi penurunan harga BBM, hanya gombal belaka. Saat JK meyakinkan kami semua BBM bakal naik sedemikian tingginya, terutama saya, sudah kekenyangan menikmati sop konro. Lalu ada ikan bakar yang pakai sambal terasi, dan lalapan potongan mangga muda. Belum lagi ikan teri yang didatangkan khusus dari Makassar sana. Tak kuasa lagi untuk bertanya, tak bisakah tak naik?

Belum lagi ditambah argumen-argumen JK yang ‘’memaksa” pikiran rasional kita mengangguk sendiri. Membenarkan apa yang dilontarkannya. Sungguh, JK jadi kombinasi seorang Wapres dan pedagang. Makanya, ketika cara berpikir itu dan analisanya soal BBM saya lemparkan ke seorang teman, maka jawabannya, SMS di atas tadi. Yang intinya; di mana ada kesulitan di situ ada peluang.

***
Rasanya kita memang memasuki lagi masa krismon. Namun krismon yang kita tetap banyak mendatangi mall-mall. Yang kita mungkin hanya sebentar ikutan dalam gaya penghematan. Bisa jadi hanya satu dua hari saja kita berhemat lampu, tak menghidupkan AC, atau ada yang berani coba-coba ‘’turun” dari mobil pribadi ke umum.

Seterusnya nanti, kita akan terbiasa. Biasa dengan harga BBM yang baru ini, dan biasa juga dengan dampak-dampaknya terhadap harga-harga kebutuhan kita yang lain. Selanjutnya secara tak kita sadari pula, kita menganggap – tentu suatu saat—harga-harga itu justru lebih murah. Itu terjadi ketika pemerintah lagi-lagi akan menaikkan BBM.

‘’Dalam bisnis seringkali Anda tdk punya waktu berpikir. Pekerjaan rumah banyak sekali. Anda harus mengandalkan intuisi yg bersih hambatan dari pikiran Anda.” Saya terima SMS ini, empat hari setelah jumpa JK. Kiriman dari ESQ reminder. Intuisi apalagi nak kita lakukan dengan harga BBM seperti itu? Yang tak kuat membeli minyak tanah, mungkin intuisinya bakal langsung mencari kayu bakar? Atau yang biasanya naik motor bakal membuat gerakan, separuh jalan ke kantor pakai motor, separuh lagi jalan kaki? Atau malam hari tak usah hidup listrik, tak usah nonton tv, langsung tidur saja?

Rasanya terserah, persepsi kita menemukan intuisi itu. Namun mungkin yang paling hebat tetaplah intuisi pedagang. Mungkin akan keluar alat penghemat bensin bagi motor dan mobil? Juga makin canggih, alat penyetel hemat listrik? Atau ditemukan ramuan pengganti cabe, tapi harganya jauh lebih murah?
***

Mengapa dinaikkan? Kita sebagai pengkonsumsi sebenarnya tak peduli alasan apa. Tapi naiknya kebutuhan primer, bagaimanapun pasti menyesakkan.

Namun mendengar JK menyebut angka-angka rasional perbandingan jumlah penduduk dengan pemakaian energi, lalu diceroki pula jumlah energi minyak dan gas kita ternyata tak milik kita sepenuhnya, maka peninglah kepala. Belum lagi ditambah, oknum pengelola minyak kita sedemikian korupnya.

Pening kepala itu, sudah diungkapkan banyak orang di berbagai tempat dengan mendemo. Tak terkecuali, momen pengumuman 1 Oktober dinilai kurang tepat. Beberapa hari kemudian puasa Ramadhan pula. Apa nak tega? ‘’Demo paling-paling sebulan, apalagi BBM-nya belum naik, demonya udah duluan.

Lalu tanggal 4 atau 5 udah puasa. Masak puasa tak bisa menahan sabar?” Hmm…untuk menghemat energi, saya tak akan merevisi tulisan ini pada 1 Oktober, cukup hingga 30 September 2005 pukul 08.57 WIB walau batas waktunya masih ada. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 02-Oktober-2005, 211 Klik)

Selengkapnya...

Bekerja Keras untuk Siapa?

‘’Hai manusia! Kau sungguh bekerja keras menuju Tuhanmu dan kau akan bertemu dengan-Nya (QS. 84:6)”

SUDAH tiga hari Minggu saya punya kegiatan lain. Kuliah lagi. Tapi tak nak meraih gelar S-2 atau S-3. Melainkan sesuatu motivasi. Karenanya, ketika salah masuk ruangan di Hotel Nagoya Plaza, saya jadi tersenyum sendiri. Tertulis di pintunya Kuliah S-2 Univ. Boedi Utomo Surabaya. Sedangkan kuliah yang saya ikuti ini, tak berijazah dan bergelar sama sekali.

Setiap sesi kuliah, bulu kuduk saya berdiri. Terlebih pada pekan kedua. Betapa tidak, ternyata dosennya teman saat mahasiswa dahulu. Dia menceritakan bagaimana setiap hari keluar dari rumah untuk pergi kerja, pukul lima subuh. Pulang kerja dan sampai ke rumah pukul sembilan malam. Waktu dalam perjalanan dari kantor ke rumah bolak-balik, habis lima jam. Karena, dia tinggal di Cisalak, Bogor tapi kerja di Cikarang, Bekasi. Macet yang jadi penghalang.

‘’Kalau orang tua lain bisa melihat pertumbuhan anaknya dari tingginya, saya justru dari panjangnya. Saat pergi kerja, anak masih tidur. Ketika saya sampai di rumah, anak juga tidur. Saya pandangi anak saya. O…udah segini panjangnya.” Teman itu memperagakan panjang dengan merentang tangannya. Senyumnya hanya sedikit, tapi yang mendengarkan tertawa ngakak. ‘’Kata orang, ketika bangun pagi kita dibangunkan ayam berkokok. Kalau saya beda, saya yang membangunkan ayam. Bayangkan saja, kalau keluar rumah jam lima subuh, jam berapa saya bangun mempersiapkan diri?”

Tapi berkat kerja keras, teman ini justru jadi orang hebat. Setiap Sabtu saat kantornya libur, dia belanja mainan anak-anak di Pasar Pagi Jakarta. Dibawanya ke Cisalak menggunakan kereta api. Lalu bersama istrinya, dia melabeli harga untuk dipajang di toko milik mereka. Dan di hari Minggu-nya, dia menemani istrinya menjaga toko yang selalu ramai di hari libur itu. Begitu terus lebih kurang dua tahun. Saat tokonya di tahun 2003 sudah berjumlah empat, dia baru memberanikan diri resign. Meninggalkan jabatan sebagai manajer keuangan. Meski itu ditentang banyak keluarganya.

‘’Diurus sambilan saja bisa punya empat toko, apalagi diurus serius.” Begitu prinsipnya. Dan terkesan dia malah menyesal mengapa lambat sekali memutuskan resign. Dua tahun setelah keluar kerja, jumlah tokonya hingga saat dia memberikan kuliah pada saya, sudah 36 unit tersebar di Pulau Jawa. Dan akan terus ditambahnya.
Hari-harinya bagaimana? Ketika saya menelponnya jam 9.30 WIB, dia masih di rumah. Menikmati hidup. Masih sempat mengantar anak sekolah, lalu pulang ke rumah mengulang baca koran sambil minum teh, dan jelang siang jemput anak sekolah lagi. Nyaris persis seperti gaya hidup konsultan kepemimpinan Gde Prama yang ketika orang pagi-pagi pergi kerja, dia asyik memancing.

Bagaimana bisnisnya dijalankan? Ke-36 tokonya tetap buka, tanpa dia harus mati-matian lagi mengawasinya. Dia sudah punya sistem kerja dan pendelegasian tugas yang jelas dengan karyawannya. Kalau ada janji ketemu rekanan, dia hanya mau di atas jam 12. Sesudah sholat Zuhur dan sekaligus menghindari macet Jakarta. ‘’Kalau pagi-pagi saya keluar rumah, ntar disebut karyawan lagi.”

Betapa tak berdiri bulu kuduk saya mendengar itu semua. Saat masih kuliah semester lima di jurusan manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Riau tahun 1992, saya sudah bekerja. Dia yang di jurusan akuntansi mungkin baru jelang-jelang akhir, saat mulai jadi asisten dosen. Saya terus dalam grup yang sama hingga tamat kuliah. Tahun 2000 saya merantau ke Batam.

Dia merantau ke Jakarta. Saya masih dalam grup yang sama di 2005. Dia akhirnya punya kerajaan sendiri. Dan akan terus membangun visinya punya mall yang isinya mainan anak-anak semua.

Tapi gayanya masih sama, sederhana dan sangat bersahaja. Belahan rambut yang di tepi dan badan yang tetap ramping. Saya makin gendut, dan tak gesit.
Dan hmm…dia sudah bisa banyak membantu orang. Bayangkan saja, kalau tiap tokonya perlu lima orang karyawan saja. Betapa banyak doa, akan diucapkan untuk dirinya. Sedekahnya pun jauh lebih banyak ketimbang saat masih mengukur panjang anaknya. Sama dengan Purdie Chandra yang jadi mentornya, dia juga mempunyai selera humor sama. ‘’Saat di pintu surga. Para kiai akan mempersilakan lebih dahulu pengusaha yang masuk.

Tersebab, pengusahalah yang menyumbang paling banyak pada masjid dan pondok pesantren.”
Kalimat dia yang juga bernada humor menurut versi saya seperti berikut. ‘’Kalau mati-matian bekerja di perusahaan orang, pekerjaan itu tak bisa diwariskan. Termasuk juga jadi pegawai negeri di zaman ini. Tapi kalau usaha, bisakan?” Tapi saya tetap harus merenungi lebih dalam tentang bekerja keras dan mati-matian. Terlebih lagi ada kiriman SMS seperti di atas tadi dan berikut ini. ‘’Napoleon Hill berkata: Peliharalah wawasan Anda seakan-akan itu anak2 jiwa Anda; rancangan utk pencapaian akhir Anda ‘’. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 25-September-2005, 350 Klik)

Selengkapnya...

Natuna, Kelapa Muda dan Ikan Salai

Pak, sblm ke Natuna, udah diproteksi family economic value-nya? Krn kapal terbang akhir2 ini byk yg bermasalah.”

PEMBACA setia mengingatkan via SMS pukul 17.30 WIB, Minggu,11 September 2005. Memang, dalam tulisan hari itu, saya menyebut berencana ke Ranai, ibukota Kabupaten Natuna. Dan bersama doa-doa lain yang tentu saja bukan sekedar SMS, telah menyelamatkan saya pergi 12 September dan kembalinya ke Batam empat hari kemudian.

Peristiwa jatuh dan banyaknya eror pesawat saban hari di bulan September memang membuat was-was. Apalagi yang dinaiki Fokker 50 milik Riau Airlines (RAL). Untuk pertama kali, saya naik pesawat menggunakan baling-baling. Tapi nyatanya, tak seperti banyak dibayangkan. Justru take off dan landing terlihat lebih mudah. Cuma saja memang harus ditambah banyak selipan doa dari bibir dan hati.

‘’Natuna seperti apa? Ada prospek bisnis yang tampak?” SMS seperti itu masuk dalam rentang waktu yang telat saat si pengirim menekan tuts HP-nya. Maklum, sinyal masih hilang timbul di sana. Lantas apa jawabannya? Bisnis, rasanya tetap ada saja di manapun. Tapi yang paling hebat sepertinya property atau minimal berdagang bahan bangunan. Betapa tidak, rumah PNS yang setingkat kepala bagian (Kabag) saja sudah seperti, malahan melebihi rumah-rumah di Dutamas atau Sukajadi, Batam.
‘’Seperti rumah tuan Takur,” kata Tarmizi, salah satu wartawan yang ikut ke sana. Tarmizi yang dikenal dengan Rumahitam-nya itu memang penggemar berat film-film Bollywood. Jadi dia tahu persis, megahnya rumah-rumah di film India tersebut.

Anda bisa bayangkan. Bahan bangunan saja didatangkan dari Pontianak, Kalimantan Barat. Atau pun kalau tidak, dari Tanjungpinang. Bayangkan jauhnya jarak. Kalau dari Tanjungpinang saja pakai kapal perlu waktu satu hari satu malam. Berapa besar ongkos bahan bangunan? Lalu rumahnya, sama persis dengan rumah pengusaha di Batam, berapa pula total biayanya?

Lebih hebat lagi dari Batam, rumah para Kabag itu bukan berderet-deret seperti rumah di Batam. Tapi saling terpisah. Malah ada yang halamannya saja, mendekati besarnya lapangan sepakbola. Namun jangan berprasangka negatif dulu. Bisa saja mereka begitu karena sebelum Natuna jadi kabupaten di tahun 2000, harga tanah hanya Rp5.000 per meter. Sekarang sudah mencapai Rp100.000 hingga 200.000 per meter. Atau ada juga pegawai negeri yang nyambi jadi peternak hingga memiliki ratusan kambing dan sapi. Atau bisa jadi, banyak yang memiliki kebun cengkeh.

Lalu Anda bayangkan juga, saat para pegawai itu di tahun 2000 hingga 2001 pergi ke kantor jalan kaki semua. Termasuk Kabag hingga kepala dinas. Maklum, belum dapat motor dinas. Dan saat kami datang, para Kabag sudah sekitar setahun lebih menggunakan mobil dinas baru. Kelihatannya lebih banyak Daihatsu Taruna. Saya merasa lain masuk di dalamnya. Karena sejak lima tahun di Batam, tak pernah ada Taruna yang saya naiki. Apalagi menaiki mobil yang benar-benar baru, karena di Batam dipenuhi second.

Apa yang saya gambarkan ini, yakinlah, mirip seperti Batam dahulu, saat tak ‘’dikenal”. Ketika banyak pegawai negeri takut dikirim ke sini di awal tahun 80-an hingga 90-an, termasuk bapak saya. Begitu juga hal sama dengan pegawai negeri di Natuna. Ada kecemasan semula. Tapi lambat laun, mereka menemukan seperti yang dialami di Batam. Ada rezeki lain yang akan menghampiri. Bahkan, bisa jadi keenakan di sana selamanya. Seperti salah satu famili saya yang bahkan mendapatkan suami orang sana hingga tak pernah lagi pulang kampung.

Tapi bakal majukah Natuna seperti yang akan dialami Batam? Rasanya ya. Ladang gas saja belum maksimal dieksploitasi. Tanah yang luas, masih bisa ditanami apa saja dan jadi tempat bangunan apa saja. Pantainya yang indah, bisa disanding dengan lapangan golf, resort dan lain-lain atraksi untuk menarik wisatawan. Dan lebih hebatnya lagi, ada gunung.

Baru kali ini saya temukan gambar-gambar kita saat diajari guru SD dulu gunung berdekatan dengan pantai, laut dan lahan pertanian bisa sekalian ada. Gunung Ranai menjulang yang puncaknya diselimuti asap putih. Pantai Tanjung yang putih bersih jauh lebih putih dari semua pantai di Bali apalagi Pattaya di Bangkok dengan ribuan pohon kelapa mengelilingi. Lalu lautnya biru dengan pemandangan laut lepas Cina Selatan, atau ada pulau terluar yang seperti ibu hamil lagi tiduran, Pulau Senua.

Sungguh indah! Sayang, nak minum air kelapa muda susahnya bukan main. Padahal di restoran tersebut, kelapa ada di atas kepala kita. Alasannya, karena tak ada yang manjat. Atau memang, kunjungan wisatawan jarang, sedangkan rata-rata penduduk sudah punya pohon kelapa sendiri, jadi air kelapa muda bukan minuman favorit seperti di Batam?

‘’Kalau banyak bawa ikan salai, kirim ke Pekanbaru.” Ini SMS dari ibu saya. Kalau tak dipesan di hari kedua kami berada di sana, ikan salai tak bisa kami bawa. Ternyata, tak ada spontanitas untuk terus berproduksi dan menjadikan ikan salai dari laut – biasanya ikan salai dari ikan air tawar — sebagai salah satu oleh-oleh bagi tamu.

Majunya Natuna kelak, sejahtera jugakah rakyatnya? Sepertinya, harus ada yang mengkreasikan kelapa dan ikan salai tadi sebagai pemicu contohnya. Ini tugas berat bagi Bupati Hamid Rizal untuk mencarinya. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 18-September-2005, 293 Klik)

Selengkapnya...

Jangan Melupakan Diri Sendiri

‘’Udah ketemu bahan tulisan pak? Apa temanya lagi? Adakah isi curhat lagi? Sesekali tulis dong soal PS Batam, BBM atau valas”

SAYA benar-benar buntu. Saya membayangkan banyak hal yang akan terjadi minggu depannya – Insya Allah saya ke Pulau Natuna— yang diyakini mantap untuk bahan tulisan. Tapi deadline minggu ini bukan minggu depan. SMS pemicu inspirasi agar jari mengetik juga tak muncul. Jadi benar-benar membuat saya ‘’mati”.

‘’Selamat atas peresmian Graha Pena Batam yang sangat membanggakan itu. Kami ni apalah di Pekanbaru, tak ada lagi yang dibanggakan. PSPS pun dah keok.” Atau SMS ini saja jadi bahan dasar pijakan saya. Waduh, tak semua orang ngerti bola. Tak semua tahu apa itu PSPS Pekanbaru. Meski itu klub bola terkaya di Indonesia. Yang telah dipastikan harus tereliminasi dari divisi utama ke divisi I.

‘’Bang, bagaimana itu. PSPS kok bisa degradasi.” Walah, mirip lagi SMS-nya. Soal bola juga. Si pengirim ingin menggelitik saya berkomentar. Tapi tuts-tuts keybord handphone tetap tak saya tekan. Tak mampu, bak ‘’mati rasa”.

Saya hanya membayangkan saat sejak tahun 1991 ketika Riau Pos mulai terbit, saya mampu mengisi kolom halaman 1-nya mengulas PSPS yang kala itu masih di divisi II Riau bukan nasional. Saya gambarkan, membeli Maradona pun sanggup bagi Riau yang kaya minyak, apalagi untuk sekedar mengontrak pemain terbaik di Indonesia agar bisa lolos ke jajaran elit sepakbola nasional. Karena tulisan itu, malah jadi ditarik sebagai reporter olahraga Riau Pos. Hingga PSPS akhirnya ke Divisi Utama sejak 1999, saya sudah tak reporter lagi, meningkat karir hingga posisi saat ini.

Jadi, yang tahu saya mengawali karir jurnalistik dengan liputan PSPS, merekalah yang kemudian mengirimkan dua SMS di atas. Di banyak pertemuan yang tahu dengan hal tersebut, saya juga dipertanyakan. Sebaliknya, saat saya berjumpa dengan Walikota Pekanbaru, Herman Abdullah pada acara peresmian Graha Pena Batam, 28 Agustus lalu, soal PSPS juga saya tanya ke beliau.
Jawabannya, sungguh mengejutkan hati. Juga tak pantas saya eksposkan, karena bisa disalah tafsirkan bagi yang tak mengerti. Kapasitas saya bertanya pun bukan wawancara. Saya pendam dalam hati. Tapi saya puas, karena mendapatkan jawaban dari Ketua Umum langsung tim tersebut.

Saya membayangkan, betapa sedihnya mereka yang dulu merintis PSPS untuk merangkak ke divisi utama. Bahkan mantan Ketua Umum itu pun sempat juga berkunjung ke Batam dalam kapasitasnya sebagai pejabat salah satu departemen pemerintahan SBY, Agustus lalu. Sayang saya tak bisa menemuinya. Karena tahu pun dia di Batam, itu pun setelah baca koran. Mungkin akan terpuas hati saya, bila tahu apa opininya tentang tragedi yang menimpa PSPS.

Namun saya berkesimpulan, apapun yang terjadi saat ini, sepertinya mempertahankan memang lebih sulit dari merebut. Mempertahankan ada koneksitas dengan histori. Ada beban tanggungjawab moral kepada pendahulu. Mempertahankan ada juga dampak psikologis pada budaya yang diterapkan. Mempertahankan juga punya konsekuensi dana dan tenaga lebih besar. Ini terjadi di banyak hal kehidupan, bukan hanya sepakbola.

Selain itu satu hal yang selalu diajarkan bos saya, mungkin pantas direnungkan. Jangan lupakan historis tempat kita bekerja sekarang. Terutama orang-orang pendahulunya. Jangan hilangkan semua jasa-jasanya dalam memori arsip kita, apalagi perilaku kita yang hingga kini masih dipercaya untuk mempertahankan apa yang telah diperjuangkannya.

Itu penghormatan kita kepada mereka. Tapi mereka dari mana semua dan mahluk siapa? Karena itu lebih pantas lagi direnungkan kiriman SMS firman Allah ini. Kalau tidak kita akan benar-benar mati dalam tanda petik, sedangkan deadline kematian sebenarnya memang sudah dekat pada usia kita masing-masing. ‘’Dan janganlah kamu seperti orang2 yg lupa kpd Allah, lalu Allah menjdkan mrk lupa kpd diri mrk sendiri. (QS.59:19).” . (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 11-September-2005, 295 Klik)

Selengkapnya...

Rahmat Pikiran Terbuka

‘’Banyak org menganggap manusia sbg alat manajemen mencapai tujuan. Akibatnya, perusahaan bagai bus, banyak orgnya tp tdk trjd keterikatan batin di dlmnya.”
MALU muka saat menerima SMS di atas Jumat (2/9) pukul 9.17 WIB. Bukan hanya karena saya telah masuk dalam ‘’perangkap” rutinitas yang salah. Melainkan juga, saya sendiri turut melakoninya. Astagfirullah.

Tapi di manakah bisa memulai keterikatan batin, bila kita selalu dimasuki asumsi negatif setiap melihat, mendengar dan mengomentari sesuatu? Adakah jalan untuk merubah persepsi kembali ke positif? Atau bisakah setidaknya, memberi kesempatan kepada ide-ide baru yang disampaikan wajah-wajah baru?

Hari-hari saya belakangan ini selalu menerima SMS di atas. Bukan karena telah mengikuti komunitas ESQ. Tapi juga kiriman hadist-hadist dari Alquran Seluler juga sama. Nada-nadanya seperti hal di atas. Bahkan seminar-seminar yang saya ikuti juga ‘’menyindir” hal sama.

Sekitar Juli lalu – maaf saya lupa tanggalnya—Kafi Kurnia, jagoan marketing tapi punya buku berjudul Anti-Marketing mengungkapkan begini, terima dahulu pemaparan saya dengan open minded. Pikiran terbuka gitu, lho, maksudnya. Apa yang disampaikannya sejauh pengamatan saya, justru lebih banyak peserta tertawa dalam kecamuk wajah yang saya terjemahkan begini,”mah, itu marketing juga, malah marketing sebenarnya, bukan anti-marketing.”

Jika kita menyadari, Kafi telah mengingatkan open minded tadi. Memang yang dipaparkannya adalah orang-orang yang tak sekolahan tapi justru menerapkan ilmu marketing sebenarnya. Tak berpura-pura. Tanpa banyak teori. Tapi action. Contoh-contoh itu diambil Kafi. Contoh-contoh di dunia nyata juga dipelajari oleh Harvard dan dijadikan bahan bahasan di kuliahan. Akhirnya lahirnya jagoan marketing untuk tersebar di seluruh dunia. Jika pikiran terbuka kita jalan, maka memang sebenarnyalah kehidupan nyata, marketing sebenarnya.

Hal sama juga seingat saya saat mengikuti seminar AA Gym, Rhenald Kasali atau malah mungkin sesi-sesi rapat evaluasi dengan bos-bos tempat saya bekerja yakni Dahlan Iskan atau anaknya Asrul Ananda. Mirip-mirip apa yang disebut di awal pembuka kata Kafi Kurnia. Cuma caranya saja berbeda-beda.

AA Gym tentu dengan hadist dan ilmu kesejukan qolbunya, Rhenald sudah jelas dengan teori-teori perubahannya. Sedangkan Dahlan atau Asrul, mengingatkan, hanya kita sendirilah yang tahu apa yang ada di lingkungan kita. Jadikan cara orang lain melakukan hal sama di tempat lain, sebagai bahan dasar pijakan saja. Untuk tempat kita sendiri, lakukan sesuai selera masyarakat sekitar kita.

Nah, tak berepot-repot kan? Tapi saat kita berada dalam ruang suara mereka, seakan kita ingin ‘’mengubah” dunia ini secepatnya. Sayang, setelah hawa ruang ber-AC seminar kita tinggalkan, maka hilanglah semua itu. Banyak kita termasuk saya, hanya jadi bagian ‘’perenungan” yang dalam dari apa yang diucapkan bijak oleh orang-orang yang tepat tersebut. Tak pernah kita beranjak untuk benar-benar melaksanakannya tersebab kita sendiri akhirnya ragu dengan lingkungan kita sendiri, atau diri sendiri mampu atau tidak melakukannya.

Apatah lagi bila kita menemukan pemimpin bahkan bukan pemimpin tertinggi pula banyak juga mengikuti seminar ini dan itu. Malah dia pula jadi panitianya, namun tak berubah juga cara berpikirnya. Anak buah ditekan terus dalam pengambilan keputusan yang mengambang. Atau memperlihatkan kekuasan ‘’tertinggi” hingga katanya menjadi ‘’raja”.

Dan bisa juga begini, kita dibiarkan melarutkan masalah, dalam penyelesaian yang terselesai sendiri saja. Tapi bila kita jumpa lagi masalah sama, kita tak tahu standar apa yang harus diambil. Kembali lagi, ke standar yang salah juga, selesai saja sendiri.
‘’Anda hrs berani berkata bhw perusahaan adlh tempat utk berjuang sbg fungsi rahmatan lil aalamiin” Mungkin, SMS kiriman ESQ ini pantas dengan pikiran terbuka kita coba. Utamanya saya. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 04-September-2005, 187 Klik)

Selengkapnya...

Ketidakpastian adalah Rahmat

‘’Manajer yg well organized sll bodoh. Ia seringkali terlalu bodoh utk melakukan rasionalisasi atau mencari-cari alasan.”

INI SMS pertama yang saya terima sejak bergabung dalam komunitas ESQ pimpinan Ary Ginanjar Agustian. Pesan tersebut sampai 13.47 WIB, Senin (22/8), hari ketiga saya bersama 339 orang lainnya di training tentang kecerdasan emosi dan spiritual di Hotel Planet Holiday, Batam. Mungkin ini seminar dan training terbesar di Batam pesertanya dan termahal bayarannya, Rp2,7 jt per orang.

Suara hati saya menyatakan, inilah untuk pertama kali dalam hidup saya tak pernah kabur satu sesi mata kuliah pun. Saya hanya sempat ‘’menghilang” di hari pertama, itu pun pas jam istirahat makan siang. Ada orang yang sejak jam 10 sudah janji berjumpa, tapi baru dicapai dua setengah jam kemudian. Saya benar-benar ‘’takut” meninggalkan training ESQ itu. Padahal dimulai pukul 7 pagi dan berakhir tepat jam 6 sore selama empat hari dari 20 hingga 23 Agustus 2005.

‘’Aku tahu rezekiku tak mungkin diambil orang lain, karenanya hatiku tenang.” Yang ini juga SMS dari ESQ, namun pada hari terakhir training. Seterusnya di hari pertama sesudah training,”Aku tahu, amal2ku tak mungkin dilakukan org lain, maka aku sibukkan diriku bekerja dan beramal.” SMS hari kedua seusai training,”Aku tahu, Allah sll melihatku, krnya aku malu jk Allah mendptiku melakukan maksiat.”

Di tengah-tengah saya menerima SMS tersebut, masuk juga SMS lain. ‘’Trimakasih, sy msh terngiang2 suaranya Pak Ary.” Beliau salah satu peserta. Sama dengan saya, termasuk di antara yang muda, masih di bawah 40-an dan sedikit nangisnya. Dan sepanjang pengamatan, di antara yang muda itu, sayalah yang mungkin paling sedikit mengeluarkan air mata.

Entah mengapa, saya berani mengaitkan yang muda, dengan sedikit menangis. Padahal selama empat hari tersebut, tangisan menderu saat suara gemetar Ary membahana dari ballroom dan ditambah visualisasi yang menggerakkan otak, mendirikan bulu kuduk dan menggetarkan hati tentang apa yang kita perbuat selama ini. Tersebab hanya dua tangisan yang bisa saya tumpahkan, saat diingatkan soal dosa pada kedua orang tua dan dosa kepada istri.

Peserta lain mungkin akan terngiang soal dosa pada anak yang sudah dewasa tapi belum diingatkan juga akan kebesaran Allah dan berjasanya Nabi Muhammad SAW yang mampu menerima wahyu Allah dan terpelihara dengan sempurna hingga kini yaitu Alquran. Bagi saya, karena anak masih kecil, saya justru terpacu untuk berusaha tak mengulang kesalahan sama dalam perilaku. Perilaku berani bertindak apa saja, bukan karena siapa-siapa melainkan semuanya lillahitaala.

‘’Kabarnya, bang Ade paling banyak nangisnya.” Seseorang yang saya jadikan orang tua di Batam ini, nyelutuk pertanyaan itu. Dah saya akui, saya paling sedikit tangisnya. Namun saya juga diingatkan, bisa jadi saya yang akan paling banyak menangis beberapa tahun kemudian, karena sudah diberi berkah bisa melihat ‘’kebenaran” dengan nyata, namun tetap juga berbuat ‘’keonaran” di muka bumi.

‘’Bagus itu De. Bapak juga pernah ikut.” Yang ini saya dapatkan di hari pertama training dari Ismeth Abdullah, yang baru saja dilantik sebagai Gubernur Kepri. Saya memohon maaf, karena ajudannya susah menghubungi saya tersebab handphone dimatikan saat acara dan didiamkan ketika istirahat. Tak ada nada dengar dan getar.
Namun selain ‘’pengakuan dosa” yang saya perbuat, juga ada satu kalimat yang terngiang-ngiang setelah empat hari tersebut. Kata yang saya bantu juga untuk diulas Ippho Santosa saat dia tampil di Batam TV, Selasa malam (23/8) dalam acara wirausaha. Kata Ary Ginanjar,”Ketidakpastian adalah rahmat.”

Ippho yang ikut juga dalam ESQ, mengulang lagi kepada seluruh pemirsa apa yang diucapkan Ary. Kalau pasti rezeki, jodoh dan kematian, maka tak serulah hidup ini. Orang bisa malas-malasan dahulu karena pasti tahu kapan jadwal kaya. Tak mulai mengamati siapa yang bakal jadi suami atau istri, karena pasti tahu siapa jodohnya. Dan jika sudah pasti tahu tanggal kapan mati, pastilah berpesta surga dunia dahulu, dan menjelang dua hari terakhir, baru bertobat. Keenakan sekali, tak mungkinkan?

Seperti kata Ary, perjuangan paling berat dari peserta seminar atau training apapun adalah hari-hari sesudah acara tersebut. Termasuk juga yang bakal dihadapi istri-istri para menteri kabinet SBY yang satu minggu lebih dahulu menerima ilmu dari Ary ketimbang kami. Hingga saat menulis ini, aktivitas kerja saya sudah mulai berubah, lebih cepat satu jam meninggalkan rumah menuju kantor, meski juga tahu, belum tentu mencapai hasil maksimal. Tapi entah sampai kapan dilakoni, karena kerja adalah ibadah.

’Aku tahu, kematian menantiku, maka kupersiapkan bekal utk berjumpa dg Rabbku.”
(Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 28-Agustus-2005, 247 Klik)

Selengkapnya...

Memaknai Merdeka dan Tidak Merdeka

‘’Dirgahayu Republik Indonesia 17/8/05-ke 60 th, jayalah negeriku, jaya bangsaku, jayalahku dunia akhirat, amin…!”

SAAT masih asyik bermalas-malasan di ranjang bersama dua mata hati, SMS di atas masuk. Tepat pukul 06.22 WIB lewat 18 detik. Baru saya tersentak, 17 Agustus rupanya. Hebat, ada juga yang mau ‘’membuang” pulsa untuk mengucapkannya. Saya lihat lagi mail box handphone. Eh ternyata sehari sebelumnya pukul 14.35 lewat 56 detik, ada juga SMS serupa. Singkat saja, ”merdeka…?” Sepertinya pengirim ingin ‘’tak memerdekakan” saya, karena harus membahasnya untuk yang satu ini. Bertepatan pula memang secara pribadi saya belum merasa merdeka. Seorang sohib, bahkan adik saya juga bernasib sama beberapa hari ini. Pas, di hari kemerdekaan, adik bungsu saya yang mencoba merantau di Batam, lagi kepayahan cari rumah sewa. Maklum, dia harus tahu diri untuk tak terlalu ‘’merdeka” menggunakan sesuatu bukan miliknya, juga bukan milik saya.

Seterusnya, kolega sejati saya yang selalu memberi semangat untuk berjiwa berani menantang arus, juga tidak merdeka dalam bahtera rumah tangganya. Tapi pas di hari kemerdekaan, eh, ada sesuatu yang lain datang. Dia bahkan, bingung menentukan apakah meninggalkan Batam atau tetap bertahan. Merdeka karena sudah dipercaya mertua, tapi harus bertahan di Batam. Adakah kemerdekaan sebagai sepasang suami istri bakal diraihnya?

Itu yang dipikirnya. Dan pada kesempatan telepon beberapa detik, saya ‘’dipaksa” mengeluarkan pendapat yang rasanya saya sendiri tetap memberikan alternatif yang tidak memerdekakan mereka. Tepat seusai Presiden SBY menyelesaikan seremoni mengheningkan cipta, saya melaksanakan sholat dhuha. Inilah dhuha pertama dalam hidup saya yang bertepatan dengan hari kemerdekaan. Ya, karena berbagai persoalan di atas, dan lain-lain dalam hidup, saya melakukan itu. Semua saya doakan terutama tentu diri saya yang belum juga berani mengeluarkan pikiran-pikiran merdeka.

***
‘’Aktivitas pelaksanaan HUT RI ke 60 di ruli lesu gejala apa kak?” Yang ini saya terima pukul 12.14 WIB lewat 32 detik. Rasanya ini mudah saja jawabnya. Kita sekarang kebanyakan tak merdeka lagi dengan uang. Uang kita habis untuk biaya sekolah, harga BBM yang naik, lalu listrik segera dan diikuti latah air ATB. Apa yang nak disumbangkan lagi untuk anak-anak kita agar dapat berlomba makan kerupuk, tarik tambang dan panjat pinang? Bahkan bukan hanya yang di ruli, yang di perumahan resmi pun terasa gregetnya kurang. Ataukah ini, justru pertanda kita boleh merdeka dalam arti tak meramaikannya sama sekali? Tapi terus terang, bulan yang paling tak saya suka dalam hidup adalah Agustus.

Itu berlaku sejak saya ‘’mengerti memaknainya”. Terlalu banyak kegiatan, hingga ayah saya harus lembur menjaga stand pameran pembangunan. Lalu terlalu banyak pertandingan olahraga, sehingga terkadang saya lihat jadi permusuhan antar-kelas, sekolah dan antar-RT. Malah jadi ajang curiga-curigaan kepada panitia karena ‘’memakan” dana yang terkumpul.

Eh, di saat sudah menikah seperti lima tahun ini, untuk soal ngasih dana ke panitia, selalu saja ada perbedaan persepsi dengan istri. Belum lagi saat di kantor untuk memutuskan, apakah proposal dari berbagai panitia HUT RI diterima atau ditolak. Diterima, yang lain bagaimana? Ditolak, eh, ini kita kenal panitianya?

Justru tak merdekakan? Saya jadi ingat, cakap seorang tua dalam sebuah oplet sebelum memasuki Terminal Aur di Bukittinggi tahun 1996 lalu. Sepertinya beliau seorang veteran perang. ‘’Justru sekarang di zaman merdeka kita tak merdeka. Lihatlah, mau masuk ke terminal ini saja, supir oplet harus bayar retribusi. Zaman perang dahulu mana ada begini.”

Saat itu saya langsung tertegun. Benar juga, pikir saya. ‘’Bahkan mau masuk WC saja kita bayar, dulu tidak . Padahal itu fasilitas umum terminal ini.” Rasanya, kita punya persepsi masing-masing untuk memaknai merdeka. Namun yang pasti merdeka itu ada, tapi tetap bersebelahan dengan kemerdekaan orang lain. Menjaganya jangan tersenggol badan, tersinggung hati hingga menjadi dendam untuk selanjutnya menggerakkan perlawanan. ***(Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 21-Agustus-2005, 143 Klik)

Selengkapnya...

Hidup Menceritakan atau Cerita Menghidupkan

”Thanks. I will check. You got time today?”
WALAH, gara-gara SMS di atas, pening kepala menterjemahkannya. Bukan nak sok ber-Indonesia saja, tapi waktu yang makin sulit diatur kini. Terlebih lagi menyangkut pertemuan yang harus diembeli membawa ‘’sesuatu”.

”Sory pak telat balas. Nanti kalau dah siap, sy akan temui bpk. hr ini sy puasa.” Itu jawabannya. Padahal, saya kalau telah ketemu orang, yang direncanakan mau becakap begini, bisa jadi begitu. Yang mau disodor ini, bisa disodor itu. Tak kloplah!

Karenanya, terkadang saya sering berbuat tanpa rencana. Terpikir ide ini, langsung disampaikan. Bila ada yang bisa menangkapnya. Maka tertangkaplah. Bila selesai ditangkap, dilaksanakan, maka terlaksanalah. Bila tidak ditangkap apalagi dilaksanakan, maka saya yang harus ‘’meloyo” sendiri.

Belakangan ini saya mengalami hal tersebut. Hingga malah, ide-ide yang biasanya muncul tiba-tiba, tak mau lagi hinggap. Kamar mandi yang biasanya selalu jadi tempat ‘’pencerahan” juga tak memberikan kejutan lagi. Yang ada tetap pikiran-pikiran netral, mencari aman dan bisa dikatakan tanpa progresif.

”Udah, begini saja dah oke.” Seperti itu aliran pikiran yang keluar. Atau seperti ini,”lantaklah. Selamat juga nanti, kok”. Tak ada lagi ”keberanian” melawan arus. Yang ada hanya pasrah. Padahal, dunia di depan sudah menghadang dengan menyiapkan palang-palang yang harus dilompati atau dicari jalan lain untuk menghindarinya.

Karenanya saya tersentak saat nonton Chris John dengan gagah perkasa mempertahankan gelar juara. Staminanya bukan main hebat. Rasanya belum pernah saya lihat petinju Indonesia setelah ronde ketiga masih bisa berdiri tegak dengan nyantai sekali. Dan saya tahu pula, ada pendukung fanatiknya di Batam ini. ‘’Ya, bang. Stamina kuat berkat …, bukan …. Jadi cintailah produk lokal, bang. He…he…”

Sengaja titik-titik tersebut tak saya isi. Takut berpromosi. Tapi kayaknya ada benarnya juga soal produk lokal tersebut. Namun hebat lagi, Chris John. Lebih berani melawan pakem. Mempertahankan gelar di negeri lawan, Australia. Kebiasaan yang jarang dimiliki atlet lain Indonesia.

Bahkan dia juga rela masuk ke sasana di Sydney, dan menjadi bagian dunia tinju yang benar-benar profesional. Melawan ‘’protes” mantan pelatihnya Sutan Rambing yang terus membawa kasusnya ke pengadilan. Nyatanya, hingga kini mental baja masih dimilik Chris John.

Sebelum itu, kita semua dikejutkan dengan ‘’prestasi” lain Elyas Pical. Juara dunia tinju pertama dimiliki Indonesia itu berbuat ulah dengan diduga menjual narkoba. Kita tersentak. Kok mantan juara dunia, bisa hanya jadi satpam saat pensiunnya dan diduga pula nyambi menjual narkoba?

Sepertinya buntu, tak tahu jalan lain lagi mau ke mana untuk meniti hidup ini. Bukan lagi berpikiran mencari aman untuk benar-benar aman. Melainkan mencari aman untuk hitungan hari per hari, malah bisa jadi detik per detik. Nama besar pun seakan dilupakan untuk mempertahankannya.

Atau memang kita yang susah menghargai prestasi orang yang mengharumkan nama bangsa, negara atau daerah kita? ‘’Maaf, bang. Lamaran untuk anak takraw itu sudah saya serahkan. Moga-moga diterima. Di tempat saya sulit.” Walah mak. Saya sendiri hanya bisa ‘’berbual”. Ada mantan pemain takraw nasional, minta kerja apa saja akan dilakoninya. Sayang, tak bisa saya penuhi. Saya hanya bisa ‘’melemparkan” surat lamarannya ke teman-teman yang saya kenal.

Ah, kembali pada kisah sendiri. Saya ini tak berani jua lari dari kebuntuan. ‘’Hidup menceritakan kita atau cerita menghidupkan kita.” Sindir salah satu pengirim SMS yang sangat memperhatikan setiap tulisan saya.
Saya pilih yang mana? Entahlah. Mungkin lagi proses menuju keduanya. (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 15-Agustus-2005, 186 Klik)

Selengkapnya...

Menggigil Kematian, Membahagiakan Kelahiran

‘’Alhamdulillah, telah lahir anak kedua kami…” Saya biasa menerima SMS demikian. Bahagia larut dalam relung hati. Uniknya, selalu jadi orang yang sangat spesial. Betapa tidak, SMS-nya datang hanya berselang beberapa detik saat tangisan bayi terdengar.

Tapi menerima SMS seperti ini, ”Innalillahi telah berpulang ke rahmatullah…”, rasanya jarang. Ada debaran-debaran ketakutan mengalir dalam darah saya. Mungkin kata ketakutan itu, akan banyak ‘’diprotes”. Namun saya merasakannya. Tersebab, saya belum memberikan apa-apa pada istri, anak dan seluruh keluarga. Apatah lagi bakti pada Allah.
Seperti dalam pekan lalu, tanggal 24 Juli saya menerima SMS kelahiran. Eh, empat hari kemudian SMS kabar kematian. Satu generasi lahir, satu generasi lagi menyelesaikan tugas dunianya.

Di lain pihak, saya juga terus merenung, kelahiran dan kematian memang adalah hak Allah untuk memutuskan kapan. Sama saat saya tersentak ketika 18 hingga 20 Juli lalu pulang sendirian saja ke rumah orang tua di Pekanbaru, sekaligus melihat rumah RSS tipe 21 yang saya beli saat bujangan. ‘’Tak nak anak lelaki, kau? Tambahlah.” Ibu yang tiba-tiba nyelutuk begitu.

Beberapa detik saya sempat terkesima. Lalu bayangan dua gadis kecil saya (5 tahun dan 2,5 tahun) berkelebat. Gurauannya yang bak lelaki. Tiap malam ayahnya habis di smackdown. Pandai juga manjat. Suka nemani ayahnya nonton bola atau main PS-nya. Saya jadi ‘’lupa” untuk punya anak laki-laki.

‘’Sama aja mak, anak perempuan atau lelaki.” Itu jawaban mudah saya. Padahal, setiap sholat Jumat – saya jarang di Masjid Raya, padahal hanya sejauh lemparan dari ruang kantor – baru terpikir soal anak lelaki dan perempuan. Melihat tetangga membawa anaknya sholat di salah satu masjid di Tiban BTN, baru getaran ‘’rugi” itu terasa.

Setiap ditanya orang, selalu saya katakan begitu. Saya selalu terus menyamakan lelaki dan perempuan. Saya selalu mengingatkan berbagai fakta-fakta hal demikian di lingkungan sekitar. Dah banyak kan, pejabat perempuan? Malah Indonesia jauh lebih hebat dari negara manapun di dunia. Presidennya saja pernah perempuan. Bahkan ada juga jadi bupati dan walikota.

Lalu kematian? ‘’Bapak si A meninggal udah mamak kabar kan tak?” Wajah bapak yang dimaksud, sering saya lupa. Tapi memori saya mengingat-ingat, rasa-rasanya kenal. Eh, baru kelihatan sehat-sehat saja, kini telah tiada.
Hal sama juga ketika Jumat (29/7) saya keduluan datang ke masjid. Selain melihat tetangga membawa anak lelakinya, sedangkan saya sendirian, tiba-tiba melintas bayangan keluarga di Banda Aceh. Keluarga sebelah istri saya yang kena tsunami Desember 2004 lalu dan hingga kini belum tahu kabarnya. Diyakini, habis sudah lima beranak tersebut.

Padahal, masih terbayang sekitar akhir 2002 saat membawa mereka jalan-jalan ke Barelang dan Tanjungpinang. Kenangan ikan bilis yang tinggal ambil tanpa bayar karena didanai mantan bos mereka yang saat itu lagi tugas di Tanjungpinang, sulit dilupakan.

Apalagi, mereka yang orang berada itu mau tiduran di rumah tipe 36 milik saya dan di ruang tamu pula.
Kiriman VCD hasil handycam yang dibeli mereka di Singapura baru beberapa hari ini pula diputar istri. Tampak keluarga yang sangat bahagia. Sering didatangi tamu dan disungguhi kopi Aceh. Dua anak lelaki yang ganteng-ganteng. Dan satu gadis yang mirip sekali dengan artis Luna Maya.

Saya masih ingat, bagaimana dengan mudahnya istri meng-SMS keluarga Aceh tersebut untuk ‘’minta” kado ultah anak kami. Eh, tak berapa lama datanglah kirimannya. Baju stelan lengkap dengan celana jins kesukaan dua buah hati kami. Kini sejak peristiwa tersebut 26 Desember 2004, tak ada lagi SMS-an. Telepon rumah dan handphone yang kami hubungi tak lagi menyahut…
Wuih, saya menggigil. Bulu kuduk berdiri. Tumben, dalam waktu 24 jam dua kali baca yasin, malam jumat dan sesaat sebelum azan jumat. Entah pertanda apa.

Yang pasti, seusai jumatan, saya tahulah semua tentang makna kehilangan meski hanya kecil. Kehilangan sepatu kesayangan yang baru dibeli 10 hari lalu…
‘’Semoga Allah SWT menerimanya, memaafkan salah silafnya, melipatgandakan pahala amal ibadahnya. Innalillah.” (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 31-Juli-2005, 210 Klik)

Selengkapnya...

Kota Kerisauan

Kota ketiga dalam hidup saya, Batam. Kedua, Bukittinggi. Yang pertama, Pekanbaru dan pekan lalu saya sempat tiga hari di sini. Mencari inspirasi dengan menelusuri gang, jalan, dan mall-mall yang pernah dilewati. Apa yang didapat? Kerisauan!


Bayangkan saja, ternyata kota yang lima tahun lalu saya tinggalkan kini jadi sangat sibuknya. Di mana-mana jalanan macet. Di hari kedua sekolah, 19 Juli 2005, tetap saja kendaraan merayap. Tapi uniknya, tak terlalu heboh seperti kalau di Batam. Bunyi klakson bertalu-talu tak terdengar. Yang ada kesabaran pengendaranya.

Lah, di mana kerisauan saya? Ya, kalau terjadi di Batam, macet sedikit saja bunyi klakson minta ampun. Mobil pun jadi malang melintang di tengah jalan, menambah kekacauan. Apatah lagi kalau polisi lalu lintas tak ada. Wuih, kerisauan saya bisa jadi benar-benar nyata. Bayangkan saja, saat hari pertama sekolah 18 Juli pagi, dari Tiban via Simpang Jam menuju Graha Pena saja perlu waktu 30 menit yang biasanya hanya 15 menit.

Kerisauan saya yang lain, menyangkut sekolah. Pekanbaru yang begitu banyak sekolah negeri berkualitas saja, perlu susah untuk mendapatkannya. Apalagi di Batam yang sepertinya ‘’ada yang lain” lebih berkuasa. Saya jadi berfikir bagaimana gadis kecil saya tahun depan mau masuk SD, umurnya nanti pas enam tahun, tahun ini saja, banyak anak seumur segitu tak tertampung. Apakah pendidikan TK-nya harus tiga tahun?

Dalam cucuran kerisauan itu, saya menasehati keponakan laki-laki yang pulang tersedu-sedu ke rumah neneknya (ibu saya). Dia naik ke kelas 2 SMP, tapi tidak dapat kelas unggulan, 2 A hingga 2 C melainkan 2 K, alias kelas nomor 11, paling bontot yang katanya berisi ‘’preman-preman”. Padahal dia di kelas 1 juara pertama, dan ikut tes pula untuk penentuan kelas unggulan tersebut. Saya berfikir, justru bagus di bukan kelas unggulan, agar lempang jalan kita untuk juara. Orang-orang terkaya di dunia dan Indonesia saat ini pun, bukanlah yang juara kelas, malah drop out. Sebut saja Bill Gates dan Bob Sadino. Begitu nasehat saya.

Ayahnya pun saya ‘’peringatkan”, jangan bikin makin stres anak. Tapi neneknya, tak bisa saya begitukan. Takut kualat. Malah neneknya mendatangi para pimpinan sekolah (kebetulan teman-teman beliau semua), minta penjelasan mengapa bisa terjadi demikian. Setelah dapat informasi, bahwa sekarang ada penyebaran bagi yang juara di berbagai kelas, barulah tersadar.

Adik saya yang di Batam juga dikabari ibu tentang situasi keponakan tersebut. Jawaban SMS-nya begini. ‘’Tak apalah, dulu om juga tak kelas unggulan, enak lagi bisa dapat ranking. Tak stres pula.” Nah, bukan saya saja yang merasa lebih nikmat berada di luar orang-orang hebat. Saya hanya sempat berada ‘’dilingkup stres” itu waktu kelas 6 SD. Wuih, orang-orang pintar semua – para juara sejak kelas 1— mau rangking 10 saja, rasanya seperti juara pertama.

Ternyata, saya hanya pandai ‘’menasehati”, diri sendiri lain pula pengalamannya. Saat saya telepon ke Batam, gadis kecil saya yang angkat. Dia baru pulang sekolah, tapi tak tahu ibunya ke mana. Saya rasakan itu dahulu. Kalau pulang ke rumah, ibu tak ada, capek itu memuncak bukan hilang. Rupanya baru tahu ketika ada kiriman SMS begini,”kami ke rumah sebelah, dengan ibu-ibu wali murid TK.” O…, semuanya membicarakan sekolah juga rupanya.

Malam harinya, nasehat untuk menghilangkan stres keponakan berlanjut. Kali ini di sebuah mall baru, Mall Ciputra Seraya. Keluarga yang di Pekanbaru pun belum pernah ke sana, termasuk keponakan yang ‘’bermasalah” dengan kelas unggulan tersebut. Ini baru konsep mall sesungguhnya menurut saya, tak bikin stres mengelilinginya. Dari lantai paling atas, kita bisa melihat aktivitas di lantai paling bawah. Satu lantai itu pun mudah untuk cuci mata, karena kalau satu lantai jual sepatu ya, sepatu saja. Satu lantai jual baju dalam wanita, ya…itu semua.

Pekanbaru juga tak terlalu gelap gulita seperti keinginan SBY agar berhemat energi. Lampu-lampu hiasnya, jauh lebih bagus mereka ketimbang Batam. Padahal, kita mudah saja menyeberangi Singapura. Kabarnya, lampu di Pekanbaru itu dibeli di sana. Yang kita dibeli di mana? Kok, jauh sebelum anjuran SBY, justru sering tak hidup?

Di salah satu lampu hias Jalan Sudirman, mata tertumbuk pada papan sebuah biro perjalanan. Mobil travel istilah di sana, yang dulu selalu mengangkut saya ke Bukittinggi. Kota yang mempertemukan saya dan istri, dan setelah menikah, tak sekalipun pernah kami singgahi lagi. Karena, kota pertama bagi istri saya Kisaran, tempat kelahirannya. Jadi kalau pulang Lebaran, Pekanbaru dan Kisaran yang kami datangi.

”Apa kabar pku, pak? Kpn pulang, tak ada teman diskusi nih.” Ini yang bikin rindu balik ke Batam. Masuk lagi dalam komunitas ‘’pemimpi” untuk sebuah kota yang disebut paling dinamis. Saya pejamkan mata, meyakini kota ini adalah harapan. Meski harapan itu tetap akan dibayangi banyak kerisauan… (Batam Pos danwww.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu 24-Juli-2005, 197 Klik )

Selengkapnya...

Pendiam Ketulusan

''Malam Bang. Skrng jadi pendiam, kenapa ya Bang?

Ini pertanyaan kedua, dalam satu pekan terakhir. Yang pertama, ditanya secara lisan. Yang kedua, via SMS tadi. Yang lisan telah dijawab lisan. Mungkin membingungkan yang bertanya. Yang SMS, hanya dijawab, ''hm…''

Bicara soal pendiam, saya sudah hidup dalam lingkup sama tua dengan usia sendiri. Betapa tidak, saya menemukan hal tersebut dalam sosok ayah. Beliau begitu pendiamnya.

Terkadang kami adik beradik sulit menebak jalan pikirannya. Tapi yang pasti kami tahu, diam itu membuat ayah yang pegawai negeri sipil (PNS) tak ''kaya-kaya'' hingga saya pun tak berminat berprofesi sama.
Meski saya tahu, ayah bekerja lebih keras dibanding PNS yang bisa kaya.

Namun sekarang, kalau hanya sekedar diam, tak ''bicara'' sepertinya kita akan diinjak-injak. Banyak yang memanfaatkan ''diamnya'' seseorang, untuk terus menggali-gali sesuatu. Berharap didiamkan terus, dan bila perlu, yang diam justru akan kena getahnya.

Di sebalik itu, terkadang diam juga sebenarnya punya makna besar. Ini tentu bila kita punya visi dan aksi brilian yang mampu dijalankan dengan penuh keteguhan.
Ada mungkin pertentangan batin yang bakal menyelimuti hingga akhir perjuangan itu. Atau malah, mungkin kita akan jadi orang yang aneh. Berorkestra sendiri dalam lautan musik rock campur dangdut.

Ada yang memberikan benang merah bagi saya untuk diam tersebut. SMS-nya dikirim 11 Juli 2005 pukul 23.02 WIB,''ketulusan memberikan sentuhan kecil dalam perbedaan besar.'' Puitis sekali ya? Dikirim tengah malam pula.
Cari orang yang tulus itu susahnya bukan main. Dan mungkin sangat sulit menemukan orang yang tulus itu dibarengi dengan diam. Semula kelihatan tulus, tapi karena ada ''kepentingan'' akhirnya harus dikoar-koarkan.

Tegasnya, tak lagi jadi pendiam. Semua publik harus tahu, meski itu tetap diselimuti kata-kata tulus.
Dah banyak hal tersebut kita temui. Apalagi itu menyangkut hajat besar untuk sesuatu perebutan kekuasaan. Yang tulus terkesan tak ada lagi. Yang tulus tak lagi ditutupi diam, melainkan ''keterbukaan.''
Terkadang, kita semua jadi ragu sendiri. Ini benar-benar tulus atau tidak.

Malah kita yang menerima ''ketulusan'' tersebut, justru berharap akan banyak yang ''tulus-tulus'' lagi. Bila perlu tiap hari, karena kita tetap menyadari kekurangan dana untuk bikin ini dan itu.

Walau demikian, tetap saja selayaknya ada usaha untuk membangkitkan ketulusan dalam diri masing-masing.
Meski itu amat berat dilakoni. Termasuk bagi saya, yang harus tulus mengakui ada benarnya juga yang ''memprotes'' kolom terdahulu bertema meniru.

Simak saja kiriman SMS-nya yang saya kopi habis titik komanya. ’’Bila qta ingin dikenang maka jangan jadikan diri seorang pengekor namun berusahalah untuk menjadi seorang pelopor dan jangan pula jadikan diri seorang peniru namun berusahalah untuk menjadi seorang penemu, sekalipun temuan itu sederhana (setuju?). tetap berkarya & tq.

Ini kritisi yang tulus, karena saya tetap dibangkitkan dalam aroma kata-kata yang juga tulus, ''tetap berkarya''.

Dan lebih tulus lagi pengirim SMS-nya karena menginformasikan di mana gado-gado yang enak bisa saya dapatkan.

Sekaligus juga sindiran, ketika saya menyebut ''gado-gado gaya tulisan.'' ''Oh, ya, gado2 di jln Tengku Angkasa Bandung/dkat Unpad, dijamin enak!'' Hmm…mungkin memang saya harus cuti jauh menuju Bandung, tersebab banyak diam saat ini justru karena sulit melepas diri dari ''hingar bingarnya'' aktivitas dan tanggungjawab.

Saya harus belajar banyak lagi ketulusan dalam campuran gado-gado yang serasa sudah di lidah. Apatah lagi, Universitas Padjajaran (Unpad) adalah pilihan utama saat mengikuti tes UMPTN 15 tahun silam. Sayang, tak dibolehkan memilih karena gaji ayah yang PNS tak cukup untuk membiayai kuliah dan hidup seandainya lulus… *** (Batam Pos dan www.harianbatampos.com, kolom SMS Hati, Minggu, 17-Juli-2005, 200 Klik)

Selengkapnya...

Salah 1, Salah 2, Salah 3

Belakangan ini saya sering kesal. Kadang tanpa alasan kuat. Mungkin bisa jadi tak pantas. Salah satunya terkait SMS ini,”Batam Pos edisi hari ini tgl 5 Juli terdapat kesalahan ganda…”.

MENGAPA saya kesal? Ya itu, saya baru tahunya malam hari untuk tak ada sambungan. ‘’Di halaman 2 berita copot…kayak CD bajakan, diulang-ulang. Sambungan kain 10 kuintal di halm 2 tdk ada.”

Sebenarnya SMS ini dikirim pukul 11.34 WIB, berhubung HP kedua ini tak dibawa, setelah pulang ke rumah baru tahu ada dua kesalahan besar tersebut. Saya makin kesal, istri yang biasanya pengkritik setia, kini adem saja. Apa karena dah terbiasa melihat kesalahan hingga dianggap betul saja? Atau dia malah menahan kesal, karena tiap hari mengkritik saya? Apa juga karena saya sudah bosan baca koran, hingga tak tahu kesalahan sendiri dan menunggu pembaca mengkritisi?

Sama dengan cerita banyak teman dan juga saya alami sendiri, ada hal-hal yang biasa salah, kini tak salah lagi. Ada hal-hal biasa betul, bisa jadi dianggap salah. Karenanya ketika mulai ada yang mencoba memperbaiki ‘’salah”, maka dianggap ‘’salah” sebenarnya. Atau, yang coba memperbaiki ‘’salah” tadi, larut pula dalam ‘’salah” yang sama.

Ah, pasti pusing juga menterjemahkan alinea di atas. Namun kalau kita merenungi banyak sisi kehidupan ini, masing-masing kita akan menemui apa yang dimaksud. Termasuk juga salah satu dari pembaca setia kolom ini. ‘’Tolong lain waktu turunkan tentang emosi yg selalu meledak-ledak, karena barusan saya kelepasan cakap yg tak seharusnya diucapkan.”

SMS tadi dikirim 15 Mei 2005 pukul 12.24. Saya buka kembali karena, ya, beberapa minggu ini saya juga mengalami banyak ledakan emosi, termasuk kesal tadi. Malah, itu kelihatannya menimpa beberapa teman hingga saya pula harus berurusan ‘’memperbaikinya”. Karenanya, jawaban yang paling pantas untuk SMS tersebut, tetap instrospeksi. Yang penting, ada kemauan kita untuk memperbaiki.

Tersebab itu, pantas pula dibaca khalayak kiriman SMS dari seseorang di Karimun ini. ‘’Manusia yg buta mata, butuh tongkat utk meraba, manusia yg buta hati, butuh tuntunan mengenal sikap diri selama ini.” Tapi bila kita skeptis, tuntunan mana yang pantas kita lihat dari realita sekitar? Yang katanya pakar ternyata berpihak. Yang katanya bersih dan pengkritik, tak tahunya mau ‘’disuap” juga. Yang katanya…ah, banyak lagi.

Kita gamang sendiri melangkah. Tak terkira pula banyak salah dilakukan. Salah yang pertama, akan diulang salah kedua, lalu ketiga. Kita hanya punya interval ‘’penyadaran” di antara kedatangan salah berikutnya. Begitu seterusnya hingga mungkin kita menemukan hidayah masing-masing.

Namun bila ada orang yang selalu ‘’tersalah” padahal dia sudah bertobat atau memang hanya dikambing-hitamkan, bisa disebut teraniaya? Atau dizalimi? Entahlah! Kita terutama saya hanya pantas merenungi hadis nabi kiriman SMS alquran seluler berikut, ‘’Mu’azd ra: Sabda Rasul: Takutlah thdp doa orang yg teraniaya, karena antara dia dgn Allah tidak ada penghalang (doanya terkabul).”

Ah, saya menyanyah jauh! Dari kesalahan ‘’teknis” di Batam Pos menjadi sok-sok menggurui. Padahal, sebenarnya pusing juga menuangkan ide kolom kali ini, tersebab laptop rusak dan belum ditemukan juga, bagaimana cara mengatasinya hingga diketik huruf demi huruf ini. Saya berada di lingkup ‘’kebingungan” di antara hardware dan software. Mungkin yang salah saya sendiri, karena tak betul memencet tuts. Jadi se­perti kata banyak alim ulama sampaikan bolehlah saya mengakhiri alinea penutup ini de­mikian,”kalau yang salah itu dari saya, kalau yang benar itu dari Tuhan.” ***(Batam Pos dan www.harianbatampos.com, Minggu, 10-Juli-2005, kolom SMS Hati, 196 Klik)

Selengkapnya...

Cinta Kepri, Bawa Mati!

Seharian Kamis (30/6) benar-benar terjadi apa yang saya inginkan seperti tulisan saya pekan lalu (26/6). Banyak yang kirim SMS mengenai hasil pencoblosan Pilkada Gubernur Kepri. Saat Anda membaca ini, tahu sudah siapa yang menang. Saya justru sudah memastikannya, ketika bertubi-tubi SMS itu datang.

KETIKA mengetik kolom ini, satu per satu SMS tersebut dihapus. Rata-rata angkanya menyebutkan menang mutlak. Terus terang, tak ada pertarungan seru seperti yang saya inginkan seperti pertandingan bola. Sama juga hasilnya dengan final Piala Konfederasi yang saya tonton sebelum mencoblos. Tak ada perlawanan, Brazil menang mudah 4-1 atas Argentina.

Bersamaan dengan penghapusan SMS tersebut, hanya satu yang belum saya hapus. Ini SMS berbau kampanye. Uniknya saya terima justru, 21 menit lewat 16 detik sesudah ditutupnya pencoblosan di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pukul 13.00 WIB. Namun satu nomor HP saya lagi justru menerimanya malam hari sebelum tanggal 30 Juni tepatnya pukul 18.36 WIB. Isinya juga sama. Memohon mencoblos salah satu calon. Pengirimnya mengatas namakan Cinta Kepri. Itu sudah masuk masa tenang, bukan kampanye lagi.

Ini SMS tanpa nomor pengirim yang benar-benar sama dengan yang dikirim Presiden SBY. Tapi SBY sendiri mengumumkan ke rakyatnya secara resmi. Memang dia yang mengirimkan, bukan diam-diam. ‘’Stop penyalahgunaan dan kejahatan Narkoba sekarang. Mari kita selamatkan dan bangun bangsa kita, menjadi bangsa yang sehat, cerdas dan maju. From: Presiden RI Date: 29/06/2005 Time: 9:56:19 AM.”

Membaca SMS tersebut dan menyimak berita di media massa, Anda tentu tahu apa maksudnya. Ya, itu dalam rangka peringatan Hari Anti Narkoba. Juga sama dengan pengirim SMS Cinta Kepri, SBY juga jauh lebih cinta kepada rakyatnya. Makanya, penuh ide pula mengirim pesan melalui SMS.

Namun, adakah Cinta Kepri kita hanya ditunjukkan untuk meraup untung pada 30 Juni, lalu seterusnya kita cinta mati pada yang lain? Entahlah. Saya susah juga nak jawabnya. Tapi jawaban dari para pemilih kelihatannya sudah menggambarkan, ada ‘’celah” kegamangan.

Lihat saja, ada TPS tempat kandidat mencoblos, justru dia kalah. Ada juga wilayah tempat kandidat berkuasa bertahun-tahun, malah kampung halaman sendiri, juga kalah. Atau malah, ada yang betul-betul kalah, justru karena dirinya tak bisa menentukan kalah atau menang itu. Alias, tak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) meski sudah karatan di kampung tersebut dan pada pemilihan caleg serta pilpres sebelumnya justru namanya terdaftar.

Bila mengingat ini semua, saya jadi membuka memori saat tiba di Batam untuk pertama kalinya, 10 Februari 2000. Saya benar-benar ‘’berprasangka negatif” saja atas apa yang ada di Batam. Saya selalu menyatakan lebih baik Pekanbaru, tempat saya dibesarkan selama 29 tahun.
Yang terbaik dari Pekanbaru itu, mulai dari beras yang saya beli. Air yang saya nikmati. Listrik yang menerangi. Nasi padang yang ditelan. Hingga alat transportasi taksi yang saya naiki. Apalagi saat tahun 2000 itu, tak ada Metro Trans – di sana namanya oplet.

Sungguh, jadi pengalaman ‘’aneh” naik taksi, tapi ketengan. Tegasnya, semua lebih baik yang di Pekanbaru.
Tapi apa yang terjadi kini. Saya menemukan beras yang lebih enak dan malah lebih murah saat impor beras masih bisa. Lalu kini berganti beras Solok, yang juga harganya tak jauh lebih mahal. Saya juga telah larut dalam air ATB, bukan air PAM sebutan di Pekanbaru.

Listriknya juga makin jarang mati dan saya selalu koarkan, beda kepanjangan PLN di Batam dengan Pekanbaru. Juga saya bisa nikmati taksi ketengan dengan cara lebih paham, termasuk Damri-nya. Dan yang paling penting, saya telah kehilangan celetukan gaya khas Pekanbaru, do. Meski makin sering jumpa anak Pekanbaru, tapi kata-kata seperti ini, ‘’ndak ada do…” Sudah benar-benar hilang.

Saya tak tahu, apa ini bagian dari penguasaan diri terhadap sesuatu, lalu saya menjadi cinta Batam atau cinta Kepri? Entah juga. Malah saya khawatir, bila sampai nanti pula melebihi angka tujuh atau delapan tahun tinggal di Batam, entah apa pula niat saya ke depan. Saya khawatir akan menjadi-jadi tak jelas lagi juntrungannya. Mungkin terlalu banyak mimpi, dan akan menindas orang-orang yang telah lama berbakti. Astagfirullah!

Ya, sudah! Karena telah ikut seminar Aa Gym Berbisnis dengan Hati, maka selayaknya pula, saya dan siapa saja mencoba menegakkan itu, berprasangka positif saja. Yang kalah, satria. Yang menang, juga lebih satria. Yang tak mencoblos, besok-besok kalau ada Pilkada lagi cepat-cepat ke kantor lurah lihat daftar nama pemilih sementara, ada atau tidak. Jangan andalkan pak RT lagi. Yang terdaftar tapi tak mencoblos, maka mari kita nikmati pilihan orang lain. Tak usah lagi berpikiran, seandainya…seandainya lagi. Yang kirim SMS kampanye di masa tenang, nak diapakan? Terserah pula yang jadi pengawas.

Tegasnya, kita semua cinta Kepri. Mungkin juga akan dibawa sampai mati. Apatah lagi, kalau pemimpinnya seperti makna hadist nabi kiriman SMS Alquran ini. ‘’Abu Hurairah ra: Sabda Rasul: Bila seorang pemimpin suruh takwa pada Allah dan adil, ia dapat pahala. Bila sebaliknya, ia terima akibatnya. (B/M)” ***(Batam Pos dan www.harianbatampos.com, Minggu, 03-Juli-2005, 199 Klik)

Selengkapnya...